Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tentang Lelaki dan Ikan Cupang

28 Juni 2010   04:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:14 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_179311" align="alignleft" width="300" caption="doc :wb9.itrademarket.com"][/caption]

Semburat fajar shaddiq mulai nampak di kaki langit Timur. Mata-mata yang berjam-jam terpejam mulai terbuka ketika suara Adzan Subuh berkumandang di musholla dan masjid. Ada diantara pemilik mata tersebut yang bangkit mengambil air wudhu, berganti baju, mengambil sarung dan kopyah melangkah menuju musholla terdekat mengejar keutamaan sholat berjama’ah. Sementara banyak juga diantara mereka yang menuaikan sholat di rumah masing-masing dan tidak sedikit pula yang masih berada di atas ranjang, menarik sarung atau selimut berlindung dari hawa dingin dan kembali terlelap.

Di sebuah musholla kecil pemukiman padat penduduk pinggiran kota metropolitan nampak para jamaah sholat Subuh mulai berdatangan. Jumlahnya tidak banyak hanya belasan orang saja. Beberapa diantara mereka langsung masuk mengambil tempat dan menjalankan sholat Qobliyah dan ada pula mengambil air wudhu.

Muadzin menengok kiri kanan dan kebelakang melihat dan memastikan apakah Jamaah sudah siap atau belum. Ternyata masih banyak jamaah yang menjalankan sholat sunnah Qobliyah Subuh dan ia kembali melanjutkan membaca bacaan-bacaan sholawat. Beberapa saat kemudian ia kembali menengok ke belakang melihat jamaah telah siap ia langsung membaca Iqomah setelah seorang lelaki berjenggot dan berjubah putih menempati baris terdepan.

Dari kejauhan Pak Lurah sambil memegang kopyah dan sarung yang kedodoran berjalan bergegas. Di pintu mushola langkahnya sempat terhenti ketika melihat seorang lelaki berselimut sarung dengan posisi tengkurap dan terdengar suara mendengkur keras. Di samping lelaki itu sebuah botol bekas air mineral berisi ikan cupang.

“Allahu Akbar,” Imam sudah membaca takbir tanda dimulainya sholat. Pak Lurahpun buru-buru masuk tak lagi memperdulikan lelaki itu dan bergabung dengan Jamaah lain yang hanya terdiri dari 1 shaf.

Imam pun mulai membaca surat Al Fatihah dilanjutkan dengan Surat Al Qori'ah. Beberapa Jamaah terisak ketika surat yang isinya mengenai kejadian mengerikan di hari akhir tersebut namun tidak demikian dengan Pak Lurah. Fikirannya sempat terbelah sholatnya mulai tidak khusuk merasa ada sesuatu yang aneh dengan lelaki di luar. Pak Lurah berusaha menyingkirkan fikiran-fikiran tersebut dan mulai berkonsentrasi dengan sholatnya hingga sholat Subuh diakhiri dengan salam.

*****

Gadis kecil berlari-lari menuju seorang wanita yang tengah menggendong anak lelakinya. “Ayah pulang!” teriaknya.

Ia menarik tangan ibunya mengajaknya keluar dan menyambut lelaki dengan pakaian rapi dengan tas besar yang ia jatuhkan begitu saja ketika melihat istri dan anak-anaknya. Di peluknya mereka dan sesaat suasana haru terjadi diantara mereka. “Ayah sudah tak marah lagi kan? Saya punya ikan cupang cantik. Ikan ini sebagaiganti ikan-ikan ayah yang dulu mati,”

Gadis itu berlari masuk rumah kemudian mengeluarkan botol air mineral berisi ikan Cupang berwarna biru. Makin berlinang air mata lelaki tersebut melihat keluarga yang sudah lama ditinggalkannya.

“Baiklah Mama dan Adik masuk dulu kerumah. Ayah punya kejutan buat kalian semua,”

Lelaki itu melangkah menelusuri jalan kecil menuju sebuah taksi berwarna putih yang parkir di dekat mulut gang. Ia mengeluarkan beberapa tas lagi dari bagasi taksi. Tak lama kemudian taksi itu meninggalkan gang tersebut dan lelaki dengan barang bawaanya masuk kedalam gang yang sempit itu.

Jalan menuju rumah lelaki tersebut tak bisa dilalui mobil terpaksa ia harus turun di mulut yang berjarak hampir 300 meter masuk kiri dan kanan. Lelaki itu dengan senyum melangkah. Dia melihat ke atas di atas perkampungan nampak awan hitam. “ Apakah sebuah pertanda hujan bakal turun? Syukurlah” katanya dalam hati.

******

Bunyi sirine mengaum diantara padatnya lalu lintas kota metropolitan. Kendaraan besar berwarna merah itu berusaha melaju diantara kendaraan lain yang hanya bisa merayap. Tak hanya satu mobil saja berjarak beberapa ratus meter di belakangnya kendaraan lain dengan ukuran yang sama menyusul.

Setelah hampir sejam membelah macetnya jalanan ibukota kendaraan besar dengan tulisan “Pantang Pulang Sebelum Padam” di belakangnya itu tiba di mulut gang pemukiman. Di sana sudah terlihat kerumunan massa sementara di atas nampak asap hitam tebal. Massa berlalu lalang ada yang membawa air ada pula yang berbondong-bondong membawa berbagai barang mulai dari Televisi, radio, kulkas, kursi, kasur, dan benda-benda lainnya. Nampak pula beberapa orang kameramen televisi dan wartawan foto yang mencoba menerobos masuk mencari tempat terbaik mengambil gambar.

“Ayo cepat api keburu besar!” teriak salah seorang warga.

Petugas berseragam biru dengan helm dan perlengkapan lengkap lain bergegas menarik selang besar dari mobil-mobil yang sudah berdatangan. Beberapa dari mereka dengan dibantu warga membawa selang berisi air tersebut ke tempat api berasal.

“Cepat-cepat selamatkan yang masih tertinggal di rumah dulu,” teriak seorang warga.

Tak lama kemudian beberapa warga tergopoh-gopoh membopong seorang ibu yang mengalami luka bakar. Di belakangnya seorang warga lain menggendong bocah kecil yang mengalami nasib yang sama. Mereka menuju ke mobil ambulan yang sudah menanti di mulut gang.

Perlu berjam-jam memadamkan api yang melalap pemukiman tersebut. Jalan akses menuju pemukiman tersebut kurang dari 1,5 meter akibatnya mobil tak bisa masuk. Belum lagi banyaknya warga yang lalu lalang mencoba menyelamatkan harta bendanya.

Kabar tentang musibah tersebut dengan cepat tersiar melalui televisi, dan internet. Dalam waktu tak kurang dari empat jam 72 rumah hangus terbakar, 15 orang mengalami luka bakar ringan, 2 orang mengalami luka bakar berat, dan 7 orang meninggal. Diantara korban meninggal terdapat seorang wanita berumur sekira 35 tahun dengan 2 orang anaknya bahkan 1 diantara anaknya baru berumur 3,5 tahun.

******

Lelaki itu melangkah menelusuri jalanan kampung dengan wajah kusut. Rambutnya acak-acakan, cambang dan kumis dibiarkan tumbuh subur dengan jaket bermotif mirip kesatuan tentara dan hanya memakai sendal jepit yang sudah tipis. Di tangan kanan lelaki itu sebuah botol bekas air mineral ukuran besar. Di dalamnya seekor ikan cupang berwarna biru muda yang bergerak-gerak mengibas-ngibaskan ekornya.

Ia melangkah seperti tak punya tujuan. Sebentar ia berhenti dan hendak menuju suatu arah namun tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbalik arah lagi seperti orang yang kebingungan.

Malam itu suasana kampung memang lengang. Selepas hujan berjam-jam hanya beberapa orang saja yang melintas nampak pula penjual sate dan soto yang biasanya lewat. Hampir dua jam hujan reda namun nampaknya stok air yang dijatuhkan ke bawah masih tersisa tiba-tiba saja titik-titik air jatuh dari langit. Makin lama makin besar dan hujan makin deras disertai angin dan petir. Lelaki itupun mempercepat langkahnya. Di sebuah Musholla dia berteduh, mencari tempat yang terlindung dari hujan dan angin serta mulai merebahkan tubuhnya. Botol air mineral besar berisi ikan cupang diletakkan tak jauh dari tempatnya berbaring. Tak lama ia memejamkan matanya meskipun tubuhnya basah kuyup dan sebuah senyum kecil nampak dari wajahnya yang kusut.

Titik-titik air yang jatuh membasahi bumi semakin besar. Suasana kampung itupun makin sunyi.

*****

Seusai berdoa secukupnya para Jamaah satu demi satu meninggalkan Mushola sementara pak lurah masih berada di dalam. Namun tiba-tiba saja terdengar suara menjerit. Suara orang mengerang keras dari emper mushola. Dalam waktu sekejap jamaah sudah berkerumun di emper mengeliling tubuh seorang lelaki tua yang mengejang, sekarat di sampingnya botol tumpah dan seekor ikan menggelepar persis seperti lelaki tua tersebut.

“Pak lurah ada orang sakit keras,”

“Ada yang kenal siapa orang itu?”

“Kalau tidak salah namanya Slamet Pak. Dia warga desa sebelah. Dia sudah lama tenaga kerja di luar negeri. Kabarnya ia kabur setelah cek cok dengan istrinya. Baru enam bulan ini dia balik namun sebuah musibah merenggut nyawa istri dan kedua anaknya,” ujar seorang Jamaah berkumis tipis.

Seorang jamaah lain muncul dan bercerita tentang Slamet. Ada yang bilang Slamet kehilangan ingatan, sakit jiwa tak kuat menghadapi kenyataan. Sebelumnya ia sempat mengontrak sebuah rumah kecil tak jauh dari tempat ia tinggal dulu. Namun hanya sebulan ia menempati rumah tersebut sebelum diusir pemilik rumah karena tingkah lakunya yang mulai aneh dan meresahkan tetangga sekitar. Mereka kerap menjumpai Slamet bicara sendiri dengan ikan cupangnya.

Slamet memang dikenal sebagai penjual ikan cupang hias. Dulu ketika masih membujang usahanya cukup sukses. Roda perekonomiannya mulai melambat setelah beberapa kali kena tipu namun demikian ia masih bisa bertahan dengan hidup yang sederhana bahkan berani menikahi seorang gadis teman satu kampung. Awal mulanya meskipun penghasilan Slamet pas-pasan istrinya tidak pernah mengeluh. Namun setelah pernikahannya menginjak 5 tahun dan memiliki 2 orang anak bahtera rumah tangga mereka mulai goyah. Apalagi semenjak istrinya mulai gandrung mengambil cicilan dari tukang kredit mulai dari panci anti lengket, microwave, kulkas, televisi layar datar hingga handphone layar sentuh dan Qwerty. Mulailah istrinya mengeluh minta ini itu. Adu mulut dan pertengkaranpun makin sering terjadi.

Puncaknya ketika anak pertama Slamet memecahkan akuarium tempat Slamet menaruh ikan-ikan cupang pilihannya. Slametpun naik pitam namun istrinya justru menyalahkan dirinya. Setelah bertengkar hebat keesokan harinya meninggalkan rumah tak tahu kemana dia pergi. Baru setelah setahun terdengar kabar ia merantau menjadi TKI ilegal di Brunei. Mulailah dia mampu memberi kiriman buat anak istrinya. Bahkan bertekad setelah tabungannya cukup bakal kembali untuk memulai lagi bisnis ikan cupang dengan skala yang lebih besar.

Suara dari mulut Slamet makin keras terdengar seperti orang mendengkur.“Nampaknya sakitnya sudah parah pak lurah!”

“Kalau begitu ayo angkat masukan kedalam musholla baringkan tubuhnya di tempat yang lebih nyaman sambil menunggu pak mantri datang!”

Tak lama kemudian datang seorang lelaki dengan membawa tas hitam. Ia lalu memeriksa lelaki tersebut. Setelah beberapa saat ia menarik nafas panjang dan berbisik ke arah pak lurah dan spontanitas terdengar ucapan dari pak Lurah “ Innalillahi Wainnailaihi Rajiun”.

Sementara orang berkerumun di dalam Musholla entah darimana asalnya seekor kucing tiba-tiba muncul mendekat kearah ikan cupang. Ia menggerak-gerakkan botol dan tumpahlah botol tersebut. Dalam waktu sekejap ikan cupang tersebut berada di perutnya. Melihat air yang tumpah seorang jamaah mengusir kucing tersebut.

“Auwww,” kucing itu hanya mengeong dan langsung kabur.

Kalibata, Juni 2010

Fathoni Arief

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun