Meskipun sudah diusahakan dengan berbagai upaya akhirnya hilang harapan saya bisa berkunjung ke Pulau Yopmeos. Tidak ada kursi pesawat tujuan Teluk Wondama yang kosong. Sebenarnya Naftali sudah berusaha membujuk penumpang untuk mengalah. Dengan berbagai alasan ternyata tetap tak mampu memberi tiket menuju pulau Yopmeos.
Mengingat jadwal yang mepet dan saya tetap harus mendapat bahan buat penulisan akhirnya rencana mengalami perubahan. Mengganti cerita jika saja bisa mengunjungi pulau Yopmeos, Naftali mengajak saya berkeliling kota Manokwari dan kabupaten Teluk Bintuni.
Dengan menggunakan sepeda motor bebek warna hitam di hari keempat Naftali membawa saya mengitari ibukota Papua Barat tersebut. Berusaha membawa saya kembali ke masa lampau ketika ia meniti karir sebagai seorang pendidik. Sebelum menjadi CPNS Naftali memang sempat mengajar di Teluk Bintuni. Waktu itu masih merupakan bagian Kabupaten Manokwari.
Kota Manokwari terlihat cukup ramai. Di kiri-kanan sepanjang perjalanan sudah nampak pemukiman yang tertata. Nampak pula kompleks pertokoan, perkantoran, tempat ibadah. Tempat ibadah tak hanya gereja saja sebagai agama mayoritas yang dipeluk masyarakat nampak pula sebuah masjid yang cukup besar di kompleks angkatan laut.
Tempat yang pertama kali kami tuju adalah pelabuhan di daerah Teluk Bintuni. Kesan pertama kali melihat pelabuhan yang nampak masih bersih. Bisa dilihat dari air laut yang berwarna biru, dan awan menggumpal di langit. Suasana yang masih bebas dari polusi. Berbeda jauh dengan pelabuhan-pelabuhan di daerah Jakarta yang pernah saya lihat.
Pelabuhan, laut, kapal kecil meninggalkan kenangan terdalam bagi seorang Naftali. Pertama kali ditugaskan ke Yopmeos itupula pengalaman pertama naik di atas kapal menyeberangi lautan. Hal yang tak biasa bagi seorang yang bertahun-tahun terbiasa hidup di gunung.
Waktu itu Naftali memakai jalur laut menuju tempat tugasnya. Jalur laut menuju Teluk Wondama bisa dicapai melalui Pelabuhan Laut Wasior dan Windesi. Keduanya membuka rute dari dan menuju Manokwari setiap hari. Waktu tempuh dari Manokwari-Wasior berkisar antara 7-14 jam, tergantung jenis kapal.
Pulau Yopmeos bisa dijangkau dari pelabuhan Wasior dan Windesi. Rute tersebut dilayani dengan perahu kecil dan boat. Dengan perahu kecil yang harus didayung, jarak keduanya ditempuh dalam 10 jam. Sedangkan dengan boat, jarak tersebut hanya ditempuh selama sejam.
Naftali teringat masa lalunya. Dulu setiap melakukan perjalanan menuju ke Yopmeos ia selalu membawa bekal, baik bekal untuk makan di perjalanan maupun berupa bahan makan selama 3 bulan ke depan. Kelak, tiap 3 bulan sekali, Naftali memang harus mengambil gaji dan jatah beras di Distrik Windesi.
Sepanjang perjalanan kapal melewati pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil itu bermanfaat sebagai perlindungan dari gelombang tinggi dan ebsar di musim penghujan. Perjalanan menuju Yopmeos memang tidak selalu dalam keadaan tenang. Terkadang disambut gelombang besar, sehingga kapal kecil itupun terombang-ambing diguncang ombak.
Naftali yang tidak terlahir sebagai anak laut sering mabuk laut. Tak jarang ia berteriak-teriak karena panik dan ketakutan minta tolong. ”Nenek moyang saya orang pegunungan. Saya tak bisa betah dan bertahan di laut jika terjadi goyangan kapal. Sering saya muntah. Tapi saya tetap berusaha bertahan semenjak malam hingga pagi,” kenangnya.
Menurut Naftali, jika tak ada halangan besar, kapal sampai di distrik kira-kira pukul 11-12 siang. ”Setelah sampai di distrik kalau kami tak bisa berlayar biasanya berlabuh dulu,” katanya.
Dari distrik Windesi, perjalanan menuju Yopmeos dilanjutkan dengan perahu dayung. Dari distrik ke sekolah biasanya ditempuh dalam 10 jam. Tapi kalau menggunakan pakai perahu boat, baik dari Wasior atau Windesi, hanya sejam,” katanya.
Perjalanan dengan perahu dayung ditempuh menyisiri pantai, pulau-pulau kecil yang berdekatan dengan garis pantai, Jika ada gelombang tinggi terpaksa menepi di pulau kecil. Mereka biasanya membuat pondok di pinggir pantai dan istirahat di situ. ”Kami menunggu sampai lautan gelombangnya kecil,” katanya.
Sesampainya di pulau, Naftali disambut dengan baik oleh masyarakat sana. Saat kali pertama tiba, penduduk Yopmeos hanya 76 kepala keluarga (KK). Kondisi pulau memang benar-benar hanya dipenuhi rimba belantara.
Meski secara geografis termasuk terpencil penduduk di pulau Yopmeos sudah tak asing dengan pendatang. Sebab, ternyata Yopmeos sering kedatangan nelayan dari daerah lain. Bahkan pernah ada nelayan dari Madura yang singgah. Mereka juga sudah banyak yang menguasai bahasa Indonesia. Sama sekali berbeda dibanding Wamena, yang penduduk prianya masih memakai koteka. ”Mereka sudah mengenal budaya modern. Jadi masyarakat itu sudah biasa berpakaian,” kata Naftali.
Kemauan anak-anak nelayan untuk belajar juga baik. Cuma, selama ini mereka terkendala oleh minimnya tenaga guru dan sulitnya transportasi. ”Kemauan belajar bagi mereka selalu ada. Nyatanya setelah saya ada di sana anak-anak didik saya sudah ada yang jadi sarjana. Ada yang kuliah perawat, kedokteran dan sebagainya,” katanya.
Karena letaknya yang terpencil SD Negeri Yopmeos sempat tidak beroperasi selama 6 tahun. Menurut Albert Bisay mantan kepala sekolah waktu ituketika berkunjung ke pemukiman transmigran tempatnya bertugas sekarang mengatakan hal ini bisa terjadi karena terbatasnya fasilitas pendidikan. Atapnya saja waktu itu hanya terbuat dari daun sagu. Bahkan sering juga siswa-siswa belajar di bawah pohon kelapa. ”Pada tahun 1986, saya berupaya pergi ke kota untuk meminta bangunan SD yang baru. SD tersebut dibangun lagi dengan bahan dari papan,” katanya.
Ketika Naftali mulai bertugas, SD Yopmeos hanya memiliki 3 guru, seorang merangkap sebagai kepala sekolah. Sang kepala sekolah ini kini menjadi sahabat karibnya.
Pahit getir mengiringi Naftali selama bertugas di SD Yopmeos. Satu kepedihan bagi dirinya di antaranya adalah keterlambatan kenaikan pangkat. Para guru memang tidak pernah mengusulkan kenaikan pangkat hingga 2002. Penyebabnya, apalagi kalau bukan sulitnya transportasi.
Menurut cerita dari rekan Naftali yaitu Karim Saleh yang menjadi kendala banyak terutama masalah kenaikan pangkat. Kendala utama mereka harus menyeberang ke kota, itu yang sulit. Kendala lainnya adalah saat mengambil gaji. Para guru harus berlayar dulu ke distrik. Para guru seringkali mengambil gaji 3 bulan sekali.
Setelah mengajak saya menyusuri pesisir Naftali membawa saya berkunjung ke rumah seorang yang menurut saya juga luar biasa. Namanya Ester kereway atau biasa dipanggil mama Ester. Mama Ester dulu juga seorang pengajar yang saat ini bergerak di bidang usaha kerajinan. Di kediamannya di jalan Merdeka Manokwari dia menghasilkan berbagai pernik-pernik cindera mata. Ruang tamunya penuh dengan berbagai barang kerajinan baik yang sudah jadi maupun dalam tahap pengerjaan.
Mama Ester bercerita banyak hal seputar aktivitasnya di masa lampau dan saat ini. Wanita yang sudah pensiun ini kini aktif mengikuti pameran di berbagai daerah tak hanya Papua saja namun hingga Jakarta. Ternyata meskipun letak rumah Mama tak berada di pinggir jalan raya keberadaannya sudah dikenal. Banyak pengunjung yang selalu menyempatkan diri berbelanja cindera mata dari tempatnya.
Cukup banyak hal yang dibagi oleh Mama Ester sehingga tak terasa waktu berjalan terus. Kamipun pamit kembali menuju hotel tempat saya menginap. Ada satu tempat lagi yang saya kunjungi yaitu pembuat sirup buah merah. Ternyata sang pembuat pendatang dari Jawa. Saya melihat secara langsung bagaimana proses dari buah yang berukuran besar sehingga menjadi cairan kental warna merah tua yang dikemas dalam botol-botol kecil seukuran bekas tempat minuman suplemen.
Buah merah memang terkenal khasiatnya. Bahkan ada cerita lucu yang saya dapat. Dulu sempat ada wabah penyakit ayam. Ketika banyak ayam sakit ternyata ayam miliknya masih sehat-sehat saja. Ternyata usut punya usut si ayam sering makan sisa ampas buah merah dan bekas air yang dibuang.
Dari penuturan sang pembuat banyak orang-orang dari Jawa ketika pulang membawa oleh-oleh ekstrak buah tersebut. Satu botol kecil dihargai 50 ribu rupiah.
Catatan Perjalanan September 2008
baca juga :
2. Menjejak Langkah di Bumi Papua 1 dan 2
Fathoni Arief
(Karena rumah yang selalu membuatku tegak adalah perjalanan dengan segala kisah dan serba-serbinya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H