[caption id="attachment_132773" align="alignleft" width="225" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]
“Nama pemberian orang tua pertama kali saya diberi nama sesuai hari kelahiran. Karena saya lahir hari Kamis maka saya diberi nama Kamis. Namun setelah itu orang tua berfikir. Kok kayaknya kurang pas nama anak memakai nama hari. Akhirnya nama saya dirubah, karena saya lahir di bulan Safar akhirnya diberi nama Parman,” Guru Parman.
Waktu serasa berjalan cepat ketika saya dan tim mencari lokasi SD Gunung Agung untuk bertemu Guru Parman. Hampir dua jam mobil kami menelusuri daerah sekitar waduk Sermo berdasar informasi dari penduduk setempat. Namun semua info yang kami terima simpang siur tak ada yang sesuai. Kami nyaris putus asa maklum waktu yang kami punya terbatas belum lagi biasanya sekolah diatas jam 12 siswa-siswanya sudah bubar. Namun kami terus mencoba mencari hingga kami bertemu seorang tukang ojek.
Tukang ojek yang kami jumpai memiliki informasi mengenai keberadaan sekolah yang kami cari. Ternyata memang lokasinya berada di atas pantas saja berjam-jam mengitari daerah sekitar waduk Sermo kami tak menemukan lokasi yang kami cari. Satu keberuntungan lainnya tukang ojek tersebut bersedia mengantar rombongan kami.
Jalan menuju ke lokasi yang kami cari ternyata sedari tadi sudah kami lewati. Namun karena jalan tersebut kondisinya rusak dan tak terlihat seperti jalan utama sehingga tak pernah terfikir melalui jalan tersebut. Kami naik mobil sedangkan tukang ojek menjadi pemandu kami berada di depan.
Mobil berjalan menyusuri jalan dengan kecepatan rendah. Kami mengikuti tukang ojek yang berada di depan. Namun belum lama berjalan ojek berhenti. Ternyata jalan rusak berat dan tengah dalam perbaikan. Itu merupakan satu-satunya jalan sehingga terpaksa kami berhenti mencari solusi. Dari hasil pembicaraan dengan tukang ojek kami ditawarkan naik bertiga. Yang naik ke atas adalah saya dan seorang rekan yang membawa kamera video. Pilihan tersebut menjadi satu-satunya pilihan karena jika harus turun mencari tukang ojek lagi juga bakal menyita waktu.
Membayangkan sepeda motor bebek keluaran Jepang membawa 3 orang naik dengan kondisi jalan seperti ini sebenarnya tidak tega juga. Namun si tukang ojek sudah menyatakan kesanggupan okelah kami segera naik sementara yang lain menunggu di mobil.
Motor perlahan melanjutkan perjalanan melewati jalan berbatu. Batu bukan sekedar batu kecil namun terkadang batu-batu besar. Jalan yang masih memakai perkerasan makadam. Sambil terpental-pental diatas jok tukang ojeg menarik gas menuju SD Gunung Agung. Di sepanjang perjalanan ia bercerita tentang pahit getir penduduk yang tinggal di sekitar lokasi yang kami lewati. Satu yang menarik si tukang ojek dalam kondisi normal belum tentu setahun sekali naik ke atas.
Setelah menempuh perjalanan sekira setengah jam kami akhirnya tiba di SD Gunung Agung. Beberapa guru masih nampak dan untung saja orang yang saya cari masih ada disana. Seorang guru Agama bernama Parman.
Siapa sebenarnya sosok guru Parman? Apa yang membuat saya jauh-jauh berkunjung?
Semua berawal dari pertengahan 1984, saat Parman mendapat surat pengangkatan sebagai guru di SDN Gunung Agung, Kokap, Kulon Progo. Dalam angannya ia membayangkan akan menempati salah satu sekolah di daerah Gunung Agung, yang berjarak kurang lebih 8 km dari tempat tinggalnya. Daerah tersebut aksesnya termasuk gampang. Untuk mencapai lokasinyabisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum.
[caption id="attachment_132796" align="aligncenter" width="300" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]
Anggapan Parman ternyata salah besar. Bukannya ditempatkan di wilayah Gunung Agung yang ia bayangkan. Tapi SDN Gunung Agung yang harus ia tuju adalah sebuah sekolah baru berlokasi di daerah Plampang. Wilayah tersebut terletak kurang lebih 10 km dari pusat kecamatan Kokap ke arah Barat.
Bukan soal selisih dua kilometer dari yang ia kira. Namun, Plampang adalah kawasan pegunungan. Waktu itu belum ada akses yang memadai, jangankan angkutan motor saja juga tak bisa. Satu-satunya cara untuk menuju ke sana hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki. Jalan kaki dari dari pusat kecamatan menuju ke lokasi kira-kira menghabiskan waktu sejam lebih.
Menerima satu fakta demikian keikhlasan dan panggilan pengabdian Parman diuji. Satu tantangan pengabdian yang kemudian dengan iklas diterima dan diambilnya dengan sangat lapang dada. Mengabdi sepenuh hati kata-kata yang selalu ada senantiasa dipupuk di fikiran dan lubuk hatinya.
Parman lahir pada tanggal 4 Juni 1960 di Kulon Progo. Dilahirkan dari pasangan Kasan nadi dan Setilah semuanya sudah almarhum.Parman merupakan anak keempat dari 5 bersaudara. Mereka adalah; Wajiyem anak pertama, yang kedua Samiyo (55 tahun), ketiga Saifudin (51 tahun), ketiga Parman (47 tahun) dan terakhir Tukadi (44 tahun). Dari kelima bersaudara ini hanya Parman yang menjadi seorang pegawai negeri. Lainnya profesinya petani. Sejak umur 3 tahun Parman telah ditinggal oleh bapaknya . Sedangkan sang ibu baru 5 tahun yang lalu meninggal dunia. Adik saya baru setahun bapak saya meninggal dunia.
Desa kelahiran parman adalah Desa Sangkrek Hargorejo Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo. Namun kini ia sudadah berpindah alamat ke Siluwok Kidul Tawangsari Pengasih Kulon Progo. SD Parman di Kokap kemudian masuk PGA 6 tahun di Wates kemudian tahun 1981 masuk IAIN Sunan Kalijaga. Tahun 1984 bisa diterima jadi CPNS itu sambil melanjutkan kuliah karena sekolah ia mengajar baru kelas 1 sehingga mungkin jamnya baru sedikit. Sehingga ia tetap bisa kuliah lagi tanpa mengurangi jam mengajar. Lulus menjadi sarjana baru pada tahun 1988.
Saat sekolah SD dari Songkrek ke Kokap Parman menempuhnya dengan berjalan kaki. Waktu PGA dari desanya menuju Wates ia juga jalan kaki selama 6 tahun. Kira-kira itu berjarak kurang lebih 15 km. Kemudian ia dibelikan sepeda seharga 6 ribu. Pada waktu itu jalanya belum sampai ke atas. Ia tetap jalan sejauh 4 kilo. Sepedanya dititipkan baru kemudian ia bisa naiki menuju sekolahnya. Saat kuliah ia masuk di pondok pesantren Al Munawir yogyakarta. Setelah 4 tahun kemudian diterima CPNS kemudian pulang dan mengajar di SDN Gunungagung. Meski tak lagi mondok ia masih sering mampir disana dan terkadang juga menginap.
Ban Bocor Hingga Wabah Sakit Kulit
Sebenarnya Parman tak pernah bercita-cita menjadi seorang guru. Awal menjadi guru bermula dari arahan sang Kakak yang berlatar belakang pondok pesantren. Karena dasar Agama yang kuat dari keluarganya maka setelah lulus SD ia kemudian diarahkan melanjutkan ke PGA. Waktu itu rekan-rekan satu angkatanya kebanyakan ke SMP hanya ia sendiri yang melanjutkan ke PGA.
“Mungkin ya dari orang tua mungkin dari hati nurani sendiri tapi yang jelas keinginanya Lillahi Ta’ala berjuang untuk berjuang,” Kata Parman mengenai apa yang menjadi motivasi awal menjalani profesi sebagai seorang guru.
Parman menyadari akan pentingnya satu kata mengabdi bagi seorang guru. “Guru itu adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sehingga disitu dalam menjalaninya akan penuh pengorbanan, pengabdian, keuletan, ketelatenan dan kesabaran”, paparnya. Semua itu tambahnya harus benar-benar dijalankan sehingga nantinya akan menghasilkan generasi penerus seperti yang diinginkan.
Saat pertama kali datang ke SDN Gunung Agung wilayah tersebut tadinya belantara. Di situ masih fasilitas penunjang dan gedung yang bagus bahkan plakat saja belum ada. Selagi proses persiapan pendirian SD tersebut Parman dititipkan di SD Sangon selama 3 bulan.
Tugas pertama Parman serta beberapa guru angkatan pertama di SDN Gunung Agung mendaftar siswa sejumlah 101 anak. “Pada waktu itu yang diterima ada 81 anak itu dijadikan 2 kelas”, kenangnya. Saat pertama kali memulai tahun ajaran baru ada 3 guru umum dan 1 guru agama. Parman disana selaku guru Agama Islam.
Ada begitu banyak halangan dan rintangan yang menguji kesabaran seorang Parman selama menjadi guru di sana. Tantangan pertama yang ia hadapi adalah kepercayaan warga terhadap hal-hal klenik. Disana pada waktu itu orang tua benar-benar dihormati sehingga apa yang dikatakan bisa dibilang manjur. Menurutnya masyarakat disana itu lugu. Kepercayaan terhadap orang tua masih kuat sampai sekarang. Sedikit demi sedkit setelah generasi tua habis kepercayaan itu mulai surut. Ada adat tertentu.
Tiap terjadi sebuah peristiwa pasti warga selalu menghubung-hubungkan dan membuat upacara. “Pada waktu itu ada wabah sakit kulit hingga ada anak yang meninggal dan kebetulan murid SDN Gunung Agung sehingga masyarakat menghubungkan kejadian itu dengan keberadaan SD”, paparnya. Akibat langsung peristiwa tersebut akhirnya yang mendaftar ke sekolah ini surut. Warga berkeyakinan adanya SD dianggap sebagai pembawa celaka.
Daerah sekitar SD Gunung Agung memang sedikit terpencil dan agak terbelakang. Hingga saat ini masih
[caption id="attachment_132794" align="alignright" width="196" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]
banyak diantara muridnya yang masih memakai sandal atau bahkan “nyeker” alias tidak pakai alas kaki. Menurut Parman hal itu lebih karena faktor ekonomi yang lemah.
Selain menghadapi tantangan budaya Parman juga harus menaklukan medan yang sulit. Bertahun-tahun ia harus jalan kaki menuju ke tempat mengajar hingga akhirnya jalanan barupun dibuat dan ia bisa menggunakan motor kesana. Namun ternyata tiap kali hujan kondisi sulit masih sering ia hadapai. Pernah ia harus mendorong sepeda motornya karena tidak bisa berjalan di medan yang berlumpur.
“Lokasi yang terjal dan sulit apalagi kalau hujan. Medannya tinggi dan formasi medannya bertanah lempung dan berbatu-batu. Kalau tidak didorong tak bisa jalan. akhirnya didorong dengan pelan-pelan. Sampai diatas malah kebanan (ban bocor). Kalau bocor rodanya dilepas dibawa ke tukang tambal baru diambil terus dipasang lagi,” kenangnya.
Satu prinsip yang selalu dipegang Parman disana mengajar, disini juga mengajar jadi tak masalah ditempatkan dimanapun. Sebenarnya meskipun bisa mengajukan pindah kalau meminta ia merasa tak tega meninggalkan SDN Gunung Agung.
“Kalau berada di tempat yang maju mungkin saya mungkin bekerja itu tak bisa melihat seberapa hasilnya. Namun kalau di daerah seperti ini setelah ia mengajar akan bisa terlihat seberapa hasilnya yang ia lakukan,” kenangnya.
Kalau ada perubahan setelah saya mengajar berarti ada kemajuan. Pendidikan itu karena tuntutan jaman yang serba global sehingga sedikit-sedikit berubah sehingga mau tidak mau mengikuti arus seperti itu.
Setelah Parman berada disana khususnya untuk bidang studi pendidikan Agama sudah ada kemajuan. Dulu ketika awal datangkondisinya masih nol. Pemahaman tentang agama Islam masih nol. Dulu belum ada yang sholat, belum ada sarana ibadah tapi sekarang. Hal itu menjadi satu lahan baru baginya untuk beribadah. Memberi pemahaman agama sesuai dengan prinsip Islam sehingga sampai saat ini sudah ada kemajuan.Walaupun di daerah sulit saya akan merasa puas melihat anak dulunya tidak mengerti dan faham agama kini sedikit mengerti.Mereka sudah bisa sholat, wudhu.
Berkat ketulusan dan semangat pengabdiannya itulah akhirnya Parman menerima penghargaan dari Pemerintah. Tahun 2007 Ia termasuk salah satu dari dua guru yang dipilih menjadi wakil DIY untuk menerima penghargaan sebagai guru berdedikasi di Jakarta.
Pertemuan dengan Pak Parman hari itu begitu berkesan bagi saya. Masih ada banyak sosok-sosok yang berjuang di tengah keterbatasan tanpa pamrih.
Catatan Perjalanan Agustus 2007
Fathoni Arief
video tentang kisah pak parman bisa dilihat di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H