Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Orang Kampung Balik ke Ibu Kota

7 Juli 2010   01:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:02 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_187412" align="alignleft" width="300" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Bus malam antar provinsi mulai melaju di jalur Selatan membelah jalan di pinggir jurang yang berkelok-kelok- jalan menghubungkan Trenggalek dan Ponorogo. Bukan kali ini saja saya naik bus tersebut, namun melewati jalur Trenggalek-Ponorogo dengan bus malam menjadi pengalaman pertama kali. Sebenarnya naik bus menuju Jakarta selalu jadi pilihan terakhir saya. Saya sempat membeli tiket di stasiun namun karena kegilaan masa liburan tiket kereta kelas Eksekutif dan bisnis sudah ludes.

Melewati jalur ini dengan bus mengingatkan saya pada kenangan ketika saya turut dalam tes penerimaan calon perwira TNI. Waktu itu saya bersama dua orang rekan lain –diantara kami bertiga dua orang yang lolos. Satu menjadi perwira angkatan laut dan lainya perwira angkatan darat- iseng mencoba jalur Madiun-Ponorogo-Trenggalek-Tulungagung. Kami naik bus ukuran kecil menuju Ponorogo sesampainya kota Reog ini kebetulan bus yang menuju Trenggalek terbatas – sehari sebelumnya terjadi peristiwa tanah longsor di jalur Ponorogo Trenggalek. Ada satu bus yang siap berangkat itupun penuh sesak dengan beragam aroma yang menusuk hidung. Entah apa yang ada di fikiran kami waktu itu hingga memutuskan kembali ke Madiun dan naik bus seperti biasa.

[caption id="attachment_187413" align="aligncenter" width="300" caption="Jalur Trenggalek-Ponorogo kondisi jalan berkelok-kelok dengan jurang di kanan atau kiri/ doc.Fathoni Arief"][/caption]

Meninggalkan kampung halaman. Peristiwa inilah yang paling saya benci. Ketika saya harus kembali pada rutinitas sehari-haridi ibukota tempat saya mencari sesuap nasi dan berhadapan dengan waktu yang berjalan begitu cepat.

Bagi saya di Jakarta waktu memang berjalan dengan sangat cepat. Berbeda ketika berada di kampung halaman. Oleh karena itulah tiap kali berada di kampung saya selalu menikmati waktu. Kemana-mana jika masih berada di area kota saya tak pernah naik sepeda motor. Saya memilih naik sepeda atau berjalan kaki. Sambil mengayuh sepeda saya nikmati waktu yang berjalan pelan melewati jalanan yang tak begitu ramai dan udara yang belum sekotor Jakarta.

Nikmat rasanya menikmati waktu yang berjalan pelan tersebut. Sesekali saya menata puzzle-puzzle kenangan masa kecil hingga SMA di kota kelahiran. Bagaimana indahnya masa-masa tersebut ketika sekolah pulang lebih awal dan kami bersuka berkumpul di rumah salah seorang kawan. Di sana sekedar bersenda gurau sambil bermain Nintendo atau menyewa laser disc nonton bareng film-film terbaru. Jika sudah seperti itu waktu biasanya tak terasa tahu-tahu sudah sore dan kami pulang ke rumah masing-masing. Kenangan-kenangan itu masih tampak jelas yang membuktikan saya bagian dari kota ini meskipun sekarang rasanya beda. Saya seperti seorang tamu, dan asing dengan kota sendiri.

[caption id="attachment_187416" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana halaman rumah tempat saya dibesarkan/doc.Fathoni Arief"][/caption] Terkadang saya merenung apa enaknya hidup di Jakarta? Bukankah lebih enak menikmati kehidupan yang bersahaja di sebuah kampung yang udaranya masih bersih. Memiliki rumah dengan halaman yang lapang dengan kebun-kebun berisi pohon buah-buahan dan tanaman kebutuhan sehari-hari mulai dari cabe, tomat, dan tanaman lain yang mudah ditanam. Memiliki beberapa ekor ayam yang memasok telur dan sekali-kali ketika ada hajatan tak perlu repot membeli ayam tinggal potong saja beberapa ekor. Bukankah lebih enak seperti ini? Hmm semoga suatu saat saya bisa mewujudkan mimpi saya tersebut. Saya hanya ingin menikmati waktu. Sesuatu yang terlalu berharga jika disia-siakan begitu saja. Saya ingin jadi orang desa dan hidup di desa meskipun saya yakin tiap orang punya keinginan sendiri-sendiri dan berbeda-beda.

Bus malam terus melaju. Belasan jam kemudian saya akan dibawa kembali ke Jakarta. Meninggalkan segala keindahan di kota kelahiran membawa kembali menuju kenyataan.

Fathoni Arief

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun