Beliau sangat mengagumi sosok neneknya yaitu H Siti Masyitoh. Neneknya memiliki jasa penuh terhadap hidupnya dari kecil hingga dewasa. Beliau terinspirasi oleh neneknya yang mandiri dan memiliki kemerdekaan atas dirinya. Nenek beliau adalah orang yang berdaulat atas dirinya sendiri, meskipun di depan penguasa beliau tidak pernah merasa terintimidasi dan selalu percaya diri. Nenek beliau juga disegani dan dihormati oleh masyarakat baik perempuan maupun laki-laki. Kepada pemuka agama laki-laki pun nenek beliau berperan sebagai kakak tertua dan mengayomi mereka semua. Meskipun nenek beliau tidak mengenal kata feminis, dalam kesehariannya sudah mencerminkan nilai feminis itu sendiri dan berkontribusi dalam masyakarat.
Saat di FORMACI beliau mendiskusikan ilmu pengetahuan tentang feminisme. Salah satu buku yang didiskusikan adalah buku karya Arif Budiman yang berjudul Pembagian Kerja Secara Seksual. Dalam buku ini dijelaskan bahwa pembagian kerja secara seksual merupakan salah satu akar penindasan terhadap perempuan. Pembagian kerja ini lumrah terjadi bahkan dianggap sebagai ajaran agama. Beliau menjadi tersadar karena masalah ketidakadilan ini dan bertekad untuk mengubahnya dengan mensosialisasikan ke masyarakat luas. Beliau menulis berbagai tulisan yang diharapkan membawa kesadaran terhadap isu ini. Beliau juga sering terlibat dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh LSM perempuan di Jakarta.
Dalam keluarga beliau agaknya masih memperaktekan nilai hukum patriarki pada masa itu. Ibunya juga sering mengeluh tentang beban yang ditanggungnya dan mencoba menerima karena kodratnya sebagai perempuan. Perintah dari ayah beliau merupakan sesuatu yang harus dituruti. Dalam kondisi ini beliau tidak bisa mengubah apapun dan mengalami berbagai tekanan sampai akhirnya jatuh sakit. Beliau bertengkar dengan ayahnya, mengutarakan apa yang ingin disampaikannya. Hal ini membuat hubungan dengan orang tuanya sempat tegang untuk beberapa waktu. Karena tekanan yang dialaminya, kondisi kesehatan beliau semakin memburuk. Sejak peristiwa itu, ayah beliau menjadi berubah dan tidak pernah lagi memaksakan kehendak terhadap anak-anaknya. Beliau melihat ayahnya telah berperan cukup efektif sebagai pembela perempuan dan mensosialisasikan nya di tengah masyarakat.
Beliau menyadari bahwa tidak semua bagian yang terdapat dalam ajaran feminisme sejalan dengan agama Islam. Ada beberapa hal yang menurut beliau memang tidak sejalan. Ketertarikan beliau pada dunia feminisme membuat beliau berhasil berkarir di berbagai tempat. Beliau bersama teman-teman organisasinya berhasil mencapai suatu pencapaian besar, yakni diberlakukannya kebijakan pengarusutamaan gender dalam berbagai sektor pembangunan pada era Abdurrahman Wahid. Kebijakan ini menjadikan ketidakadilan gender sebagai tolak ukur dalam berbagai implementasi kebijakan pembangunan di semua sektor dan departemen.
Aku sebagai Anak Bangsa
Dalam bab terakhir buku ini, kita diajak untuk meyelami identitas seorang Neng Dara Affiah sebagai anak bangsa. Beliau tumbuh dan besar pada era pemerintahan Soeharto yang tidak bebas untuk berpendapat, hal ini membuat beliau tidak mempercayai penguasa pada saat itu. Ia mulai berpartisipasi dalam gerakan reformasi, gerakan kebebasan pers serta dalam upaya penundaan pengesahan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Ditengah pro kontra tersebut ia mencoba menghayati kembali simbol Bhineka Tunggal Ika, yang terdiri dari beragam suku tapi terikat dalam satu keindonesiaan. Ia melihat bahwa Indonesia belum dewasa dalam menerima keberagaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H