Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Suatu Senja, di Hotel Yamato

6 Agustus 2010   00:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:16 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_217023" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Meskipun sudah beberapa kali berkunjung ke kota Surabaya, baru kali ini, saya bisa melihat langsung Hotel Majapahit, tempat terjadinya insiden bendera di tahun 1945. Hotel ini sama seperti yang saya lihat di buku-buku teks sejarah semasa SD dulu. Walaupun sudah beberapa kali direhab, namun bangunan tetap dipertahankan sesuai dengan bentuk aslinya.

[caption id="attachment_217042" align="aligncenter" width="500" caption="sumber foto : dewey.petra.ac.id"][/caption] Hotel Majapahit banyak menyimpan kisah bersejarah. Gedung ini berlokasi di Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur,Indonesia. Hotel yang didirikan tahun 1910 oleh Sarkies bersaudara dari Armenia sempat berkali-kali ganti nama setiap berpindah kepemilikan. Pertama kali mereka menamakan hotel ini dengan Oranje hotel. Ketika tentara Jepang menduduki kota Surabaya hotel ini berubah nama menjadi hotel Yamato dan saat ini menjadi hotel Majapahit.

[caption id="attachment_217024" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption] Dari pintu masuk utama saya memasuki lobby hotel, bangunan bergaya art deco, yang merupakan hasil perluasan hotel di tahun 1936. Konon sewaktu peresmian, setelah selesai perluasan, dihadiri oleh Charlie Chaplin dan Paulette Godart. Dari lobby saya terus melangkah menuju bangunan lain berbentuk atrium. Ada jalan penghubung dari lobby ke sana. Sebelum tahun 1936 bangunan inilah yang berfungsi sebagai lobby sejak hotel ini beroperasi tahun 1910.

Saya terpesona dengan bagian ini. Apalagi melihat ornamen-ornamen, dan interior gedung yang bernuansa tempo dulu. Dengan lampu yang menyala redup di bagian atrium saya serasa dibawa diajak berkunjung ke era tahun 40an.

[caption id="attachment_217026" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Tak ingin membuang kesempatan, memanfaatkan waktu yang singkat, saya berkeliling hotel ini. Saya menyusuri lorong-lorong hotel yang memiliki 150 kamar yang tersebar di dua lantai. Saya berjalan menuju sisi kanan, melewati deretan kamar-kamar, yang pintunya langsung menghadap taman. Keberadaan taman tersebut membuat suasana hotel menjadi teduh, asri dan sunyi. Sehingga meski terletak di jantung kota Surabaya, diantara hiruk pikuknya keramaian, masih sangat nyaman dipakai beristirahat.

[caption id="attachment_217028" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Selain ingin melihat suasana dalam hotel, kebetulan saya belum melaksanakan sholat Ashar. Saya pun mencari dimana letak Mushola. Dari seorang pelayan saya mendapat informasi. Seperti petunjuk sang pelayan saya menelusuri lorong hotel. Ternyata sampai pojok belakang, mushola belum saya temukan. Di sana saya temukan karyawan hotel tengah memotong rumput. Sekali lagi saya bertanya dimana letak Mushola. Karyawan tersebut dengan ramah mendengar sapaan saya, dan menjelaskan letak tempat sholat. Ternyata letaknya di belakang tempat pertemuan.

[caption id="attachment_217481" align="aligncenter" width="200" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Suasana di bagian belakang juga tak kalah menarik dengan lorong yang telah saya lewati. Di dinding depan beberapa kamar bisa saya jumpai foto-foto hitam putih masa lalu. Sayapun mengambil beberapa foto lorong hotel yang masih kuat kesan tempo dulunya. Ketika saya mengeluarkan kamera seorang room boy sempat melihat. Awalnya, saya kira dia akan menegur, bahkan melarang memotret. Ternyata tidak, ia menyapa saya, dengan sapaan hangat. Setelah mengambil beberapa gambar saya kembali melangkah mencari tempat sholat. Letak mushola memang tersembunyi, di sebuah ruangan tertutup, di dekat lorong.

[caption id="attachment_217029" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption] Jelang senja, ketika waktu menunjukkan pukul setengah enam sore. Saat yang sempurna untuk menikmati lagi suasana hotel. Apalagi, ketika hari mulai gelap suasana hotel makin menarik dengan lampu-lampu yang menyala, sehingga warna cat dinding hotel menjadi lebih terekspos.

[caption id="attachment_217031" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption] Kali ini saya naik ke lantai kedua, melewati tangga di sisi kiri, mencari angle yang pas untuk memotret bagian atas hotel. Saya tertarik bagian depan yang dulu pernah menjadi saksi peristiwa tahun 1945. Ternyata mengenai kejadian heroik tersebut, ditulis di sebuah prasasti yang terletak di lantai kedua.

[caption id="attachment_217032" align="alignleft" width="106" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption] Di atas suasana terasa sunyi, saya membayangkan kembali peristiwa tanggal 19 September 1945, sejarah mencatat sebagai insiden bendara. Kejadianya berawal tanggal 18 September 1945 ketika dari sekelompok anak muda Belanda mengibarkan lagi bendera Merah Putih Biru di puncak sebelah kanan hotel. Aksi tersebut mendapat reaksi dari masyarakat Surabaya. Beberapa orang yang melihat bendera  “merah-putih-biru” berkibar di puncak hotel Yamato, berteriak-teriak histeris meminta  bendera itu diturunkan lagi. Namun anak-anak muda Belanda Indo bukanya menurunkan justru menolak dengan sikap menantang. Aksi itulah yang memicu terjadinya peristiwa tanggal 19 September 1945. Massa tak dapat dikendalikan beberapa anak muda berusaha naik dengan menggunakan tangga bambu menurunkan bendera. Salah seorang diantara mereka berhasil naik. Ia merobek kain warna biru dengan cara menggigitnya. Setelah robek, dua warna merah putih tersisa dipasang lagi ke tiang bendera. Dalam insiden bendera ini seorang Belanda bernama Mr. Pluegman tewas terkena tusukan senjata tajam dan beberapa orang pemuda luka berat.

Sesekali menekan tombol Shoot di kamera DSLR saya. Waktu tak terasa berjalan dengan cepat. Sebenarnya saya masih ingin lebih lama lagi ada di tempat ini namunacara lain menanti dan sayapun harus segera meninggalkan Hotel Majapahit.

[caption id="attachment_217036" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

FATHONI ARIEF

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun