Anggi Noen lebih memilih untuk menyorot kisah pelarian Wiji Thukul ketimbang kisah-kisah revolusioner sang penyair, Â karena kisah pelariannya merupakan masa-masa krusial seorang Wiji Thukul yang harus memilih lari daripada masuk bui atau bahkan mati, sekaligus penggambaran betapa sintingnya rezim Orde Baru dengan segala kekuatan represifnya.
Film ini di buka dengan kisah pelarian pertama Wiji ke Pontianak, sebulan setelah  peristiwa Kudatuli terjadi. Di Pontianak, ia mengganti identitas sebagai Paul dan berpindah dari rumah satu ke rumah lainnya.Â
Dalam kisah pelariannya, kita diajak merasakan keseharian Wiji Thukul yang sangat membosankan dan kesepian. Sepi, bosan, rindu dan takut, adalah perasaan-perasaan yang menyertai Wiji di masa pelariannya. Kesehariannya hanya ditemani oleh beberapa kawan, dan puisi-puisinya, kita bisa mendengar beberapa potongan puisi-puisi Wiji Thukul yang ikut mengiringi penceritaan dalam film ini. Â
Selain itu, kita juga diajak merasakan ketakutan Wiji Thukul akan tentara-tentara rezim yang bisa saja main dor-dor ketika mengetahui identitas aslinya.Â
Terucap pada adegan ketika Wiji Thukul dan kawannya Martin diserobot oleh seorang tentara yang ingin mencukur rambut, dan adegan saat Wiji Thukul dan Thomas dijegat oleh seorang pria gangguan jiwa yang mengaku-ngaku sebagai tentara.
"Rezim ini kan bangsat. Main dor! Dor! Dor! Tanpa pengadilan."
Dari perspektif keluarga Wiji Thukul, Sipon sang istri terpaksa harus mengurus kedua anaknya, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah seorang diri di rumah. Kondisi rumah mereka pun terasa mencekam karena seakan  'dipelototi' oleh aparat.Â
Bahkan di adegan awal film, sudah diperlihatkan para aparat menyita buku-buku milik Fitri pemberian dari Ayahnya dan mengintrogasi mereka di rumah. Sama halnya dengan Wiji, Sipon pun merasa rindu dengan Wiji. Sesekali Sipon harus pergi ke sebuah telepon umum untuk berkomunikasi dengan Wiji di Pontianak.Â
Bahkan pada suatu kesempatan, Sipon harus diam-diam pergi ke hotel tempatnya dan Wiji bertemu, hingga ia harus rela digosipkan sebagai 'wanita panggilan' akibat kepergok tetangganya ketika ia pergi ke hotel. Rela menjadi single parent dan dihujani gosip yang tidak-tidak oleh tetangganya harus di rasakan Sipon.
Setelah pertemuan singkat Wiji dan Sipon di rumah mereka, Pada Feruari 1997 Wiji kembali ke Pontianak. Tak lama setelah itu, Ia mengikuti gerakan untuk menggulingkan rezim Soeharto. Anehnya, setelah Soeharto berhasil dilengserkan, keberadaan Wiji Thukul malah menjadi pertanyaan hingga sekarang.
Pendekatan naratif yang digunakan oleh Anggi Noen berhasil membuat film ini terasa dekat dan realis. Pemilihan penuturan sekuen cerita dengan pacing yang lambat.