Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kisah Dari Pinggiran Manokwari

9 April 2010   04:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:54 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_114316" align="aligncenter" width="300" caption="doc. Fathoni Arief"][/caption]

Hotel tempat saya menginap bukanlah penginapan yang memiliki banyak bintang dibalik statusnya. Sebuah hotel yang bangunannya berlantai dua, memiliki sarana yang cukup lengkap, dan cukup layak. Jika di Jakarta mungkin sekelas dengan hotel-hotel kelas melati. Meski demikian ternyata hotel ini cukup ramai dan dari foto-foto yang dipajang di lobi banyak pejabat-pejabat dan tokoh penting pernah menginap di sini.

Saya memesan sebuah kamar di lantai dua. Kamar dengan satu tempat tidur. Ukurannya mungkin hanya sekitar 3x2 meter. Ruangannya kecil memang tapi cukup lengkap fasilitasnya ada kamar mandi dalam, lemari, meja dan televisi. Satu lagi yang penting petugas bertanya kepada saya apakah saya berpuasa? Ternyata ada jatah sekali makan sahur.

Tiba di hotel waktu baru menunjukkan pukul 7 pagi atau pukul 5 jika di Jakarta. Pak Naftali mempersilahkan saya bersih-bersih diri dan istirahat dulu sementara dia akan mengurus hal-hal yang diperlukan yang terkait dengan birokrasi. Memang karena waktu yang sudah tersetting di tubuh adalah pukul 5 saya masih mengantuk apalagi ditambah selepas melakukan perjalanan panjang dan menjalani puasa Ramadhan. Setelah mandi mempersiapkan perlengkapan yang saya perlukan sejenak saya terlelap. Rasa capek membuat begitu cepat saya terlelap.

Saya terbangun ketika mendengar pintu saya diketuk. Ternyata Pak Naftali sudah kembali ke hotel. Setelah merapikan diri dan mempersiapkan peralatan kami sempat berdiskusi terkait dengan rencana seharian ini. Kesimpulannya saya akan diajak mengunjungi sekolah tempat pak Naftali mengajar, rumah tempat tinggal dan berkeliling ke beberapa tempat lain.

Sebuah angkot warna merah sudah menunggu di tempat parkir hotel. Tujuan awal kami adalah SD Inpres 31 Tanah Merah, Warmare, Manokwari, Papua Barat. Kampung ini berjarak sekira 35 km dari pusat kota. Naftali memberi aba-aba pada sopir angkot yang masih muda itu. Mungkin usianya baru belasan. Nampak si sopir begitu menghormatinya. Wajar saja karena di daerahnya selain berprofesi sebagai guru Naftali juga dikenal sebagai seorang pendeta.

Sepanjang jalan Naftali banyak bercerita tentang banyak hal. Tentang dirinya, sekolah, masyarakat dan banyak hal lain. Bernama lengkap Naftali Asmuruf. Ia merupakan putra asli bumi Papua. Ia lahir pada tanggal 18 Agustus 1968, di distrik Aitinu kabupaten Sorong, Papua Barat.

[caption id="attachment_114317" align="aligncenter" width="300" caption="doc. Fathoni Arief"][/caption] Jalan akses menuju Warmare sudah cukup bagus. Jalannya sudah beraspal. Agkot kecil inipun melaju dengan kencang. Sepanjang jalan di kanan kiri yang terlihat hutan, kebun kelapa sawit dan perkampungan transmigrasi. Rencananya saya juga akan diajak mampir ke perkampungan transmigrasi ini. Menjadi pengalaman luar biasa bagi saya. Menelusuri pelosok Manokwari. Melihat rumah demi rumah yang jarak masing-masing rumah bisa ratusan meter. Menikmati udara yang masih sejuk bebas dari polusi berbeda dengan yang sehari-hari saya jumpai di Jakarta.

Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam akhirnya kamipun sampai. Saya melihat sebuah Sekolah Dasar yang hanya terdiri dari beberapa ruangan saja. SD itu sudah lengang tidak ada kegiatan. Nampak beberapa anak kecil bermain namun sudah bukan dalam rangka pembelajaran. Saya dipersilahkan masuk ke ruang kepala sekolah dan melihat-lihat kondisi sekitar sekolah. Saya juga diperkenalkan seorang guru pendatang asal Ternate. Menurut Naftali dia satu-satunya guru yang beragama Islam di sana.

[caption id="attachment_114318" align="aligncenter" width="300" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Tujuan selanjutnya adalah sebuah sekolah di perkampungan Transmigrasi. Jaraknya tak begitu jauh tak lebih dari 15 menit dari SD Tanah Merah. Naftali sendiri tinggal tak jauh dari sana. Kami sempat mampir sebentar sebelum menuju perkampungan transmigrasi. Memasuki perkampungan transmigrasi serasa berada di Jawa saja. Kiri-kanan melihat hamparan persawahan. Nampak pula tumpukan jerami kering yang dibakar menimbulkan aroma khas. Benar-benar seperti di Jawa saja. Menurut cerita Naftali orang-orang Jawa inilah sebagai pensuplai padi di sini. Sesuai dengan kultur menurut Naftali jarang orang Papua yang bisa bercocok tanam mereka lebih terbiasa dengan berladang. Termasuk ia sendiri.

Sekolah yang kami datangi adalah SD Inpres 23. Sekolah initerletak di lokasi transmigrasi dan tergolong sekolah yang paling maju. Di sana sudah ada beberapa orang yang menunggu. Mereka adalah Albert Bisay kepala Sekolah, Andang Riwayat seorang guru asal Jawa dan Victor Valens Manuputty seorang guru asal Maluku. Ada banyak hal yang saya dapatkan. Mulai dari permasalahan pendidikan. Kisah sehari-hari dan kendala-kendala lainnya. Masing-masing memiliki kisah yang menarik.

Albert Bisay sebelum mengajar di sekolah ini pernah menjadi guru di pulau Yobmeos bersama Naftali. Andang sebagai guru pendatang ternyata juga memiliki kepedulian terhadap pendidikan. Begitu juga dengan Victor yang punya kisah tak kalah menarik. Victor merupakan kepala sekolah SD Isim yang terletak sekitar 125 km dari Manokwari. Victor memimpin sekolah itu sejak diangkat sebagai pelaksana harian kepala SD Isim pada 12 Agustus 2004.

Victor merasakan sulitnya medan menuju SD Isim. Dari Manokwari menuju Isim, bisa ditempuh dengan kendaraan hingga Distrik Ransiki. Setelah itu perjalanan mau tidak mau dilanjutkan dengan berjalan kaki, mengingat angkutan umum sangat jarang melintas. Bahkan ketika jalanan sudah mendaki, otomatis memang hanya bisa dilakui dengan berjalan. ”Kami biasa naik gunung dengan ketinggian lumayan. Kondisi jalanan sulit. Kalau sampai salah injak bisa jadi ’kornet’ di bawah,” kata Victor sambil terkekeh-kekeh.

Tahap berjalan kaki ini tak bisa ditempuh hanya dalam sehari. Biasanya Victor dan guru-guru lain menginap di kampung Tubes.

”Kalau sudah sampai Isim, paling cepat kami turun sekitar 3 bulanan. Kadang sampai 6 bulan kami baru turun, kecualikalau ada tugas.

Sekali turun, guru pendatang yang terbiasa makan nasi, sekalian belanja beras dan kebutuhan pokok lainnya. Bagi penduduk asli, kebanyakan makan keladi, sehingga tak banyak yang belanja beras dan lauk pauk. Padahal toko penjual kebutuhan pokok paling dekat di basecamp di kilometer 24 jalan menuju Ransiki. ”Kalau sudah turun, biasanya kami istirahat dulu tidak bisa langsung naik. Butuh tenaga untuk membawa barang atau memikul sekarung beras,” kata Victor.

Bangunan SD Isim berupa rumah panggung dari kayu. Jumlah ruangnya hanya 3. Sekolah tersebut dibangun pada tahun 1994. Di awal Victor bertugas di SD Isim, jumlah siswanya hanya 37 anak didukung 2 guru, termasuk Victor. Bahkan ada rentang waktu ia mesti memimpin sekolah sekaligus mengajar sendirian, karena rekan guru di sana pindah.

Di sekitar Isim terdapat beberapa distrik yang juga memiliki sekolah. Misalnya Nyawara dan Tahosta. Namun, sekolah di Nyawara dan Tahosta sekadar bangunan. Sebab di dua sekolah tersebut kini kosong guru. Siswa-siswanya digabung ke Isim.

”Siswa kami menjadi hampir 90 orang. Tapi kadang banyak pula yang pulang, sehingga jumlah murid selalu berkurang,” kata Victor. Jumlah siswa Victor kadang 50 anak. Lain waktu cuma 30 siswa. Pernah juga pembelajaran Victor hanya diikuti 10 siswa.

Masalah alat komunikasi pun menjadi kendala berat di SD Isim. Menurut Victor, satu-satunya jalur informasi hanya melalui surat. Dengan catatan: kalau surat tersebut sampai. Sehingga ketika ada panggilang dari dinas pendidikan, Victor pusing bukan kepalang. Terpaksa ia mengambil sebagiann dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk ongkos transportasi. ”Jika ada undangan kepala sekolah, biaya transportasi ke Manokwari Rp 400.000,” katanya.

Hitung-hitungan Victor, dengan gaji guru berkisar Rp 1 juta hingga 2 jutaan, akan habis dalam sekali-dua kali perjalanan Manokawi-Isim PP. Victor pun berharap ada tambahan insentif bagi guru-guru yang bertugas di daerah yang sulit.

Waktu sejam beradadi SD ini tak terasa lama dengan cerita-cerita heroik para pendidik di tanah Papua ini. Akhirnya kamipun berpamitan dan kembali menuju hotel. Satu hal lagi yang membuat saya terharu betapa tingginya sikap toleransi dari pak Naftali. Mengerti saya beragama Islam dan tengah menjalankan puasa tak membiarkan saya kesulitan mencari makanan buka. Selepas membatalkan puasa setelah sholat Maghrib Naftali, saya dan seorangrekan Naftali menikmati makan malam di sebuah rumah makan Ayam Bakar. Sebuah jamuan yang luar biasa dan indahnya persaudaraan di tengah segala perbedaan menutup perjalanan mengesankan hari pertama di Manokwari.

Bersambung

Catatan Perjalanan September 2007

Fathoni Arief

(Karena rumah yang selalu membuatku tegak adalah perjalanan dengan segala kisah dan serba-serbinya)

Baca juga tulisan sebelumnya : Menjejak Langkah Di Bumi Papua

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun