Mohon tunggu...
Fathur Novriantomo
Fathur Novriantomo Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Seringnya menulis soal film.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Retrospeksi Hari Film Nasional: "Lewat Djam Malam" (1954)

30 Maret 2022   10:00 Diperbarui: 30 Maret 2022   16:35 1918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bambang Hermanto (kiri), AN Alcaff dan petani dalam film Lewat Djam Malam karya sutradara Usmar Ismail, 1954.| Sumber: Arsip Sinematik Indonesia via Kompas.com

Resensi film Lewat Djam Malam (1954) berikut ini berpotensi spoiler.

Jauh sebelum tagar #ReformasiDikorupsi populer saat aksi nasional tahun 2019, tagar #RevolusiDikorupsi seharusnya bisa lebih dulu populer pada era 50an. Namun tentu saja pergerakan dan narasi yang timbul di era pasca kemerdekaan berbeda bentuk dengan era sekarang. 

Nyatanya, terlepas dari spirit revolusi yang dianut sebagian orang, era pasca kemerdekaan rasa-rasanya mewarisi budaya sosial-politik kotor yang langgeng. Potret kotor budaya sosial-politik tersebut bisa diabadikan oleh Usmar Ismail dalam filmnya yang berjudul Lewat Djam Malam.

Poster Lewat Djam Malam (1954) Sumber: wikipedia
Poster Lewat Djam Malam (1954) Sumber: wikipedia

Berlatar pada masa-masa pasca gerakan sporadis revolusi nasional, dimana kemerdekaan Indonesia sempat dipertaruhkan dan mengalami revolusi sosial yang masif. Iskandar, seorang mantan pejuang dan juga mantan mahasiswa, ikut berjuang pada masa revolusi nasional.

Sepulangnya ia dari medan perang, ia punya tujuan sederhana yakni kembali ke masyarakat. Kembali memiliki kehidupan sosial yang normal bak warga sipil lainnya, dengan tetap menjunjung tinggi spirit revolusi dan kontribusi terhadap pembangunan negara. 

Ternyata bagi Iskandar, beradaptasi dengan kehidupan sosial masyarakat tidak semudah masuk, lalu berperan secara langsung. Ia dibenturkan dengan kenyataan bahwa nilai-nilai perjuangan revolusi di masyarakat, ternyata tidak sebersih yang ia pikirkan. Kemudian semuanya memicu pergolakan dalam batin Iskandar, yang mempertanyakan mengapa hasil dari pergerakan revolusi menjadi sedemikian busuknya.

Iskandar diperankan oleh A.N. Alcaff (Sumber: Criterion Collection)
Iskandar diperankan oleh A.N. Alcaff (Sumber: Criterion Collection)

Lewat Djam Malam sebenarnya memiliki cakupan cerita yang cukup sempit dan linier. Berlatar waktu dua hari kurang, yang mana membuat laju ceritanya terasa lambat bahkan cenderung draggy

Terlepas dari itu, film ini justru berbicara tentang banyak hal. Tentang angan dan keinginan, potret kelas sosial, ragam kondisi mantan pejuang di masyarakat dan kondisi korupnya revolusi pembangunan. 

Semua isu tersebut justru dihadirkan dengan begitu subtle, padat, dan terasa pekat, tanpa terasa adanya tendensi provokatif. Hal tersebut yang membuat aspek naratif film ini memiliki muatan yang begitu berisi dan berhasil tersampaikan dengan baik.

Cara Usmar dalam bercerita terasa sangat tertata. Lihatlah bagaimana Usmar mengawali dan mengakhiri filmnya, dibuka dengan Iskandar yang berlari dikejar-kejar tentara saat jam malam dan beruntungnya ia masih selamat dari sergapan. 

Ditutup dengan kondisi yang nahas, Iskandar yang kali ini tertembak saat pengejaran jam malam tepat di depan rumah tunangannya, Norma. Sebuah repetisi yang seakan mengalegorikan degradasi moral Iskandar yang terdampak oleh situasi dan realitas sosialnya.

Repetisi lainnya pada saat momen kelam Iskandar yang harus menembak satu keluarga tak bersalah saat masih di medan perang. Saat itu, ia bertugas sebagai algojo pemegang senapan dan Puja yang bersorak “Tembak!”. 

Momen tersebut yang kemudian mengusik kepala Iskandar sepanjang cerita dan menjadi pemicu paling kuat dari pergolakan batin dirinya. Kemudian terulang saat Iskandar dan Puja yang akhirnya memutuskan untuk mendatangi rumah Gunawan.

Iskandar sudah menyudutkan Gunawan sambil mengacungkan moncong pistol ke arah Gunawan, hingga kemudian Puja kembali bersorak “Tembak!”. Kejadian tersebut malah kembali menambah rentetan penyesalan Iskandar, yang pada akhirnya terjebak pada paradoks dendam dan penyesalan berujung nahas.

Laila diperankan oleh Dhalia (Sumber: Tabloidbintang.com)
Laila diperankan oleh Dhalia (Sumber: Tabloidbintang.com)

Naratif Usmar yang berhasil mengais empati penonton turut menjadi “kesaktian” cara penceritaanya. Dari seluruh tokoh yang mewarnai film ini, tokoh Laila lah yang membuat saya sangat berempati. 

Bagaimana Usmar berhasil menggambarkan karakter Laila yang centil sekaligus menyimpan luka yang bisa terasa menyakitkannya juga saat menonton. Lewat tokoh Laila pula, Usmar menggambarkan nasib malang rakyat kelas bawah yang punya banyak angan yang tak pernah pasti. Majalah-majalah fashion dan lifestyle Amerika yang dimiliki Laila, sekilas menggambarkan dominasi kapitalisme barat di negara bagian ketiga.

Pendekatan sinematik yang digunakan Usmar dalam film ini memiliki kemiripan dengan film-film noir Hollywood, mengingat ini merupakan film yang Usmar produksi setelah menyelesaikan studi filmnya di Amerika Serikat. 

Treatment kamera dan penataan blocking dalam film ini terasa cukup modern di eranya. Salah satu yang khas adalah visual hitam-putih yang kontras lewat penggunaan hard lighting dan chiaroscuro

Usmar tidak ragu membiarkan kontras antara subjek dan bayangan yang dihasilkan akibat penggunaan hard lightingnya, bahkan pada adegan-adegan interior sekalipun. Kekontrasan visual tersebut tak terlepas dari nuansa kelam dalam cerita yang dihadirkan.

Berbicara soal kontras, aspek naratif film ini tidak melepas unsur kontras saat menempatkan protagonis pada situasi-situasi yang berlawanan dengan prinsipnya. Iskandar yang masih percaya terhadap keluhuran nilai perjuangan, justru diceburkan ke diorama kotor masyarakat pasca kemerdekaan. 

Semua menjadi soal keserakahan dan mental “pengen enaknya aja”, seakan semangat kesatuan yang dijunjung pergerakan revolusi sekadar formalitas belaka. Contoh lainnya, ketika Norma yang menyambut Iskandar dengan bahagia, berinisiatif mengadakan pesta sambutan yang meriah. 

Di sisi lain, Iskandar yang secara mental dan pikiran belum sepenuhnya tenang, dihadapkan dengan gaya hidup a la borjuis yang semuanya perihal perayaan dan pesta senang-senang. 

Iskandar jelas tidak bisa menikmati suasana perayaan untuk dirinya, yang malah melonjakkan gejolak pergolakan batin antara kesalahan masa lalu dan situasi masa sekarang (dalam cerita).

Pada akhirnya, Usmar Ismail berhasil mengabadikan momen sejarah yang fokus pada kondisi individual sekaligus kebobrokan sosial di era 50an. Usmar juga berhasil membuat karya yang secara pencapaian naratif dan estetika, terasa sungguh melampaui eranya. Yang ajaib dari film ini adalah muatannya yang hingga zaman sekarang pun tetap terasa sangat relevan walau kondisi politiknya cukup berbeda. 

Korupsi, abuse of power, kebobrokan sosial hingga penelantaran mantan pejuang, terasa tidak begitu asing di zaman sekarang. Ini juga menjadi pengingat bahwa, selama muatan dalam film ini masih terasa relevan, maka artinya negara ini masih tidak baik-baik saja.

Selamat Hari Film Nasional 2022!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun