Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kampung Tempat Saya Dilahirkan

9 Juli 2010   12:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:58 1147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_189465" align="aligncenter" width="500" caption="Suasana sore hari di alun-alun kota/ Doc.Fathoni Arief"][/caption] Sejauh-jauh kaki saya melangkah tak menghilangkan cinta saya akan tanah kelahiran. Dimanapun saya berada tetaplah orang kampung. Karena disanalah tempat yang selalu saya rindukan, tempat saya lahir dan dibesarkan, sebelum memutuskan merantau 200 km ke arah Barat menuntut ilmu di kota pelajar dan kini ratusan meter lagi di ibu kota negeri ini untuk mencari sesuap nasi.

Tulungagung, sebuah kota kecil di pesisir Selatan Jawa Timur. Mungkin tak semua orang tahu dimana letak kota ini berbeda dengan Surabaya, Malang, Madiun, Kediri atau kota lain yang cukup terkenal di belahan pulau Jawa bagian Timur ini.

Saya akan berbagi cerita tentang kota kelahiran saya, Tulungagung. Berbeda dengan ibukota senja, Jakarta, tempat saya bekerja membanting tulang, memeras keringat, mengais harapan dan cita-cita, tempat saya dilahirkan memang jauh dari hingar-bingar, tak ada macet, jauh dari asap, dan hiruk pikuk pusat negara. Jika ada hiruk pikuk itupun sebatas ketika ada perayaan tahun baru ataupun hari raya. Selain waktu itu Tulungagung tetaplah kota kecil, yang mulai menggeliat, tak begitu ramai nyaman, bebas macet tentunya.

[caption id="attachment_189470" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana Kota Tulungagung/Doc.Fathoni Arief"][/caption] Setiap pulang ke kota kelahiran seringkali saya sempatkan berkeliling kota kecil ini. Dengan sepeda motor, sepeda atau terkadang jalan kaki. Seringkali saya tak pernah menentukan kemana berkeliling, tujuan tak jelas. Bagi saya yang penting bisa menikmati suasana kota kecil baik di sekitar pusat kota atau jika memungkinkan ke pelosok-pelosok.

Meskipun kota kecil ini mulai menggeliat dengan berdirinya gedung-gedung, toko, perumahan dan pusat keramaian lain namun tetap saja masih saya jumpai hamparan persawahan, jalanan yang sepi, gunung, sungai, pasar tradisional. Seringkali saya baru tersadar ketika melihat semua itu , " Kali ini saya bukan berada di Jakarta. Saya di Tulungagung.”

[caption id="attachment_189475" align="aligncenter" width="300" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Seperti pada suatu pagi-waktu baru menunjukkan pukul 6. Suasana jalan masih sepi. Udara masih segar dan matahari masih malu-malu untuk tampakkan diri. Dengan memakai sepeda motor saya menelusuri pinggiran sungai. Perhatian saya tertuju pada bangunan-bangunan dari bamboo yang bentuknya mirip gubug tinggi.

Di dekat bangunan tersebut seorang bapak-bapak usianya kira-kiratahunan. Ia tengah sibuk mencari sesuatu. “Lagi cari apa pak?” Tanya saya

“Ooh lagi cari makanan buat bebek peliharaan saya,” jawabnya

Rasa keingintahuan saya muncul. Ternyata setelah saya melihat dari dekat ternyata bapak itu tengah mencari sejenis siput yang hidup di sungai. Setiap hari ia dengan alat sederhana mencari siput untuk memberi makan bebek-bebeknya yang jumlahnya hanya sekitar 25 ekor.

[caption id="attachment_189484" align="aligncenter" width="300" caption="mencari pakan bebek/doc.Fathoni Arief"][/caption]

Saat tengah asyik mengikuti si bapak yang mencari siput seseorang menyapa saya. Ia mendekati bangunan gubug bambu yang menarik poerhatian saya tadi. Sayapun mendekat mencari tahu apa yang akan dilakukannya.

“Lagi cari apa pak?” Tanya saya.

“Oh, mencari ikan dik,” jawabnya.

“Ikan buat apa? Buat dikonsumsi?”

“Ikan kecil-kecil buat makanan burung,” jawabnya.

Si bapak, ternyata memelihara seekor Elang laut. Ia menemukan elang tersebut dan memeliharanya hingga sekarang. Katanya si elang laut ini tiap hari harus diberi makan yang berbau amis selain itu dia tidak doyan. Saya memperhatikan bagaimana cara pengoperasian alat tersebut. Bagaimana caranya mendapatkan ikan. Gubug dari bambu tersebut di pasang semacam jala. Jala yang bias dinaikkan dan diturunkan dengan bamboo. Beberapa saat jala tersebut diturunkan. Setelah dianggap cukup jala tersebut kembali diangkat. Untuk mengambil ikan-ikan dari jala tersebut memakai semacam penangkap dari bamboo yang ujungnya ada kain saringan kecil.

[caption id="attachment_189485" align="aligncenter" width="210" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Sambil menunggu ikan-ikan terkumpul si bapak, Zainal Abidin, cerita tentang banyak hal. Tentang keberadaan dari sungai ini. Sungai ngrawa memang unik. Alirannya tidak tetap kadang mengalir ke Utara dan terkadang mengalir ke Selatan.

Sungai Ngrawa akan mengalir keselatan dibuang ke laut melalui Terowongan Neyama jika dianggap berlebihan dan berpotensi menimbulkan banjir. Sebaliknya jika tidak membahayakan sungai ini mengalir kearah Utara.

Zainal berkisah, teringat akan masa kecilnya. Dulu sungai ini tidak sedalam saat ini. Bentuknya berupa saluran kecil. Jika musim hujan bias dipastikan daerah di kiri-kanan bakal tersendam banjir bias berbulan-bulan.

Dari Pak Zainal saya juga mendapat cerita mengenai fauna di kota ini. Mengenai sejenis burung mirip elang yang kini mungkin sudah punah keberadaanya. “Jangankan itu, luwak yang dulu sering terlihat kini sudah tak nampak lagi,” katanya.

Pembicaraan ini akhirnya mengembang kemana-mana. Saya sempat bertanya mengenai keberadaan sebuah desa tak jauh dari lokasi ini. Desa Majan namanya. Ada desa yang dulunya memiliki otorita khusus. Daerah istimewa yang keberadaannya mirip di daerah Yogyakarta. Baru beberapa waktu lalu saja wilayah ini bergabung dalam pemerintahan kabupaten Tulungagung. Desa yang sempat memiliki otorita khusus adalah Majan, Simo, Winong dan Mangunsari. Di desa tersebut banyak meninggalkan peninggalan sejarah. Ada bangunan tua bersejarah baik masjid maupun peninggalan yang lainnya.

Cerita pak Zainal membawa angan-angan saya pada daerah-daerah lain di Tulungagung yang pernah saya kunjungi. Kota marmer ini memang menyimpan banyak potensi wisata baik sejarah, budaya, agro, kuliner dan masih banyak lagi.

[caption id="attachment_189453" align="aligncenter" width="500" caption="Sebuah Masjid Tua Yang Terletak di Desa Majan/ Doc. Fathoni Arief"][/caption]

Ada satu tempat lagi yang bisa dikatakan selalu saya kunjungi setiap kali pulang, alun-alun kota. Tentang alun-alun yang kini sudah berubah menjadi taman dulunya lapangan rumput luas. Lapangan dimana anak-anak bermain bola tiap sore hari namun lengang dan gelap di malam harinya. Dulu saya sering menghabiskan waktu sore saya disana bersama teman masa kecil atau sekolah- mereka sebagian besar sudah berkeluarga dan menjalani kehidupanya sendiri-sendiri. Ada yang menjadi guru, dosen, pegawai pemerintah, hidup sederhana di kota kecil ini.

Tentang kota kelahiran dan sahabat saya teringat ucapan seorang temen yang memilih kembali ke Tulungagung " Materi bukan segalanya", kata-kata yang membangunkan kesadaran saya. Betapa indahnya jika segera mungkin saya bisa kembali ke Tulungagung. Namun bukan saat ini. Saya harus bersabar, ada hal yang harus saya capai dulu dan satu janji sudah terpatri "suatu ketika aku kan kembali pulang".

Hening..melingkupi Malam.. Semuanya tertutup kecuali sesak dan harapan. Cerita itu baru saja dimulai.. atau mungkin sudah selesai.. atau mungkin memang tak pernah ada. Semuanya hanya dibalik bayangan ilusi senja.. Adakah Senja di Jakarta? Pernah kutanyakan itu dalam keluh kesahku.. Hingga saat ini nampaknya senja tak pernah kulihat di Jakarta (Tak Ada Senja Di Jakarta, Fathoni Arief 2008) [caption id="attachment_189455" align="aligncenter" width="500" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption] Kampung halaman...Tulungagung. Ah tak tahulah kapan saya akan kembali kesana.. Rawajati, 9 Juli 2010

Fathoni Arief

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun