Jika ditanya "Apa itu belajar?", pasti akan melahirkan jawaban yang beragam. Sebagian akan menjawab belajar itu adalah kegiatan untuk mempersiapkan diri mengisi soal-soal ujian, membaca buku pelajaran, berdiskusi dan memperoleh nilai terbaik. Atau mungkin belajar itu adalah berangkat sekolah, dan lain-lain. Jawaban ini wajar, sebab itulah fakta yang terjadi selama ini. Sekarang, mari kita refleksikan miskonsepsi kita tentang makna belajar selama ini.
Belajar Hanya Untuk Ujian
Bila tidak ada ujian, maka tidak belajar. Ini adalah fakta yang nyaris tak terbantahkan yang dialami oleh pelajar dan mahasiswa di Indonesia, termasuk penulis sendiri (hehehe). Di sekolah atau kampus, ujian dibuat jadwal berkala untuk mengukuhkan ujian sebagai ritual yang menentukan nasib dan masa depan pelajar. Nilai hasil ujian pun menjadi angka keramat untuk menandai hidup dan matinya pelajar. Berbagai cara dilakukan untuk mengejar angka 99,99. Mulai dari cara yang normal hingga cara upnormal. Dari menyusun contekan hingga SKS (sistem kebut semalam). Â Alhasil, ujian selesai belajarpun usai. Pelajaran tak diingat lagi. Padahal, dalam kehidupan tidak ada jadwal ujian. Ujian kehidupan datang kapan saja tidak menunggu jadwal ujian tiba.
Guru Pengendali Proses Pembelajaran
Oleh karena nilai hasil ujian murid menjadi tolak ukur keberhasilan, maka guru menjadi pengendali proses pembelajaran. Guru mempunyai wewenang sepenuhnya dalam menentukan strategi, aktivitas dan asesmen pembelajaran. Guru menjadi subjek, siswa adalah objeknya. Belajar menjadi milik guru.
Akibatnya, karena murid tidak dilibatkan dalam menentukan strategi, aktivitas dan asesmen pembelajan, maka murid tidak mempunyai rasa memiliki terhadap proses belajar. Sehingga, ketika sasaran belajar tidak tercapai, seringkali guru lebih cemas dibandingkan pelajarnya. Padahal belajar seharusnya milik pelajar dan sepatutnya guru melibatkan pelajar dalam mengatur proses belajar.Â
Miskonsepsi ini memang bukanlah kesalahan guru semata, tapi mindset masyarakat juga ikut mengkonstruk model pembelajaran semacam ini. Masyarakat masih menganggap bahwa belajar adalah transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Sehingga ketika guru mencoba merubah pola pembelajaran yang berpusat pada siswa, masyarakat atau bahkan manajemen sekolah melihat sebagai sesuatu yang tabu. Masih sering terdengar "enak menjadi guru. Guru hanya mengkondisikan kelas, murid belajar mandiri".
Pelajar Mempunyai Kebutuhan dan Minat Belajar Yang Sama
Sebagai konsekwensi "belajar untuk ujian", maka guru bukan mengajar murid, tapi mengajar materi pelajaran.  Karena itu, guru tidak perlu mengenal apalagi memahami kebutuhan dan minat siswa. Guru cenderung menggunakan satu resep untuk semua keluhan. Guru menggunakan satu metode untuk semua kelas, siapapun pelajarnya. Pengajaran Langsung adalah resep tunggal untuk semua pelajar dan materi pelajaran. Padahal, murid butuh diferensiasi pengalaman belajar sesuai minat, cara belajar dan ketersediaan sumber belajar disekitarnya.
Penilaian Belajar Seepenuhnya Wewenang Guru
Karena tujuan dan cara belajar ditentukan oleh guru maka sewajarnya penilaian belajar ditentukan juga oleh guru. Guru yang tahu benar dan salah. Guru yang layak menentukan nilai dari jawaban murid. Sering kali kriteria dan cara penilaian hanya diketahui guru. Pelajar diharapkan menerima begitu saja hasil penilaian, meski tidak paham maknanya.