Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Langit Tak Lagi Merah

10 Juli 2010   01:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:58 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_189774" align="aligncenter" width="500" caption="Illustrasi : Fathoni Arief"][/caption] Temperatur udara malam ini cukup tinggi. Meski ada angin yang berhembus itupun hanya membawa udara kering. Perangkat Air Conditioner yang sudah disetting ke suhu terendah juga tak cukup mampu membuat ruangan sejuk. Terpaksalah aku keluar ke teras depan di lantai atas ruko tempat tinggalku walaupun sebenarnya itu tak baik bagi kesehatan. Biasanya temperatur yang cukup tinggi seperti ini pertanda akan datangnya hujan. Bulan ini sudah memasuki bulan Oktober dimana seharusnya sudah musim penghujan.

Dari sini bisa kuamati gemerlapnya cahaya lampu kota. Entah berapa Mega Watt hour (MWh)yang dihabiskan untuk menerangi gedung-gedung tinggi itu. Sungguh ironi ketika mendengar banyak daerah di pelosok mengalami pemadaman, justru disini menjadi ajang buang-buang energi listrik.

Dari jauh dengan jelas bisa kulihat gedung itu. Gedung-gedung dengan ketinggian diatas dua puluh lantai. Masih bisa kuingat proses pembangunan salah satu diantara gedung itu. Baru selesai dibangun kira-kira setahun yang lalu. Gedung baru yang letaknya di bagian terdepan jika dilihat dari rukoku itu struktur utamanya terbuat dari baja-baja profil. Baja-baja yang mengingatkanku pada sebuah jembatan Type Calender Hamilton yang terletak di perbatasan Yogya Magelang. Daerah yang sering kulewati semasa masih kuliah di kota Pelajar Yogyakarta. Kupandangi langit yang menaungi bumi tempatku berpijak. Cahaya yang tak begitu tampak, kalah oleh sorotan cahaya lampu dari gedung-gedung tinggi itu. Sekali cahaya lampu itu kalah oleh cahaya lain. Cahaya merah yang muncul di Ibu kota ini kira-kira tujuh tahun yang lalu begitu menenggelamkan gemerlapnya cahaya lampu gedung-gedung tinggi. Sekali peristiwa itu pernah terjadi. Kini langit tak lagi berwarna merah. Aku seorang warga keturunan. Etnis yang seringkali jadi sasaran dari amarah massa. Seratus persen darah Asia Timur dengan ciri-ciri kulit kuning mengalir dalam diriku. Boleh orang menganggap  aku seorang keturunan, tapi bagiku aku seratus persen warga negara Indonesia. Kewarganegaraan yang begitu kujunjung dan akan kubela mati-matian. Memang sejarah terhadap kaum kami pernah mengalami masa-masa mengenaskan. Dari peristiwa pembantaian ribuan etnis keturunan oleh Gubernur Jenderal VOC, Adrian Valckenier. Pemberangusan oleh pasukan Adipati Cakraningrat IV dari Madura. Pengusiran oleh orde lama hingga yang terjadi beberapa tahun lalu dalam kerusuhan penggulingan ORBA. Dua tahun aku merintis usahaku, selama itu pula akhirnya bisa membeli Ruko ini walaupun secara angsuran yang masih menyisakan beberapa kali pembayaran lagi. Semangat dan etos kerja yang selalu diajarkan papa dan mama begitu kuterapkan, dengan disiplin usahaku bisa berkembang sejauh ini. Usaha perdagangan barang kebutuhan sehari-hari yang mulai kurintis selepas lulus dari Fakultas Ekonomi sebuah Universitas Negeri di Yogya. Sebuah usaha yang mulai bisa kurasakan hasilnya, dan mampu membuat papa dan mamaku tersenyum. Papa dan mama memang pantas tersenyum melihat puteranya ini. Penerus generasi dari keluarganya anak satu-satunya. Punya penghasilan sendiri, punya kehidupan yang cukup mapan ditemani dengan seorang istri cantik dan seorang bayi yang sehat. Helen, istri yang kunikahi satu setengah tahun yang lalu. Bayi mungil kami sendiri seorang perempuan kuning cantik seperti ibunya. Suasana keluarga yang membuat langit semakin cerah dan menghilangkan warna kelabu diatas rumahku. Lelah dan capek selepas seharian bekerja, duduk disini setidaknya mampu membuat pikiran tenang kembali. Malam semakin larut perlahan hawa dingin mulai datang menggantikan hawa panas. Terpaksa aku masuk kedalam ruangan. Kumasuki kamar tidur kulihat Helen istri cantikku sedang terlelap dalam tidurnya. Maklum ia begitu capek seharian mengurus bayi kecilku ini. Kuambil selimut dan menutupi tubuhnya benar-benar seorang istri yang setia. Tak ingin membuatnya terbangun. Segera aku keluar kamar dan menuju ruangan kerjaku. Kulihat kembali berkas-berkas pembukuan selama satu minggu ini. Satu demi satu aku cek kembali lembaran-lembaran itu. Tak sengaja terambil olehku sebuah guntingan berita koran nasional tanggalnya tersobek, bulannya masih jelas Mei 1998. Kubaca guntingan berita itu, sebuah kenangan lama kini bangkit kembali. Pikiranku sepenuhnya tertuju pada kejadian yang tertulis disitu. Ibu Kota rusuh, puluhan ruko, toko, swalayan dibakar. ***** Kompleks kawasan pertokoan di pertengahan bulan Mei 1998. Daerah kawasan niaga itu seperti biasanya ramai dengan kegiatan jual beli. Kawasan yang sebagian besar dihuni oleh etnis Cina itu memang salah satu pusat pertokoan terbesar di Ibu kota. Salah satu sudut kompleks itu nampak sebuah toko yang ramai dikunjungi oleh pembeli. Nampak seorang etnis dan istrinya, merekalah pemilik toko itu, Lim dan May, sepasang suami istri yang sudah belasan tahun berniaga di kawasan itu. Toko yang menjual berbagai macam kebutuhan, termasuk salah satu toko teramai. Terlihat beberapa orang karyawan yang sibuk melayani pembeli dan menurunkan barang dari mobil pengangkut yang datang. "Slamet sudah diturunkan semuanya belum?" Tanya Lim pada Slamet salah seorang karyawannya.

"Sudah Koh, ini yang terakhir." Dibawanya barang-barang itu masuk ke gudang yang terletak dibelakang rumah.

"Pi kiriman gula katanya datang hari ini, kok sampai sekarang belum juga datang?" tanya May pada Lim.

"Sudah kamu Cek May? "

"Katanya sudah berangkat tapi kok belum nyampe-nyampe. "Perempuan Cina totok istri pemilik ruko itu kelihatan mondar-mandir didepan tempat jualannya.

"Oh ya pi tadi pagi anakmu si Han nelpon dari Jogja. Katanya disana mulai ramai dan kemarin sempat terjadi bentrok massa. Aku jadi kuatir akan keselamatannya." Kerusuhan juga terjadi di Yogyakarta pada tanggal 5 Mei 1998 yang berlanjut dengan kerusuhan kedua di Yogyakarta terjadi pada hari Jumat tanggal 8 Mei 1998. Kerusuhan kali ini lebih besar dari kerusuhan yang terjadi hari Selasa 5 Mei 1998 dan disebabkan adanya korban meninggal dunia. Awal dari peristiwa ini berasal dari unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan di beberapa Universitas di Yogyakarta. Usai menunaikan sholat Jumat tanggal 8 Mei 1998, ribuan mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta melakukan demonstrasi di Bundaran kampus UGM selama beberapa jam lamanya. Demonstrasi itu sendiri berlangsung dengan tertib. Mereka menyampaikan pernyataan keprihatinan mahasiswa atas kondisi perekonomian saat ini yang tengah dilanda krisis moneter. Mahasiswa juga memprotes kenaikan harga-harga dan mendesak untuk sesegera mungkin dilakukannya Reformasi. Ditempat lain siang itu, ratusan orang juga melakukan demonstrasi di halaman kampus Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta. Menjelang sore hari demonstran bergerak menuju kampus Bulaksumur. Mereka dihadang aparat keamanan. Hadangan aparat tak membuat demonstran gentar bukanya membubarkan diri mereka justru bertahan dan tetap bergerak. Terjadilah bentrokan. Mahasiswa dan masyarakat melawan aparat dengan batu, petasan, bahkan bom molotov pada sore itu di sekitar Jalan Gejayan. Tak ayal lagi tempat ini menjadi ajang pertarungan antara pengunjuk rasa dengan aparat yang mencegah mereka bergabung ke UGM. Hingga dini hari terjadi kerusuhan hingga meluas ke daerah lain di Yogyakarta.

"Sudahlah dia kan sudah besar bisa jaga diri,"

"Bukan itu yang kutakutkan. Status kita sebagai etnis Cina yang membuatku ketakutan."

"Ya berdo'a aja May,"

Sore itu mendekati Maghrib suasana ibukota berubah. Langit berwarna merah diselingi dengan asap tebal berwarna hitam. Jakarta jadi lautan api, jerit tangis dan rintihan mengiringi kejadian itu. Sebuah kerusuhan massa terjadi. Berita koran melaporkan puluhan toko dan mobil dibakar. Dimana-mana terjadi penjarahan. Puluhan orang hilang kebanyakan diantara mereka adalah kaum etnis. Sampai sekarang tak tahu dimana keberadaan mereka.

*****

"Belum tidur kau Han?" Helen muncul dari kamar tidur membangunkanku dari lamunan panjangku. "Ya Helen. Aku tak sengaja menemukan guntinganan ini. Seterusnya kenangan itu muncul kembali. Kenangan buruk itu Helen." Helen menuju ke belakang sesaat kemudian balik dengan membawa segelas air putih. "Minum ini dulu Han. Mungkin kau masih terlalu capek seharian kerja keras." Segera kuambil gelas itu dari tangannya. Perlahan-lahan ku teguk air itu hingga tak bersisa lagi. "Bagaimana Han sudah lega perasaanmu? Tanya Helen kembali.

"Lumayan, ya aku mungkin terlalu capek. Perasaan itu memang sering datang kembali. Aku takut hal itu akan terjadi kembali."

"Pasrahkan saja pada penguasa alam Han. Lagipula kondisi saat ini mulai sedikit berfihak pada etnis seperti kita ini."

"Ya semoga saja benar kata-katamu,"

"Sekarang tidurlah Han besok kau masih banyak pekerjaan,"

"Ya, Helen,"

Aku segera melangkahkan kaki menuju kamar tidurku. Tak lupa aku menoleh foto yang terletak disebelah dinding kamar tidurku. Kulihat Papi sama Mami dalam foto itu, mereka tersenyum melihatku. Yogyakarta, Oktober 2005 Fathoni Arief *)Cerpen koleksi lama peninggalan masa-masa kuliah jadi harap maklum kalau ceritanya ngawur :P

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun