Pagi itu, seperti biasa, Amir berangkat menuju sekolah dengan langkah yang terburu-buru. Jam sudah menunjukkan pukul 06.45, sementara kelasnya dimulai pukul 07.00. Ia melangkah cepat, melewati gang-gang sempit di kampungnya. Di dalam tas ranselnya, ada sebuah benda yang membuat hatinya sedikit berdebar.Â
Sebuah ponsel. Sesuatu yang seharusnya tidak dibawa ke sekolah, namun karena tergoda, Amir menyelipkannya di bagian dalam tas.
Semalam, ia baru saja mendapat pesan dari temannya yang meminta bantuan untuk menyalin tugas matematika yang belum selesai. Amir sadar betul bahwa membawa ponsel ke sekolah adalah pelanggaran yang bisa mendatangkan masalah. Tetapi, kali ini ia merasa perlu sekali membawa ponsel itu.Â
Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menggunakannya selama jam pelajaran.
Amir memasuki gerbang sekolah dengan sedikit gugup. Suasana pagi itu tampak seperti biasa: siswa-siswa sibuk berbincang dengan teman-temannya, ada yang sedang membeli jajan di kantin, ada yang saling bertukar cerita. Namun, hati Amir terasa gelisah. Ia tahu, jika ketahuan membawa ponsel, ia bisa mendapatkan teguran, bahkan sanksi dari pihak sekolah.
"Amir!" Tiba-tiba suara guru olahraga, Pak Arif, memanggilnya.
Amir terkejut dan segera menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Pak?" tanya Amir dengan nada agak gugup.
"Bawa tasmu ke ruang guru, ya. Kita ada razia," ujar Pak Arif sambil tersenyum.
Razia? Hati Amir langsung berdegup kencang. Razia barang bawaan? Ponselnya ada di dalam tas. Bagaimana kalau ketahuan? Bagaimana kalau nanti ia disanksi?
"Razia? Tapi... untuk apa, Pak?" Amir mencoba bertanya, berharap bisa mencari alasan untuk menunda.