Langit makin gelap. Hawa dingin juga sudah terasa di kulit tubuhku, ketika sepeda motor bebekku meninggalkan Sekolah tempatku mengajar. Suasana mirip jelang petang, padahal masuk waktu Ashar saja juga belum. Tak ingin terjebak hujan di tengah jalan motor tua ini terus kupacu, perjalanan menuju rumahku masih 10 kilometer lagi. Rupanya alam memang tak pernah bisa diajak kompromi, baru sepuluh menit motor melaju dari langit jatuh titik-titik air, dan dengan cepatnya intensitasnya makin tinggi.
Seminggu terakhir, setiap sore, biasanya cuaca relatif cerah, makanya jas hujan yang biasanya selalu ada di jok motor tertinggal di rumah. Tak ingin basah kuyup, aku segera menepi, tepat di samping warung mie ayam langgananku, Warung Pak Bejo. Kebetulan sekali, perutku sudah berbunyi. Selain aku nampaknya ada juga beberapa pengendara yang turut berteduh. Seorang bapak tua bersepeda, dua orang pelajar SMA, dan seorang karyawati. Mereka menepi di emperan toko plastik, di samping warung mie ayam.
Warung mie ayam ini jika dilihat sekilas kurang menarik. Bangunanya sudah tak enak dipandang, beratap seng yang sudah berkarat dan sudah berlubang di sana-sini. Lantainya dari plesteran semen yang mulai hancur di sana-sini. Namun, memang benar seperti kata pepatah, jangan menilai sesuatu hanya dari tampilanya saja, menurutku inilah warung mie ayam terenak yang pernah kurasakan. Meskipun pernah ada gosip miring, entah darimana kabar tersebut berasal ada yang bilang Pak Bejo pakai ilmu hitam, pakai ilmu pengasihan. Konon kelezatan mie ayam pak Bejo karena benda bertuah yang berada di dalam bejana untuk memasak mie. Tapi gosip tinggalah gosip, tetap saja warung pak Bejo laris manis, bahkan makin lama makin banyak pembelinya dan kebanyakan anak-anak sekolah.
Nampaknya Pak Bejo sudah lama melihat kedatanganku. Selepas meracik beberapa mangkok pesanan lelaki itu menyapaku.
“Seperti biasa pak guru?” tanya pak Bejo dengan nada datar,
“Seperti biasa pak, sambalnya jangan banyak-banyak,”jawabku sambil tersenyum,
Seperti biasanya, pak Bejo selalu hemat kata-kata. Hanya berkata satu dua patah kata kepada pengunjung warungnya. Selanjutnya perhatianya tertuju pada kuali berisi air panas tempat dimana mie berwarwarna kuning direbus sambil menyiapkan mangkuk beling. Momen seperti inilah yang selalu menarik kulihat ketika aku masih duduk di bangku SD. Aku belum genap berusia 8 tahun. Dulu setiap hari aku bermain bersama Kurip, sahabat karib mulai dari SD sampai SMA. Sebenarnya temanku itu bernama urip, entah dulu bagaimana awal mulanya hingga teman-teman di sekolah memanggilnya dengan Kurip.
Hujan nampaknya masih enggan berhenti dan mengguyur dengan derasnya. Titik-titik air yang jatuh ke atap seng membuat suara gaduh yang mengganggu telinga. Sebuah mobil berhenti, seorang ibu dengan anak kecil berlari kecil menghindari guyuran air masuk dan langsung memesan mie ayam. Sambil memesan mie tangan ibu-ibu muda itu memegang putra kecilnya yang menarik-narik ingin bermain air hujan. Aku masih menunggu mie pesananku, tak apalah menunggu apalagi nampaknya belum ada tanda-tanda bakal segera reda.
“Pak, Mie ayam 3, dibungkus ya!” kata ibu muda tersebut,
“Sebentar bu, silahkan duduk dulu!” Pak Bejo masih meracik mie pesananku. Uap air mengepul ketika tutup bejana dibuka. Dengan cekatan lelaki tersebut menyajikan mie ayam dan semangkuk mie ayam panas telah siap kunikmati.
“Terima kasih pak,” ucapku dan segera saja kuraih saus dalam botol dan menggoyang-goyangkan hingga isinya yang berwarna merah menyala keluar dan jatuh di tengah-tengah mangkuk mie. Itu belum cukup segera beberapa sendok sambal dan kecap jatuh diatas mie yang mengeluarkan uap panas tersebut. Setelah semuanya kutuangkan kedalam mangkok, menggunakan sendok dan garpu mie tersebut kuaduk-aduk hingga campuranya merata dan tanpa dikomando tangan kanan dengan sendok langsung terhujam masuk kedalam mie dan menuju sasaran mulutku yang sudah menganga. Namun belum sempat sendok tersebut masuk kedalam mulutku nada panggilan terdengar dari ponselku.
“Halo...”
“Halo..,”jawabku. Aku hanya mendengar suara dalam telfon tersebut samar-samar. Mungkin karena gangguan sinyal yang kerap terjadi di sekitar sini. Tetapi rasanya aku sangat mengenal suara itu. Rasanya sudah lama sekali aku tak mendengar suara itu. Kurip, benar itu suara Arianto, kali ini nampaknya ada sesuatu yang berbeda. Tak seperti waktu itu terakhir kali kami bertemu di tempat ini.
“Akhirnya, cacing-cacing dalam perutku ini sudah keroncongan,” kata Kurip, saat Pak Bejo membawa dua mangkok mie ayam pesanan kami. Seperti orang yangbelum makan berhari-hari dengan cepat Kurip menuang sambal, tak hanya satu sendok tapi sampaisendok. Itu saja nampaknya belum cukup, tanganya langsung meraih botol saus yang warnanya merah menyala. Dengan dua tangan ia mencoba menggerak-gerakkan botol yang isinya masih penuh itu. Setelah bersusah payah keluarlah cairan merah kental tak hanya sekali namun beberapa kali cairan itu keluar hingga menggumpal di atas tumpukan mie yang ditaburi daging ayam cincang. Bila sudah seperti ini Kurip seperti tak mau peduli dengan sekitarnya. Setelah mengaduk-aduk mie dengan sumpit hingga warna merah menjadi rata, mie tersebut segera menjejali mulutnya. Mie tersebut seperti hanya disedot oleh Kurip tanpa dikunyah terlebih dahulu.
“Bagaimana rencanamu selepas ini?” tanya Kurip sambil terus mengunyah mie dan mendesis-desiskan mulutnya menahan rasa pedas.
“Seperti rencana semula. Aku mau jadi guru maka tentu saja, bakal kuliah di IKIP,”jawabku sambil menghabiskan satu sendok mie dan menyeruput kuah yang masih tersisa di mangkok. “Lalu bagaimana rencanamu?” aku balik bertanya pada Kurip. Sebenarnya Kurip sudah beberapakali cerita soal cita-citanya selepas lulus SMA dan selalu saja berubah tiap kali kami membahas itu. Pernah ia cerita ingin menjadi TkI ke Arab Saudi, hingga memutuskan menetap di desa saja dan membantu kang Marto mencari Pasir di sungai.
“Aku mau kekota saja. Ada tetanggaku yang sudah tinggal di Jakarta. Dia katanya sudah sukses jadi pengusaha,”jawabnya. Benar dugaanku rencanya berubah lagi. Tapi nampaknya kali ini ia benar-benar serius. Kurip begitu bersemangat, matanya berbinar-binar, intonasi suaranya mantap, keinginan dan tekadnya untuk pergi ke Jakarta sudah tak bisa dibendung lagi. Di kota kecil ini kebanyakan pemudanya hidup di perantauan. Apalagi di sini lapangan kerja sangatlah minim.Banyak diantara mereka selepas lulus SMA mengadu nasib menjadi TKI atau bekerja di kota. Mereka pulang dengan membawa kisah sukses, mampu membeli motor baru dan merenovasi rumah atau membeli hewan ternak menjadi satu tolak ukur berhasil tidaknya perantauan mereka.
“Apa kamu tidak takut hidup di Jakarta? Bakal jadi gembel, tinggal di kolong-kolong jembatan?”
“Ah tidaklah kawan. Seperti itu hanyalah mereka yang tak mau bekerja lebih keras. Mereka yang malas berusaha. Apalagi nanti selama di Jakarta aku tinggal di rumah mas Yono,” upayaku mencoba merubah jalan fikiran Kurip tak berhasil.
“Memangnya kamu sudah pernah lihat rumah mas Yono?”
“Belum sih, tapi aku percaya saja. Setiap kali mas Yono pulang kampung selalu membawa berbagai macam oleh-oleh dari kota. Tak jarang ia mampir kerumah memberiku berbagai barang mahal.
“Lalu Simbok dan adikmu bagaimana?”
“Mereka sudah setuju. Apalagi Yuni tahun depan bakal masuk SMP pasti bakal butuh biaya banyak,”
“Apapun rencanamu, selama itu baik pasti aku dukung dan doakan teman,” tak bisa kupngkiri, dalam hati aku sedih karena bakal kehilangan seorang sahabat. Kurip sebenarnya cukup cerdas. Sedari SD hingga SMA selalu naik kelas dan tak pernah berada diluar peringkat 10 besar. Harusnya ia melanjutkan ke bangku kuliah menjadi Sarjana sesuai cita-citanya dulu sewaktu SD saat Pak Minto, bapaknya, masih hidup.
“Hehehe terima kasih teman. Baiklah kali ini aku yang traktir, buat temenku yang mantap menjadi guru. Pak Bejo, tambah dua mangkok lagi, seperti biasanya!”
Sore itu, hari terakhir aku bersama Kurip. Meskipun aku menyesal tak bisa mengantar kepergian sahabatku ini ke Jakarta, karena di hari yang sama aku harus mengikuti tes masuk Universitas. Setelah itu Kurip sama sekali tak pernah terdengar kabarnya. Bahkan orang tua dan adiknya juga tak mengetahui dimana Kurip tinggal dan bekerja. Setahu mereka, Kurip, selalu kirim uang lewat wesel, namun tak pernah menceritakan kabar dirinya.
Ada apa dengan Kurip? Kenapa tiba-tiba saja dia menghubungiku. Apakah ada sesuatu yang menimpa sahabatku itu? Belum habis rasa penasaranku, hpku berbunyi,sebuah pesan singkat masuk.
“Ini Aku, Urip. Aku minta bantuanmu, tolong besok datang ke stasiun kota pagi hari. Aku sekarang dalam perjalanan menuju kampung halaman,”
Penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi langsung saja kutelpon nomor itu. Sempat sambunganku masuk namun tak pernah diangkat bahkan selanjutnya nomor tersebut sudah tidak aktif.
****
Matahari belum tampakkan dirinya dengan sempurna. Udara dingin pagi hari masih terasa. Titik-titik embun juga masih terlihat di dedaunan. Di stasiun kereta kesibukan sudah terlihat mulai dari lalu-lalang calon penumpang hingga para pedagang asongan dengan berbagai barang dagangan, ada pula mereka yang menanti kedatangan kereta.
Aku duduk di pojok peron stasiun di bangku paling pinggir, di sebelah tukang koran yang menghitung hasil daganganya, sementara di samping koran-koranya masih menumpuk siap dijual. Sudah hampir setengah jam aku di sini namun kereta yang dinanti masih belum datang juga. Menghilangkan rasa bosan aku berjalan-jalan melihat suasana stasiun. Sambil berjalan telingaku mendengar berbagai tema pembicaraan dari orang-orang yang ada disana. Ada-ada saja yang mereka perbincangkan mulai dari gagal panen, pemerkosaan, angin puting beliung hingga soal sepak bola.
Untung saja belum habis kesabaranku menanti, petugas stasiun mengumumkan kedatangan kereta dari Jakarta. Mendengar pengumunan tersebut calon penumpang berlarian mendekat dan pedagang asongan langsung mengemasi daganganya bersiap memasuki gerbong.
Ular besi panjang itupun makin mendekat dan perlahan berhenti ketika terdengar bunyi rem yang memekikan telinga. Namun rupanya hanya puluhan orang saja yang berhenti di stasiun ini tak sebanding dengan mereka yang naik. Satu persatu kuamati wajah-wajah penumpang tersebut. Ternyata tak bisa kutemui keberadaan Kurip.
Tak lama kereta itu berhenti. Tak sampai seperempat jam kereta kembali diberangkatkan namun aku belum menemukan sahabatku, Kurip. Lalu dimanakah Kurip?
Setelah Kereta itu kembali melanjutkan perjalanan, suasana stasiun mulai lengang. Hanya ada beberapa orang pedagang asongan dan penumpang yang menunggu jemputan. Aku kembali menyisir melihat satu-persatu penumpang tersebut kalau-kalau itu adalah Kurip.
Baru saja kembali melangkah, aku dikagetkan dengan seseorang dari arah belakang yang menapuk pundakku.
“Her...,” seseorang memanggil namaku,
Aku langsung membalikkan badanku. Kulihat seorang berjaket kulit hitam, beberapa bagian sudah sobek. Lelaki itu kurus, memakai topi dan kacamata hitam.
“Astaga, Kurip?” langsung saja aku memeluk erat lelaki itu. Sesaat saja aku mendekat tercium bau tidak sedap dari tubuh Kurip.
Kurip yang sekarang kulihat sudah jauh berbeda dibandingkan dengan yang dulu kukenal. Tak ada lagi senyuman ceria yang nampak hanya wajah pucat kurus kering dan muram.
“Aku tak punya waktu banyak teman. Aku minta tolong, sampaikan sekedar uang hasil tabunganku ini untuk Simbok dan Yuni,” tanganya gemetar mengeluarkan amplop warna putih tipis dan coklat, isinya cukup tebal. Kedua amplop itupun diserahkan Kurip kepadaku.
“Amplop coklat ini berisi uang hasil tabunganku, tolong sampaikan kepada Simbok. Sedangkan amplop putih untukmu. Tapi jangan dibuka sekarang,”
“Apa yang sebenarnya terjadi kawan?”
“Maaf, aku tak bisa bercerita banyak. Tolong bantu jaga Yuni dan Simbok selama aku tak ada,” Kurip, memegang erat tanganku, dan bisa kulihat butir-butir air mata jatuh dari kedua pelupuk mata.
Sebenarnya aku masih ingin bercerita banyak hal, namun Kurip langsung memotong pembicaraan dan segera meninggalkan stasiun tersebut. Dari tempatku berada, aku melihat sahabat lamaku, Arianto melangkah gontai, dan naik sebuah bus antar kota yang lewat di depan jalan stasiun. Entah kemana ia akan pergi.
****
Hujan kembali turun membasahi kota kecil ini. Kondisi yang membuat suasana jalan kampungku semakin lengang. Meskipun waktu baru menunjukkan pukul setengah sepuluh malam hanya satu dua saja kendaraan yang lalu lalang. Aku duduk di ruang kerjaku, menanti mata yang belum juga bisa terkantuk. Sementara istriku sudah terlelap dengan putri kecilku.
Dari saku jaket kuambil sebuah amplop berwarna putih. Kubaca surat dari kurip buatku.
Untuk Sobatku Herianto
Terima Kasih sudah bersedia datang ke stasiun. Butuh keberanian besar bagiku untuk menceritakan kisahku, meskipun kepada sahabat karibku sendiri. Sebenarnya sudah lama aku ingin pulang kampung berjumpa dengan Simbok, Yuni, tentu saja kamu. Namunrupanya aku tak sanggung menanggung malu, tak mampu menutupi masa-masa kelamku. Tapi setelah perjalanan demi perjalanan yang kualami kuputuskan untuk memulai hidup baru. Aku hanya ingin menyendiri mencoba memperbaiki kehidupanku.
Ternyata memang benar kata-katamu dulu, di warung pak Bejo, Jakarta memang keras. Bekal nekad saja tidak cuku, siapa yang kuat dialah bakal bertahan di ibukota. Kota ini telah merubahku menjadi sosok yang aku sendiri tak mengenal lagi diriku yang dulu.
Saat pertemuan terakhir kita di warung pak Bejo sebenarnya hatiku bimbang. Simbok tidak setuju dengan rencanaku mengadu nasib ke Jakarta. Namun kau sudah tahulah seperti apa diriku. Jika sudah punya keinginan susah untuk dihentikan. Maka sore itu tanpa pamit Simbok dan Yuni aku nekad pergi ke Jakarta. Berbekal tabungan seadanya dan beberapa lembar pakaian aku bersiap memulai kehidupan baru.
Pertama kali tiba, Jakarta memang langsung membuatku terpesona. Meskipun waktu itu aku belum tahu akan berbuat apa di kota sebesar itu. Aku berbohong soal Mas Yono. Di sana aku tak punya tujuan hingga akhirnya aku berkenalan dengan seseorang kawan yang berjanji mencarikan aku pekerjaan dan tempat tinggal. Inilah bukti betapa bodohnya aku, terlalu gampang percaya. Kenalan itu menipuku dan membawa lari seluruh uang tabunganku.
Terkatung-katung tanpa tujuan membuatku nekad. Awalnya aku hanya mencoba mengutil barang dagangan sekedar mengisi perutku yang lapar namun lama-kelamaan yang kuambil tak hanya makanan namun dompet, handphone dan barang berharga lain. Inilah awal mula aku kehilangan jati diriku dan gerbang menuju pergaulan bebas bersama pelacur-pelacur kelas teri. Hingga suatu saat aku divonis terjangkit HIV.
Aku menyesal, mulai mencari duit dengan cara halal berdagang koran dan jadi kuli di pasar. Namun nasi sudah menjadi bubur virus itu terus menggerogotiku hingga aku merasa hidupku sudah tak lama lagi. Di akhir hidupku aku tak mau menyusahkan dan membuat aib bagi keluarga dan orang-orang terdekatku. Biar saja noda ini hanya aku Tuhan dan dirimu yang tahu.Tolong, jaga adik dan Simbokku.
Terima Kasih Sobat
Aku tertegun, merasa bersalah, tak bisa menghalangi niat Kurip dulu ketika akan ke Jakarta. Namun begitulah manusia selalu punya keinginan dan pilihan yang orang lain tak bisa untuk mencampurinya. Meskipun sayangnya pilihan Kurip salah.
Yogyakarta, 19 Februari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H