Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Candi Penampihan dan Kisah Penerimaan Bersyarat

7 Mei 2010   00:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:22 2304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_135173" align="aligncenter" width="500" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption] Belum sempat hilang ketegangan kami selepas melompat pagar candi seorang wanita sudah menanti. Wajahnya memerah dan puncaknya ia mengeluarkan kata-kata dengan intonasi memancarkan kemarahan. Seperti ada sosok lain dibalik wanita itu. Kamipun pucat basi, mencoba meminta maaf atas kelakuan kami sambil menyimpan rasa ketakutan karna berbagai kata-kata kutukan yang terlontar dari ucapan wanita tersebut.

Matahari belum setinggi tombak, ketika rombongan kami menuju lereng Gunung Wilis. Saya dan empat orang rekan (sari, Frida, Dimas, Fery) mengendara 4 sepeda motor menikmati saat-saat yang mendebarkan dan penuh kesan. Tujuan kami adalah ke Candi Penampihan. Meskipun lahir di kota Tulungagung sebelumnya saya hanya pernah mendengar namanya saja. Pengetahuan saya akan peninggalan arkeologi itu hanya sebatas informasi yang bisa didapatkan melalui situs-situ internet. Itupun informasi yang diberikan masih terbatas. Semua itu membangkitkan rasa keingintahuan mengenai seluk beluk candi. Keingintahuan itulah yang membuat saya berinisiatif mengajak beberapa orang teman menuju kesana.

[caption id="attachment_135172" align="aligncenter" width="448" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption] Jam 8 pagi kami berangkat berlima dari titik pertemuan di Utar perempatan Cuwiri, Barat kota Tulungagung. Kami mengendarai sepeda motor perlahan kami mulai menyusuri jalan yang makin menanjak menuju Gunung Wilis. Rute yang kami tempuh dari perempatan menuju ke arah Utara hingga pertigaan di daerah Karangrejo. Dari pertigaan tersebut kami langsung mengambil belok kiri menuju Kecamatan Sendang. Cuaca sebenarnya tak begitu cerah, ada sedikit mendung. Namun tak mengurangi kenikmatan berkendara di jalanan yang relatif sepi dan sepanjang perjalanan di kanan dan kiri masih dijumpai areal persawahan. [caption id="attachment_135170" align="aligncenter" width="300" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]

Dari pusat kota menuju lereng Gunung Wilis butuh waktu tak kurang dari 40 menit. Secara umum kondisi jalan menuju candi Penampihan cukup bagus. Maklum saja dulu di dekat lokasi candi pernah dikenal sebagai penghasil teh dan ada pabrik teh peninggalan Belanda. Di sekitar wilayah ini pula pernah tinggal Eugene Dubois seorang ahli Paleontologi asal Belanda. Kondisi jalan yang bagus ini terputus hingga sampai jalan masuk menuju lokasi Candi.

Di lokasi ini mengendarai sepeda motor kami harus ekstra hati-hati. Jalan yang kami lewati sebagian besar jalanan batu. Belum lagi ditambah beberapa ruas yang kondisinya agak menanjak. Perjalanan memakai sepeda motor ini hanya sampai daerah di dekat lokasi pabrik teh. Di sini kami menitipkan motor di rumah salah seorang warga dan berjalan kaki menyusuri jalan yang makin menanjak.

[caption id="attachment_135162" align="alignright" width="300" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]

Sepanjang perjalanan kami disambut dengan udara dingin dan lahan yang masih kosong di kanan dan kiri. Sempat terlontar pertanyaan dimanakah kebun-kebun teh yang dulu sempat terhampar di sekitar sini. Kami terus berjalan sambil sesekali mengambil gambar daerah yang masih asri. Dari jauh saya bisa melihat Gunung Wilis yang masih diselumuti kabut.

Lahan Bekas Kebun Teh Kini Menjadi Milik Warga.

Di tengah perjalanan kami melihat sepasang suami istri berusia 50 tahunan. Sang istri tengah asyik memetik sayur-sayuran dan suaminya tengah membawa keranjang bambu sambil memilah-milah sesuatu. Kami mendekati bapak ibu itu. Ternyata kali ini adalah panen perdana kacang kapri mereka. Dari mereka kami mendapat cerita tentang kebun teh, pabrik dan candi yang kami tuju.

[caption id="attachment_135166" align="aligncenter" width="300" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption] [caption id="attachment_135159" align="alignleft" width="201" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption] Sejak jaman kolonial Belanda wilayah sekitar lereng Gunung Wilis terkenal sebagai penghasil teh. Ada sisa-sisa puing bangunan peninggalan Belanda yang dulu menjadi saksi. Namun semenjak awal tahun 2000an karena harga teh yang tak stabil dan terus merugi perusahaan yang pengelolaannya dibawah Puskopad tersebut gulung tikar. Lahan-lahan yang dulu menjadi kebun teh kini dialih fungsikan untuk menanam tenaman lain. Ada sayur-mayur. Lahan-lahan tersebut kini sudah menjadi milik warga dengan status hak milik. Saat ini masih disisakan lahan sekitar 1 hektar di sekitar situs Candi Penampihan.

Tentang Sebuah Penolakan Bersyarat

Kami kembali menelusuri lereng gunung. Dari kejauhan nampak daerah yang nampak rimbun dengan sebuah pohon besar. Disanalah lokasi candi Penampihan berada dan kami mendekat menuju kesana.

Kompleks candi Penampihan nampak lengang. Sebuah bangunan kecil di depan candi yang kemungkinan tempat penjaga candi bertugas juga kosong. Kami hanya bisa melihat dari luar saja karena pintu candi ditutup dan sekelilingnya ada pagar kawat berduri.

[caption id="attachment_135339" align="aligncenter" width="201" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]

Karena ketertarikan dan keinginan untuk melihat dari dekat kami mengelilingi kompleks candi. Ternyata seorang rekan menemukan celah yang bisa dilompati. Kamipun bisa masuk dan melihat-lihat candi. Kawasan dalam candi nampak seperti sebuah taman. Ada banyak pohon dan bunga yang ditanam. Lingkunganya juga relatif bersih. Setelah merasa cukup melihat-lihat kawasan candi kami memutuskan keluar. Perasaan saya mulai was-was. Seseorang dengan menggunakan caping nampak di depan pintu mengawasi kami.

Belum sempat hilang ketegangan kami selepas melompat pagar candi seorang wanita sudah menantikami. Wajahnya memerah dan puncaknya kata-kata dengan intonasi memancarkan kemarahan. Seperti ada sosok lain dibalik wanita itu. Kamipun pucat basi, mencoba meminta maaf atas kelakuan kami sambil menyimpan rasa ketakutan karna berbagai kata-kata kutukan yang terlontar dari ucapan wanita tersebut. Cukup lama kami berdebar-debar. Sementara seorang rekan mencoba minta maaf, mengakui kesalahan dan tak akan mengulangi kesalahan yang sama.

Kamipun lega setelah wanita itu mulai memaafkan kami. Wajahnya yang tadi memerah meluapkan emosi kini mulai berubah cerah. Dengan tersengal-sengal wanita tersebut minta maaf tidak sadar atas apa saja yang telah ia ucapkan. Akhirnya ia mengajak kami ke bangunan kecil di depan candi dan kamipun mendapat banyak cerita tentang Penampihan.

Wanita penjaga candi tersebut bernama Winarti. Sudah cukup lama ia menjadi penjaga candi. Dimulai dari ketika ia menjadi tenaga honorer mulai tahun 1977. Meskipun waktu itu usianya masih belum memenuhi syarat namun karena kebutuhan tetap diterima. Ia resmi menjadi pegawai negeri tahun 1983.

Winarti mulai bercerita tentang Penampihan. Mengenai asal-usul nama berawal dari kisah seorang pembesar dari Ponorogo yang jatuh hati dengan putri dari Kediri. Ternyata lamarannya ditolak kalaupun diterima ada begitu banyak permintaan. Dari Kediri pulang kemudian mampir di daerah ini. Menggunakan sebagai tempat pemujaan dan menyepi. “ Penampihan artinya penolakan. Bisa juga Tampi menerima namun dengan syarat,” ujarnya.

[caption id="attachment_135164" align="aligncenter" width="300" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]

Candi Penampihan memang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Candi Hindu ini memiliki 3 teras dengan posisi Candi utama terletak di bagian paling atas. Bentuknya seperti timbunan padi sebagai perlambang kemakmuran. Candi lain bentuknya seperti kura-kura yang dikelilingi arca naga. Mengenai candi yang susunannya berbentuk Kura-kura menurut Winarti melambangkan perwujudan dewa-dewa Wisnu. Awalnya di atas candi ada arca Bima namun hilang. Teras kedua untuk antri. Sedangkan di teras ketiga terletak prasasti. “Prasasti ada di bagian bawah. Dulunya ada arca Dwarapala namun arca tersebut hilang di tahun 2000an. Di sebelah utara dulu ada relief dengan menggunakan 3 ekor Gajah. Ada gambar hewan-hewan yang hidup di daerah ini seperti kera, burung, ular, ayam hutan,” ujarnya.

[caption id="attachment_135511" align="alignright" width="300" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]

Prasasti tersebut bernama prasasti Tinulat. Prasasti ini ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno. Menurut Winarti dari cerita yang tertulis di prasasti, candi ini diperkirakan dibangun sekitar abad 9 hingga 10 pada era kerajaan Mataram Hindu semasa era pemerintahan Dyah Balitung. Tersebut juga tersebut juga nama Mahesa Lalaten namun tiada ada sumber yang cukup mengenai siapakah sosok tersebut. "Disebut juga kisah seorang Raja Putri. Diperkirakan raja putri tersebut adalah Dewi Kilisuci, Seorang raja putri dari kediri," ujarnya.

[caption id="attachment_135252" align="aligncenter" width="500" caption="Batu Prasasti Doc. Fathoni Arief"][/caption]

Candi ini menjadi tempat pemujaan mulai era Mataram Hindu, Singosari, Kediri hingga Majapahit. Di prasasti tersebut tercatat juga nama Wilis yang kemudian dikenal menjadi nama gunung ini. Wilis sendiri artinya hijau, subur.

[caption id="attachment_135163" align="aligncenter" width="300" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]

Konon legendanya Gunung Wilis dulunya merupakan gunung yang aktif. Karena terjadi Samudra Mertana atau pemutaran Air Samudera akhirnya terjadi perpindahan dan memunculkan banyak sumber air yang meredam aktifitas gunung sehingga sekarang Wilis tak lagi aktif.

Matahari mulai meninggi. Waktu mulai mendekati tengah hari. Kamipun berpamitan dengan Winarti. Di perjalanan masih terngiang kisah-kisah mengenai candi ini dan terbayang bagaimana dulu orang menuju ke daerah sini.

Penampihan, 25 September 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun