Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Cerita dari Ujung Timur Pulau Jawa

12 Januari 2011   00:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:41 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kawah Ijen bukanlah akhir dari perjalanan kami. Masih ada lokasi wisata lain di Banyuwangi yang akan kami kunjungi yaitu Alas Purwo.Menuju hutan wisata yang terletak di ujung Jawa Timur tersebut kami memutuskan merubah rute perjalanan atau tidak melewati jalan yang sama seperti saat naik ke Ijen. Rombongan kami akan menuju Banyuwangi melalui jalur Licin.

Sebenarnya melalui jalan ini dengan menggunakan mobil yang kami bawa sangat riskan. Informasi dari polisi hutan di pos penjagaan sudah memperingatkan kami kalau kondisi jalan rusak dan hanya bisa dilalui mobil Hardtop. Namun atas informasi dari pengunjung dari Banyuwangi yang semalam naik melalui jalur tersebut sopir memberanikan diri memilih rute itu. “Jalannya lebih enak dari yang kita naiki semalam. Kalaupun ada yang rusak jalanya beruba batu-batu dan sudah ditimbun secara swadaya oleh warga,”kata Pak Sopir. Berbekal informasi yang dianggap cukup dan sopir menyatakan sanggup, pukul 10.30 rombongan kami mulai menuruni Ijen menuju Banyuwangi.

Di awal perjalanan informasi yang diberikan oleh pengunjung tersebut masih tepat. Kondisi jalan bagus meskipun sedikit sempit dan menurun. Kalaupun ada yang rusak hanya beruba lubang-lubang kecil berbeda dengan jalan dari Sempol , yang semalam kami lewati. Meskipun demikian mobil kami berjalan dengan pelan dan hati-hati. Setelah hampir seperempat jam menyusuri jalan ternyata kami menjumpai jalan dengan kondisi yang luar biasa susah dilewati mobil kami. Jalanan tidak beraspal dan hanya berupa batu-batu yang licin. Kondisi ini membuat rombongan turun dan sopir pelan-pelan melewati jalanan tersebut. Mobil berjalan pelan dan beberapa kali kami turun berjalan kaki.

1294793525775569108
1294793525775569108
Dengan kondisi seperti ini ternyata ada juga orang yang nekad naik menuju Ijen dengan mobil biasa. Pak Muslimin sopir kami berusaha memperingatkan tingginya tingkat kesulitan dan resiko yang bakal ditanggung. Namun upaya pak Muslimin sia-sia. Dengan alasan sudah terlanjur menempuh perjalanan jauh mobil tersebut terus melanjutkan perjalanan. Meskipun beberapa saat kemudian mobil itu nampaknya menyerah dan berada di belakang kami. Setelah berjibaku melalui jalan terjal dan menurun selama lebih dari tiga jam akhirnya rombongan kami berhasil juga tiba di Karangasem Banyuwangi. Rasanya lega setelah naik turun dan sempat diguyur hujan.

Di kota Banyuwangi rombongan kami sempat istirahat dan makan siang di sebuah warung makan di pusat Kota. Satu jam istrihat, kami melanjutkan perjalanan. Entah benar atau tidak seorang kawan memberi info dari pusat kota menuju Alas Purwo bisa ditempuh dalam waktu 1,5 hingga 2 jam.

Ternyata benar, setelah beberapa kali bertanya kami sampai juga di tepi alas Purwo. Seseorang dari kami turun dan bertanya pada salah seorang penduduk tentang lokasi alas Purwo dan Pantai Trianggulasi. Ternyata masih 22 km lagi masuk. Penduduk tersebut juga menyarankan kami hati-hati karena jalanan berlubang dan aspal rusak.

Mobil kamipun masuk menuju gerbang utama Alas Purwo. Ternyata perjalanan tak semulus yang saya bayangkan. Kami melewati jalan menembus hutan yang lebat. Jalan yang kami lewati lurus namun seakan tak ada ujungnya bahkan ketika bertanya pada pengemudi sebuah mobil yang meninggalkan Alas Purwo, jawaban yang kami terima hampir membuat kami putus asa.

“Masih Jauh?” tanya sopir kami

“Masih separuh perjalanan lagi,” jawabnya.

Menjelang Isya rombongan kami akhirnya tiba di pintu utama alas Purwo. Di sana ada pos penjagaan dengan bangunan yang bersih dan memiliki fasilitas lengkap. Sambil istirahat kami membayar retribusi masuk dan sekedar membersihkan badan di kamar mandi pos yang sangat bagus, bersih dan airnya melimpah. Selain melapor dan melengkapi administrasi kami mencari informasi mengenai banyak hal mulai dari tempat menginap, lokasi yang bisa dikunjungi dan hal lain. Ada juga seorang rekan yang bertanya boleh tidaknya kami main air di pantai namun petugas melarang kami dengan alasan ombak yang cukup besar. Setelah semua urusan administrasi selesai dan sejenak beristirahat kami melanjutkan perjalanan. Kami memutuskan menginap di pantai Pancur.

Di Pancur ternyata sudah dilengkapi dengan sarana dan prasarana. Hal-hal vital seperti kamar mandi dan WC sudah tersedia. Begitu juga dengan warung makan dan Masjid. Khusus mengenai Masjid yang ada disana terdiri dari dua lantai lantai atas digunakan untuk sholat sedangkan lantai bawah yang terbuka dimanfaatkan untuk beristirahat bagi pengunjung. Saya bersama beberapa orang rekan memutuskan tidur di tempat ini sementara rekan lain memilih mendirikan tenda.

Selain kami berempat di lantai bawah Masjid ada belasan orang lain. Awalnya saya mengira orang-orang ini datang untuk berwisata ternyata saya mendapatkan cerita lain mengenai maksud tujuan mereka. Dari seorang ibu yang membantu mengurus tempat tersebut konon banyak diantara pengunjung yang mengharap berkah dan memiliki tujuan khusus dengan cara mendatangi seorang yang dianggap memiliki kemampuan luar biasa di sana atau berdoa di tempat-tempat yang dikeramatkan.

Melihat Penggembalaan Hewan Liar

1294793693241558467
1294793693241558467
Meskipun hanya beralas karpet ternyata saya bisa tidur nyenyak juga. Pagi ini tujuan kami menuju ke Pantai Trianggulasi, Sadengan dan kembali ke Surabaya. Kedua lokasi tersebut berada tidak jauh dari Pancur. Tempat yang pertama kami tuju adalah Pantai Trianggulasi. Tempat ini masih alami dengan pasir putih yang terbentang. Namun sayangnya di bibir pantai banyak ditemukan bekas-bekas upacara keagamaan yang berserakan. Seharusnya saat yang tepat mengunjungi pantai ini adalah sore hari menjelang senja karena kita bisa mendapatkan Sunset jika cuaca tengah cerah.

1294793737373908486
1294793737373908486
Tempat selanjutnya adalah Sadengan. Lokasi ini merupakan padang rumput seluas 80 hektar. Di pagi hari jika beruntung kita bisa melihat kawanan banteng liar, rusa, merak dan hewan-hewan lain. Ada gardu pandang terdiri dari tiga lantai terbuat dari kayu yang sengaja dibuat untuki mengamati satwa. Tapi nampaknya kami kurang beruntung. Hanya seekor banteng dan kawanan rusa yang tengah beristirahat saja yang berhasil kami lihat. Karena mepetnya waktu yang kami miliki tak lama kami berada disini. Setelah puas berfoto-foto rombongan kami segera kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan. Alas Purwo menjadi penutup kisah perjalanan di awal tahun 2011 kami sebelum kembali ke Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun