[caption id="attachment_135716" align="aligncenter" width="500" caption="Candi Dadi Doc.Fathoni Arief"][/caption] Ketika senja tenggelam, dan malam menjelang seperti dikejar waktu kami berjalan dalam kegelapan menuruni bukit bertanah gersang. Tanpa lampu senter hanya mengandalkan samar-samar cahaya rembulan dan remang-remang lampu handphone. Perlahan dari kejauhan mulai nampak lampu-lampu yangkota yang terang benderang dan kami tak lagi bisa melihat candi di puncak bukit itu yang mulai tertutup gelapnya malam dan rerimbunan semak belukar. Sebenarnya sebelumnya saya pernah datang ke tempat ini namun berada di atas ketika senja tentunya berbeda rasa. [caption id="attachment_135715" align="aligncenter" width="500" caption="Senja di atas bukit Doc.Fathoni Arief"][/caption]
Waktu baru menunjukkan pukul setengah 4 sore ketika sepeda motorku perlahan meninggalkan pusat kota Tulungagung. Sesuai dengan rencana semula saya menuju ke sebuah toko di jalan Pangeran Diponegoro. Di sana ternyata sudah menunggu rekan saya dengan rombongannya (Putri dan Ayahnya).
Tak butuh waktu lama menuju meeting point tersebut. Maklum saja, tempat tinggal saya tak jauh dari lokasi tersebut sekira 400 meter. Sekedar menyapa dan langsung saja motor kami melaju menuju arah Selatan kota Tulungagung. Tujuan kami seperti rencana sebelumnya adalah ke sebuah pura Hindu yang berada di kota ini dan sebuah candi yang berlokasi tak jauh dari pura tersebut. Rencana yang terinspirasi dari kisah perjalanan kami di candi Penampihan.
Ketika pertama kali rekan saya melontarkan ide berkunjung ke Pura tersebut, terus terang saja saya penasaran. Maklum saja selama ini saya justru tidak tahu jika ternyata di kota ini juga memiliki Pura.
Sepeda motor kami terus menuju daerah kecamatan Boyolangu, Tulungagung. Jalan kearah lokasi sangat bagus, jalannya lurus, aspalnya juga terasa enak saat sepeda motor melintasinya. Apalagi sore itu cuaca cukup bagus tidak begitu terik namun tidak juga mendung. Kontan saja kami dengan leluasa melewati jalan-jalan kabupaten menuju Sanggrahan.
Di sebuah toko kecil di jalan desa tiba-tiba saja motor rekan saya berhenti. Ternyata ada sesuatu yang hendak dibeli.
“ Bawa air minum?” tanya rekan saya,
“Tidak, ah nanti saja,” jawab saya,
Entah kenapa rekan saya tetap membeli air minum dan menyerahkan sebotol air mineral buat saya. “Nanti pasti butuh,” kata teman saya.
Sejenak saya menduga-duga seperti apa lokasi yang akan kami tuju. Dan satu lokasi yang 3 tahun lalu pernah saya datangi terlintas di benak saya. Di sana ada sebuah candi yang terletak di puncak bukit. Candi yang disebut dengan Candi Dadi. Tapi mungkinkah itu tujuan kami, karena kalau benar-benar itu berarti harus siap-siap melewati jalanan yang menanjak. Menuju puncak jika cepat butuh waktu sekira 30 menit itupun sana kesana siang hari.
Sepeda motor kembali melaju melintasi jalan desa. Kami melewati rumah-rumah penduduk dan hutan yang tersisa di kabupaten ini. Melintasi jalanan ini makin kuat dugaan saya, tujuan kami adalah candi Dadi.
Akhirnya kami berhenti di sebuah rumah berdinding gedhek (anyaman bambu). Dari luar saya bisa melihat simbol-simbol keagamaan (Agama Hindu). Tercium pula asap dupa yang baunya menjangkau hingga luar rumah.
Sesaat terjadi pembicaraan antara Ayah rekan saya dan pemilik rumah. Ia menyuruh kami lagsung saja melihat lokasi pura yang ternyata tak jauh dari rumah ini. Pura yag dimaksud ternyata mirip sebuah tugu dari beton yang belum selesai dibangun. Di dekat lokasi tersebut nampak seorang ibu-ibu yang ternyata istri dari pemilik rumah tadi. Kami memperkenalkan diri dan ibu bercerita mengenai ayah rekan saya dan seputar Pura ini.
Tak lama kemudian muncul Ayah teman saya. Ia menyebut satu lokasi dan kami ( saya dan rekan saya) akan dipandu oleh putra dari pemilik rumah. Ayah teman saya tidak ikut karena ada acara mendadak sedangkan putrinya juga tidak karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan.
Sekira pukul empat sore kami mulai menuju lokasi candi Dadi. Berada di paling depan adalah pemandu, di tengah rekan saya dan saya sendiri berada di paling belakang.
[caption id="attachment_135717" align="aligncenter" width="500" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]
Rute yang kami lalui menuju candi adalah jalan-jalan menanjak terkadang berupa batu-batu keras, kadang tanah yang mudah tergerus sehingga membutuhkan sikap yang ekstra waspada. Untung saja saat itu musim kemarau sehingga jalan tidak licin.
[caption id="attachment_135732" align="aligncenter" width="500" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]
Membutuhkan tenaga ekstra untuk mencapai puncak candi. Apalagi bagi orang-orang yang tak biasa mendaki gunung. Komplek candi ini berada di puncak bukit, pada ketinggian 360 m dari permukaan laut. Terletak di daerah yang secara administratif wilayah Dusun Mojo, Desa Wajak Kidul.
Makin keatas pemandangan yang dijumpai makin menarik. Kami bisa melihat kota tulungagung, areal sawah yang menghampar dan karena perjalanan ini ditempuh saat menjelang senja tentunya sunset juga bisa kami nanti-nantikan.
[caption id="attachment_136007" align="aligncenter" width="500" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]
Meskipun sebenarnya dulunya areal di perbukitan ini berupa hutan namun kini pohon-pohon yang tinggi yang dijumpai satu dua saja. Lainnya hanya tersisa tanaman rumput-rumput liat. Mengenai satwa terkadang masih dijumpai jenis monyet, ular dan burung-burung kecil. Saat inipun kami juga mendengar suara lengkingan-lengkingan monyet dari kejauhan.
Jika kondisi sedang normal sebenarnya tak sampai sejam puncak bukit dimana candi berada bisa dijangkau. Namun karena rekan saya baru pertama kali naik kami akhirnya berjalan agak pelan dan baru bisa menjangkau punjak menjelang maghrib. Sekira butuh waktu hamper dua jam untuk menuju puncak bukit. Meskipun menguras tenaga indahnya pemandangan dari atas dan candi yang megah menjadi bayaran yang sepadan.
Menikmati suasana alam ketika senja dan samar-samar terdengar suara adzan magrib. Ada perasaan yang berbeda. Kami sekedar istirahat beberapa saat disana. Sebenarnya kami ingin naik ke puncak candi namun entah kenapa ada pengumuman dilarang naik ke atas candi. Membaca pengumuman itu kamipun mengurungkan diri untuk naik ke puncak candi.
Hari mulai gelap, kamipun mengejar waktu segera turun kebawah. Ah ada satu hal yang terlupa kami tidak membawa alat penerangan untungnya saat itu ada cahaya bulan yang membantu kami menuruni perbukitan dan cahaya remang-remang dari telepon genggam.
[caption id="attachment_135724" align="aligncenter" width="300" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]
Dengan ekstra hati-hati dan terkadang menebak-nebak jalur turun akhirnya kami sampai di bawah.
Berbeda jika membawa peralatan penerangan yang memadai. Waktu yang kami butuhkan untuk turun lebih lama. Kira-kira pada pukul setengah delapan malam. Di bawah kami dipersilahkan masuk oleh pemilik rumah yang juga merupakan penjaga pura. Kami sempat berbincang-bincang dan mendapat banyak cerita mengenai candi dan sejarahnya. Cerita itu makin menarik setelah pemilik rumah memanggil sang juru kunci yang biasa dipanggil sesuai jabatannya sebagai Pak kamitua.
[caption id="attachment_135727" align="aligncenter" width="500" caption="Lampu-lampu pemukiman dilihat dari atas bukit Doc.Fathoni Arief"][/caption]
Pak Kamitua bercerita tentang Candi ini. Mulai dari candi berbentuk bujursangkar dengan ukuran panjang 14m lebar 14m dan tinggai 6.50m hingga bahan baku bangunan candi. Bangunan candi berbahan batuan andesit dan berdenah segi delapan, pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan berfungsi sebagai sumuran. Diameter sumuran adalah 3.35m dengan kedalaman 3m. “Candi Dadi kalau menurut sejarah dulunya merupakan tempat pemujaan,” kata pak kamitua.
Kami terus memperhatikan penjelasan demi penjelasan dari Pak Kamitua sambil menikmati sajian dari pemilik rumah berupa pepaya, kripik gadung dan kopi panas.
Pak Kamitua sambil menikmati rokok mengisahkan Candi seperti ini hanya terletak di Candi Dadi. Peninggalan tersebut hancur karena dirusak oleh masyarakat sendiri. Banyak masyarakat dulu yang mengakui hal tersebut. Candi Dadi bukanlah satu-satunya candi di lokasi tersebut. Sebenarnya ada beberapa candi lain Candi Urung, Candi Buto, dan Candi Gemali. Namun sayangnya candi-candi tersebut tidak terlihat lagi bentuknya, yang terlihat hanya berupa gundukan batuan andesit.” Candi Wurung kalau menurut orang-orang tua jaman dulu hingga gapura-gapuranya lengkap,” katanya.
Di dekat candi Dadi sebanernya sebuah gua peninggalan purbakala. Dulunya gua tersebut memiliki patung namun ada saja ulah tangan pencuri yang mencukil gambar tersebut. Waktu terus berjalan kamipun harus mengakhiri kunjungan kami. Sepanjang perjalanan pikiran masih menyimpan pertanyaan seperti apa keindahan bangunan-bangunan candi yang sudah tak berbekas seperti kisah pak Kamitua tadi.
Catatan dari Candi Dadi, 26 September 2009
Fathoni Arief
Another Journey Another Story
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H