[caption id="attachment_162200" align="alignright" width="300" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]
Jaket kulit warna hitam begitu lekat dengan profesi ini. Profesi yang saat ini sangat mudah kita jumpai tak hanya di kota-kota besar di pelosok-pelosok keberadaannya menjamur. Profesi yang seringkali kita butuhkan tapi tak jarang pula menyebalkan dan menjengkelkan dengan segala perilaku dan tindakannya.
Tak seperti yang tercatat di tiket kereta Argo Dwipangga tiba di stasiun Jatinegara empatpuluh lima menit lebih lama. Perlahan kereta menghentikan lajunya dan segera belasan orang berbaju kuning menyerbu pintu-pintu kereta. Mereka menawarkan jasa mengangkat barang bawaan dari penumpang. Saya berjalan melintasi portir, melewati calon-calon penumpang yang tidur, duduk dan istirahat di lantai stasiun menuju pintu keluar di sisi Barat. Baru saja mendekati pintu keluar deratan sopir taksi dan tukang ojek langsung menawarkan jasanya. Saya melihat sekitar dan menerima tawaran seorang tukang ojek.
Segera si tukang ojek mengajak saya mengikutinya dan menyerahkan helm standar SNI. Diantara deretan bajaj tukang ojek menyelinap mengambil motornya yang terparkir. Tak lama ojek inipun melaju menyusuri jalanan Jakarta menuju Kalibata.
“Biasanya sehari dapat berapa Bang?” tanya saya di tengah perjalanan,
“Yah tak tentu tergantung hari. Kalau hari Senin begini cukup lumayan bisa sampe Rp.100.000,- sampe jam duabelas siang. Tapi hari Sabtu Minggu sepi seringkali tidak mendapat penumpang,” jawabnya,
Tukang ojek, selama ini saya sangat mengandalkan jasanya tiap kali kembali dari luar kota dan menempuh perjalanan dengan kereta api. Naik ojek tidak begitu ribet dan lebih cepat sampai. Dari Jatinegara menuju Kalibata jika ditempuh di waktu Subuh begini hanya butuh waktu sekira lima belas menit.
Saat ini profesi tukang ojek banyak dijumpai di seantero negeri. Di Jakarta saja mereka ada dimana-mana mulai dari stasiun, pasar, terminal, depan perkantoran, gang dekat kampung bahkan di bandara mereka juga ada. Susahnya mencari kerja dan makin mudahnya mendapatkan kendaraan bermotor sebagai salah satu pemicu makin banyaknya orang dengan profesi ini. Jika saja mereka memiliki kesempatan yang lebih baik mungkin saja mereka akan memilih profesi lain.
Tentang tukang ojek setiap kali memanfaatkan jasa mereka saya seringkali mengajak ngobrol dan bertanya tentang apa saja. Biasanya mereka mulai mengeluarkan entah itu keluh kesah atau cerita yang lain. Saya yang dulunya jengkel dengan mereka karena terkesan ngotot saat tawarkan jasanya jadi merubah pandangan saya terhadap mereka. Betapa tidak jengkel suatu ketika saya dan dua orang rekan tiba di terminal pelabuhan ratu. Waktu itu sudah mendekati pulul satu malam. Baru saja kami turun dari bis belasan tukang ojek menyerbu kami. Sudah kami tolak baik-baik mereka tak patah semangat dua ditolah dua datang ditolak lagi datang yang lain. Namun saya mulai memahami perilaku mereka setelah mendapat cerita dari seorang tukang ojek tentang suka duka yang di alaminya.
Pada suatu ketika saya ada acara di sebuah Cafe yang terletak di daerah Thamrin. Tak seperti biasanya meskipun acara berlangsung malam hari saya sengaja tidak membawa motor. Selain karena malas berkendara di tengah kemacetan kondisi badan saya masih belum fit setelah beberapa hari sebelumnya menempuh perjalanan dengan medan yang cukup membuat badan pegal-pegal.
[caption id="attachment_162202" align="alignleft" width="300" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]
Sebenarnya jam 9 acara sudah selesai. Jika memilih naik bis masih banyak bis yang melewati jalan pasar Minggu tapi masalahnya jam segini sudah tak ada angkot masuk ke jalan kecil menuju tempat tinggal saya. Seperti biasanya taksi menjadi alternatif pilihan. Saya melangkah mendekati sebuah taksi warna putih yang tengah berhenti namun agak di depan. Namun ketika saya melangkah ternyata sudah ada penumpang lain yang memesan terpaksa saya urungkan niat.
Mungkin mengerti saya tengah membutuhkan tumpangan seorang tukang ojek memanggil. Ia menawarkan jasa ojeknya. Iseng-iseng saya bertanya berapa ongkosnya. Ternyata harga yang dia tawarkan memang lebih murah dari taksi. Tanpa banyak menawar saya tergerak untuk naik ojek sajalah apalagi melihat sekali-kali berbagi dengan yang kurang beruntung. Sepanjang perjalanan berceritalah si tukang ojek, tentang keluarganya, tentang nasib sial yang dialaminya. “Sudah hampir seminggu saya sepi penumpang sampai-sampai tak mampu bayar setoran,” keluhnya.
Ternyata tukang ojek ini hanya menyewa saja motornya. Pantas saja dia harus menyetor. Dengan makin banyaknya tukang ojek persaingan mendapatkan penumpangpun makin ketat.
[caption id="attachment_162204" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]
Meskipun terkadang masih ada rasa jengkel terutama tiap kali melihat cara berkendara mereka dan cara menggaet penumpang saya mulai berempati pada mereka. Coba saja cermati pemberitaan di media terkait mereka. Banyak kejadian naas yang menimpa seperti tukang ojek dibunuh, salah tembak, dirampok, tertabrak bus meskipun ada juga beberapa tukang ojek yang melakukan tindak kejahatan. Sebenarnya Jika saja ada cara lain mencari rezeki yang mereka ketahui dan bisa lakukan tentu saja mereka tak selamanya menjadi tukang ojek. Atau ketidak tahuan mereka terhadap potensi lain yang menyebabkan mereka meninggalkan ladang, berhenti berdagang dan masih banyak sebab lainya. Satu pekerjaan rumah bagi pemerintah yang katanya dipilih rakyat untuk menyediakan lapangan kerja dan membuka kesempatan berkarya bagi rakyatnya.
Wassalam
Fathoni Arief
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H