Suatu hari Markoya menemui sahabat sekaligus guru spiritualnya, Mukidi. Kedatangan Markoya hari ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang selalu ceria dengan berbungkus-bungkus rokok terselip di saku bajunya. Hari ini Markoya datang dengan wajah yang kusut, tergambar jelas beban berat menyelimuti hatinya.Â
Seperti biasa seminggu sekali Markoya selalu menyempatkan diri bertamu dengan Mukidi. Tidak ada materi khusus yang perlu diperbincangkan dengan serius. Ngalor ngidul hingga larut malam. Bahkan, kadang obrolan dan candaan terhenti hingga saat adzan subuh berkumandang. Tak terhitung berapa 'ceret' kopi dan berapa bungkus rokok yang habis dalam semalam.
Kebiasaan itu rutin dia lakukan tanpa ada motivasi yang jelas. Mungkin, hanya sekedar merefresh kejenuhannya setelah seminggu menjalani aktivitas yg monoton di kantor. Atau, bisa saja sekedar menghindari omelan istrinya di rumah. Hehehe.
Melihat wajah Markoya yang tidak biasa, Mukidi mencoba menyibak suasana batinnya.Â
"Ada apa kamu, Mar?"
"Gak ada apa-apa, Guru" jawab Markoya dengan suara agak ditekan.
"Halaaaah... mulutmu bisa saja berbohong, tapi wajah dan suaramu tidak bisa membohongiku", ungkap Mukidi dengan tatapan tajam, seolah ingin menelanjangi hati Markoya.
Mendengar ungkapan Mukidi yang penuh wibawa itu, Markoya tidak bisa menyembunyikan kegundahan yg mengganjal hatinya.
"Begini, Guru... Terus terang selama ini saya beribadah terasa hambar, tidak ada rasa didalamnya. Mohon bimbingan, Guru...", Ungkap Markoya dengan suara memelas.
"Hahaha...aku bisa apa, Mar. Sama saja aku pun begitu", jawab Mukidi datar.
"Jika njenengan saja begitu, lalu bagaimana dengan orang semacam saya? Saya sangat yakin njenengan pasti bisa membimbing. Bukankah Njenengan pernah bilang, beragama itu tidak cukup ber-Iman dan ber-Islam saja tanpa ber-Ihsan. Bimbinglah saya dalam ber-Ihsan, Guru! Sebab jika tidak, Gurulah yang bertanggungjawab terhadap ketidak sempurnaan beragama saya", lanjut Markoya memelas.