Setiap hari, kita sebagai makhluk sosial dapat berkomunikasi dengan cara yang bermacam-macam, seperti berdiskusi, bernyanyi, berkomedi, hingga melakukan aksi tanpa verbal seperti memberikan kode ke gebetan. Bahkan, hampir setiap saat kita pun berkomunikasi dengan diri kita, seperti ketika ingin memilih satu dari dua pilihan, pasti kita ada proses negosiasi dan berunding dalam diri untuk menentukannya.
Komunikasi merupakan hal yang sangat melekat pada makhluk hidup. Berkomunikasi merupakan cara makhluk hidup untuk dapat mengerti dan dimengerti oleh makhluk hidup lainnya. Prof. Deddy Mulyana, Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, menuliskan dalam bukunya yang berjudul Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, bahwa Bernard Berelson dan Gary A. Steiner mendefinisikan komunikasi sebagai sebuah tindakan atau proses transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan semacamnya. Adapun hal yang ditransmisikan dapat berupa kata-kata, simbol, gambar, grafik, figur, dan semacamnya.
Proses transmisi atau pemberian pesan tersebut dapat dikatakan berhasil jika makna pesan yang dimaksud oleh pengirim sama dengan makna yang diartikan oleh penerima pesan. Dalam artian, komunikasi dapat dikatakan berhasil jika terjadi kesamaan makna antara pemberi dan penerima pesan. Orang yang mendengarkan harus bisa memaknai dengan tepat perkataan yang dilontarkan orang yang berbicara dengannya.
Sebagai contoh: Seorang pembicara seminar memberikan ilmunya melalui paparan presentasi. Pembicara seminar dapat dikatakan berhasil dalam memberikan ilmunya apabila para peserta seminar dapat memahami paparan presentasi yang diberikan olehnya.
Namun, terkadang proses komunikasi dalam penyampaian pesan ini kerap terjadi ketidaksesuaian dengan apa yang direncanakan oleh si pengirim pesan. Pesan yang diberikan sering kali salah penafsiran dan terjadi miskonsepsi antara pengirim dan penerima pesan. Seharusnya pesan yang dikirim memiliki arti A, tetapi penerima pesan memahaminya sebagai B.
Jika kita menggunakan contoh yang sama seperti kasus pembicara seminar tadi, maka dapat dicontohkan seperti ini:
Ketika pembicara seminar memaparkan presentasi dan di dalamnya ia mengatakan “rata-rata orang sukses itu memiliki jam tidur yang sedikit”. Lalu, sebagian peserta ada yang mengartikan bahwa pembicara seminar itu menganjurkan para peserta untuk memotong jam tidur mereka. Penafsiran ini jika dipikirkan kembali, belum tentu seperti apa yang diartikan. Perlu adanya penjelasan lebih lanjut dari si pembicara seminar tadi. Apakah benar peserta harus memotong jam tidur mereka? Atau sebenarnya itu hanya contoh data yang ingin disampaikan saja?
Kasus semacam di atas mungkin sering kita rasakan. Contoh kasus yang mungkin bisa dikatakan sangat relevan pada zaman sekarang ini yaitu ketika kita memuji seseorang dan memang berniat memuji karena penampilannya sedang bagus kala itu, tetapi justru seseorang yang kita puji membalasnya dengan “Pasti ada maunya ya?”.
Pastinya ini terasa sangat aneh dan mungkin menyebalkan ya, karena niat awal kita yang baik tadi justru malah dimaknai sebagai sesuatu yang dilandaskan karena ingin mendapatkan imbalan semata. Dan kita yang memuji biasanya langsung dicap tidak ikhlas dalam memberikan pujian tersebut.
Faktor utama dalam permasalahan ini adalah perbedaan persepsi. Apa itu persepsi?