Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pojok Jakarta : Sekejam-kejamnya Ibu Kos Tak Sekejam Ibu Kota

25 Juni 2010   01:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:18 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_176786" align="aligncenter" width="500" caption="doc. Fathoni Arief"][/caption]

“Astaghfirullahal'adzim, wah bisa mati tuh bayi!” ucapan spontan sopir taksi mengagetkan saya. Pandangan sopir taksi tertuju pada bocah laki-laki kecil usianya paling belum sampai 10 tahun menggendong bayi yang saya perkirakan baru beberapa bulan usianya. Wajah bayi tersebut memerah tersengat matahari. Bocah kecil itu meminta simpati dan belas kasihan dari pengendara kendaraan yang berhenti di perempatan ketika lampu berwarna merah.

Melihat fenomena tersebut spontanitas saya mengeluarkan kamera kebetulan lensa yang terpasang adalah lensa tele jadi mempermudah mengambil gambar. Lama juga menunggu bocah tersebut menghadap ke arah saya dan ketika ia sudah menghadap langsung saja saya membidik gambaranya. Bocah tersebut ketika mengetahui saya mengambil gambarnya langsung berusaha menutupi wajahnya, namun saya masih mendapat beberapa hasil bidikan yang jelas. Bocah kecil terburu-buru melintasi taksi yang saya naiki namun sopir taksi sempat naik pitam. “Eh balikin tuh bayi! Bisa mati tuh!” kata pak sopir. Bocah kecil itu langsung saja pergi. Lampu sinyalpun berganti warna hijau dan taksi kembali melaju.

Setelah melihat fenomena tersebut sopir taksipun mulai bercerita. Sebelumnya pak Sopir pernah punya pengalaman tidak mengenakkan dengan anak jalanan. Suatu saat ketika mobilnya berhenti di lampu merah di daerah senin lewat segerombolan anak-anak jalanan peminta-minta. Karena tidak diberi ia jengkel dan menggebrak kaca taksi. Penumpang taksi sempat dibikin kaget dengan kejadian tersebut. Tak terima penumpangnya diperlakukan seperti itu sopir taksipun turun dan mendatangi anak-anak tersebut. Beberapa pengemudi taksi lain sempat turun melihat peristiwa tersebut dan nyaris saja anak-anak jalanan tersebut babak belur.

Kehidupan di Jakarta yang serba keras memang membuat penghuninya seringkali terbentuk pribadi yang keras dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang : orang tua yang mengeksploitasi anaknya menjadi pengemis di pinggir jalan, pelaku beragam tindak kriminal seperti pencopetan, perampokan. Meskipun tak semua orang-orang jalanan seperti itu. Sebelumnya saya juga melihat seorang lelaki kakinya cacat, kaki kiri pendek dan kecil dibanding kaki kanan namun ia tak mau hanya menjual kasihan. Di bawah terik matahari ia berjalan menjajakan air mineral.

“Harusnya pemerintah lebih intens ngurusi hal-hal yang seperti itu! Bukan Cuma ngurusi kasus Ariel Luna Maya!Begini-begini meskipun rakyat kecil saya ini juga sarjana pak. Saya dulu mantan pegawai Bank,” ujar pak Sopir.

Sebut saja namanya Pak Joe, ia baru setengah tahun menjadi sopir taksi. Dulu sebelum menggeluti profesi ini ia pernah 8 tahun bekerja di sebuah Bank swasta yang kini telah dimerger. Bahkan terakhir ia menduduki posisi assistant manager bergaji hampir Sepuluh juta rupiah. Sebenarnya sempat juga ia ditawari bergabung dengan bank hasil merger tersebut namun karena tawaran yang diberikan baginya kurang menguntungkan ia memilih mengundurkan diri.

Ternyata Rizqi datangnya memang tak dari satu pintu saja. Pak Joe tak kehabisan akal mencari penghasilan buat keluarganya. Selepas keluar dari Bank ia menyewakan mobil dan mengisi waktu luang guna menambah penghasilan ia menjadi sopir taksi. “Ya itung-itung cari uang jajan tambahan buat anak-anak,” ujarnya.

Menjadi sopir taksi bagi Pak Joe tak membuatnya minder atau rendah diri. Bahkan ia menjalaninya dengan senang tanpa ada rasa gengsi. Justru dengan menjadi sopir taksi ia lebih bisa menikmati hidup dibanding saat masih bekerja di Bank dulu. Blak-blakan dia berucap : “ Kalau pingin pintar menjadi sopir taksi di armada A adalah tempat yang tepat”.

Pak Joe menjelaskan maksud ucapanya tersebut. Ketika menjalani profesi barunya inilah dia mendapatkan penumpang dari beragam profesi. Dari penumpang-penumpangnya ia sering sharing banyak hal. Keluh kesah, skandal adalah hal-hal yang sering ia jumpai. Roda kehidupan memang berputar dan kita harus selalu siap menghadapi semua seperti yang dialami pak Joe.

Diantara cerita Pak Joe ada yang paling menarik. Tentang seorang mantan pejabat di era orde baru. Kebetulan sang pejabat satu grup dengan pak sopir tiap kali mengikuti kajian agama. Di masa senjanya sang mantan pejabat merasa sudah sangat lelah bahkan pernah mengeluh kapan dia segera dipanggilNya. Sang mantan pejabat yang ingin menghapus segala dosanya itu giat beribadah dan beramal bahkan rutin setiap jumat ia berkeliling dari satu masjid ke masjid lain sekedar berinfaq. Entah uang darimana dan apakah diterima? Wallahu'alam.

Taksi terus melaju dan tak terasa sudah tiba di tujuan. bbanyak hal menarik terkait pengalaman hidup yang saya dapatkan dan perjalanan lebih dari sejam menembus macetnya ibukotapun menjadi tak terasa. Ada begitu banyak manusia yang gelap mata di ibukota ini namun mereka-mereka yang tetap menjaga prinsip-prinsip hidup tak kalah banyak pula.

Beginilah hidup di ibu kota. Dulu sewaktu masih mahasiswa ibu kos menjadi sosok yang menakutkan apalagi tiap kali menagih uang sewa namun ternyata masih lebih kejam ibu kota. Setiap kali keluar harus selalu siap dengan kejutan yang diberikan ibu kota.

“Jakarta menghardik nasibku

melecut menghantam pundakku tiada ruang bagi diamku matahari memelototiku bising suaranya mencampakkanku jatuh bergelut debu kemanakah harus kuhadapkan muka agar seimbang antara tidur dan jaga

(Antara 3 Kota, Emha Ainun Najib)

Wassalam

Selamat Hari Jumat

Jakarta 25 Juni 2010

Fathoni Arief

Artikel Sebelumnya :

Nusantara Kecil

Balada Gembel

Mencari Malam Tanpa Senja

Bayangan Dalam Cermin Retak

Senja di Boulevard

Pantang Pulang Sebelum Mendapat Uang

Sang Pemburu

Mantra Pemanggil Hujan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun