Mohon tunggu...
Fathur Fdj
Fathur Fdj Mohon Tunggu... Pewarta Lokal -

Pewarta Lokal

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada, Antara Demokrasi dan Jual Beli Suara

1 Agustus 2016   14:50 Diperbarui: 1 Agustus 2016   15:00 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tolak Politik Uang (Sumber : Doc. Antaranews.com)

Pilkada serentak akan kembali digelar 2017 mendatang, beberapa daerah termasuk di Kalimantan Selatan sudah mempersiapkan ragam hal untuk menyukseskan proses demokrasi yang diharapkan akan melahirkan pemimpin yang amanah, berkualitas, aspiratif, cakap dan mumpuni untuk memimpin daerah.

Terlepas dari indahnya proses demokrasi dalam pilkada diakui masih banyak carut marut  persoalan seputar pilkada baik penyelenggaraan, pelaksanaan begitupun proses pasca pilkada terkait sanksi hukum bagi mereka yang terbukti menang curang dalam pilkada  dengan menghalalkan segala cara baik dari praktik uang, kekerasan fisik, intimadasi ataupun memanipulasi data.

Banyak putra daerah yang sebenarnya mumpuni untuk bisa mencalonkan diri akhirnya gagal berlenggang di pencalonan dikarenakan mahalnya mahar dari partai politik begitupun mencalonkan diri dari jalur independen juga tak sedikit mengeluarkan dana biaya untuk bisa mengumpulkan dukungan masyarakat di tengah sulitnya perekonomian saat ini, mahalnya biaya hidup, biaya pendidikan, kesehatan, transfortasi bahkan tak terpikir lagi untuk piknik ataupun berhibur diri.

Ada calon yang kurang populer dan hampir tidak terdengar prestasinya dalam membangun daerah namun karena kekuatan jaringan dan uang bisa mencalonkan diri padahal sangat berbahaya seandainya terpilih apalagi sumber dana kampanye dan operasional pencalonan dari sumber pinjamannya  atau harta pribadi yang ingin dikembalikan  sehingga aroma kepemimpinannya sangat rentan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

"Tak ada uang maka abang tak disayang", inilah ungkapan pertama yang tak jauh beda dalam soal "Asmara" dan tak asing bagi mereka yang para pemain dalam pilkada, calon tentu harus jor-joran mengeluarkan banyak biaya dari proses pencalonan, kampanye, operasional tim sukses, pendampingan hukum, pengadaan alat dan peraga kampanye, biaya rapat dan sosialisasi hingga tingkat desa belum lagi beragam permintaan masyarakat yang menumpuk dan menunggu antrian untuk dipenuhi.

Banyak uang memang bukan menjadi jaminan untuk bisa menang, ada saja  calon yang dikadalin oleh tim sukses ataupun pendukungnya yang harus habis harta namun akhirnya gagal terpilih, puluhan juta dana untuk mencoblos sudah diserahkan ke tim sukses untuk dibagikan ke pemilih namun dibawa lari tim untuk kepentingan pribadinya ataupun sudah nyumbang untuk kepentingan umum namun warga tetap ogah memilih sehingga bangunan publiknya dibongkar ataupun diambil lagi.

Istilah "bersedekah" dalam politik pilkada memang tidak akan menjadi pahala bahkan bisa jadi fitnah, terbatasnya petugas pengawas pemilu juga menjadi persoalan tersendiri karena luasnya wilayah yang harus dipantau belum lagi ada saja petugas pengawas pemilu yang nekat bermain mata ikut dalam keculasan di pilkada sehingga mendapatkan sanksi baik administratif bahkan pemecatan begitupun penyelenggara pemilu ada saja yang terlibat aktif menyukseskan calon tertentu, tak independen atau berpihak dengan iming-iming dijanjikan uang, jabatan ataupun fasilitas lainnya.

Politik uang disaat ekonomi masyarakat yang sedang sulit seperti ini memang laku, efektif untuk meraup banyak suara dibanding mereka yang konsen pada pendidikan politik masyarakat dengan rajin turun sosialisasi dan memiliki prestasi atau karyanya yang mungkin telah dirintis bertahun-tahun, rendahnya kesadaran politik warga yang menginginkan kepuasaan sesaat hanya dengan menerima Rp. 100 ribu atau Rp. 200 ribu dan dihabiskan selama satu hari sementara efeknya dirasakan bertahun-tahun menjadi momok menggerikan dalam demokrasi yang kita rasakan saat ini.

Akhirnya ditengah ragam persoalan seputar pilkada yang sering memusingkan tetap ada secercah harapan bahwa pelaksanaan pilkada serentak 2017 mendatang tetap bisa menghasilkan pemimpin yang baik dan amanah, agar juga masyarakat kita terus belajar dari proses demokrasi ini agar uang yang diterima tidak mempengaruhi pilihannya, solusinya dengan lebih mengenal calon yang akan bertanding di pilkada, mengetahui visi misi pencalonan begitupun latar belakang pengalaman sang calon begitupun komitmennya dalam membangun daerah.

"Ambil duitnya, jangan pilih orangnya", inilah ungkapan kedua yang sering juga didengar bahkan  disuarakan  kepada masyarakat terkait politik kotor "money politic" berangkat dari keprihatinan beberapa tokoh agama dan masyarakat yang juga paham akan kebutuhan hidup saat ini namun harusnya tetap mengedepankan rasionalitas agar pemilih bisa menjadi lebih cerdas dan tidak selalu dibodohi untuk kepentingan individu ataupun kelompok  yang berniat jelek hanya untuk merebut kekuasaan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun