[caption id="attachment_172211" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]
“ Syahara kasihku kau menyinari ruang hidupku
Sedihnya bersamamu mengenang di hatiku
Syahara
Syahara sayangku mengukir indahnya bersamamu
Jalinan rasa rindu memburu di hatiku
Syahara....,”
Sayup-sayup saya mendengar alunan lagu dangdut syahara di dalam gerbong KRL ekonomi tujuan Bogor. Dua orang bocah perempuan kecil dengan membawa kotak tape dengan suara paraunya menyanyikan lagu yang cukup familiar bagi saya. Lagu yang sering saya dengar tiap kali naik bis antar provinsi. Sepanjang perjalanan dari kota kelahiran menuju Jakarta awak bus memutar keping disk yang berisi video konser-konser dangdut. Artis-artis lokal biasanya yang tampil dengan busana yang terkadang seronok. Berbeda dengan lantunan yang sering diputar dalam bus, di dalam gerbong KRL yang melaju suara anak kecil tersebut beradu dengan bunyi mesin kereta dan hiruk pikuk di dalamnya.
Masih di gerbong yang sama perhatian penumpang tertuju pada seorang pedagang. Bapak-bapak, umurnya saya perkirakan 40an. Lelaki ini memperagakan sesuatu, katanya alat sulap sederhana untuk anak-anak seperti yang sering diperagakan, Cinta, putri Uya Kuya. Ia mengeluarkan benda kecil berwarna hitam. Di dalamnya ada bola kecil yang bisa dibuka. Bola kecil tersebut bisa diisi dengan barang-barang seperti permen untuk trik sulap.
“ Harganya Cuma dua ribu saja,” katanya. Nampaknya ada beberapa penumpang yang tertarik membeli. Salah satunya mbak-mbak berjilbab. Penjual itu memperagakan bagaimana cara menggunakannya sekali lagi sampai si pembeli nampak faham dan ia bergeser ke gerbong lain mencari calon pembeli lain.
Tukang sulap itu bukanlah satu-satunya pedagang yang ada di kereta ini. Ada banyak pedagang asongan lain mulai dari penjual alat pijat, penjual koran, penjual air mineral, penjual makanan dan masih banyak lagi. Mereka hilir mudik tak henti-henti menawarkan barang daganganya diantara penumpang yang berdesakan.
Melihat kerja keras mereka saya teringat sebuah tulisan yang sempat saya lihat ketika dalam perjalanan menuju kawasan kota tua. Saya berjalan dari kawasan Glodok di emperan toko dimana sering dijumpai pelukis, penjual cincin, obat tradisional dan barang-barang lain. Awalnya saya terkesima dengan seorang bapak tua yang tengah melukis sebuah foto. Untuk melihat foto secara detail ia memakai semacam kaca pembesar. Namun yang paling menarik perhatian adalah tulisan “Pantang Pulang Sebelum Mendapatkan Uang”. Tulisan yang terpajang di kertas karton diantara daganganya. Kalimat sederhana namun maknanya bagi saya cukup luar biasa. Pedagang asongan, pedagang kaki lima seperti mereka adalah sosok-sosok tangguh yang tak mau menengadahkan tangan begitu saja. Meskipun mereka terkadang harus merana karena keberadaan mereka dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu dan perlu ditertibkan.
[caption id="attachment_172283" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]
Kerasnya hidup di Jakarta membuat setiap individu dituntut kreatif dan lebih keras bekerja. Seperti mereka sosok-sosok penghuni ibu kota yang tak kenal menyerah. Bukan tidak mungkin suatu saat jika kota ini makin gila membangun tanpa memperhatikan sisi lain sosok seperti itu hanya bisa dilihat kecuali setahun sekali setiap ada pameran atau di museum-museum sejarah Kota.
“Pantang Pulang Sebelum Mendapatkan Uang”
Catatan Sabtu 19 Juni 2010
Fathoni Arief
Artikel Sebelumnya :
1. Sang Pemburu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H