Usmar tidak ragu membiarkan kontras antara subjek dan bayangan yang dihasilkan akibat penggunaan hard lightingnya, bahkan pada adegan-adegan interior sekalipun. Kekontrasan visual tersebut tak terlepas dari nuansa kelam dalam cerita yang dihadirkan.
Berbicara soal kontras, aspek naratif film ini tidak melepas unsur kontras saat menempatkan protagonis pada situasi-situasi yang berlawanan dengan prinsipnya. Iskandar yang masih percaya terhadap keluhuran nilai perjuangan, justru diceburkan ke diorama kotor masyarakat pasca kemerdekaan.
Semua menjadi soal keserakahan dan mental “pengen enaknya aja”, seakan semangat kesatuan yang dijunjung pergerakan revolusi sekadar formalitas belaka. Contoh lainnya, ketika Norma yang menyambut Iskandar dengan bahagia, berinisiatif mengadakan pesta sambutan yang meriah.
Di sisi lain, Iskandar yang secara mental dan pikiran belum sepenuhnya tenang, dihadapkan dengan gaya hidup a la borjuis yang semuanya perihal perayaan dan pesta senang-senang.
Iskandar jelas tidak bisa menikmati suasana perayaan untuk dirinya, yang malah melonjakkan gejolak pergolakan batin antara kesalahan masa lalu dan situasi masa sekarang (dalam cerita).
Pada akhirnya, Usmar Ismail berhasil mengabadikan momen sejarah yang fokus pada kondisi individual sekaligus kebobrokan sosial di era 50an. Usmar juga berhasil membuat karya yang secara pencapaian naratif dan estetika, terasa sungguh melampaui eranya. Yang ajaib dari film ini adalah muatannya yang hingga zaman sekarang pun tetap terasa sangat relevan walau kondisi politiknya cukup berbeda.
Korupsi, abuse of power, kebobrokan sosial hingga penelantaran mantan pejuang, terasa tidak begitu asing di zaman sekarang. Ini juga menjadi pengingat bahwa, selama muatan dalam film ini masih terasa relevan, maka artinya negara ini masih tidak baik-baik saja.
Selamat Hari Film Nasional 2022!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H