[caption id="attachment_173803" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi/doc.Fathoni Arief"][/caption]
Aku Tertegun dalam keheningan malam. Suasana begitu sunyi, senyap, yang terdengar hanyalah hembusan angin dan detik jarum jam dinding yang memecah kesunyian malam. Meskipun sesekali terdengar keriuhan kucing jantan yang mengeong mencari pasangan kawinnya .
"tik…tik…tik..tik….tik…." Bunyi jarum berdetak sesuai dengan iramanya yang teratur selalu saja detik demi detik. Suara yang memecah keheningan malam. Hening benar-benar hening, tanpa ada aktivitas manusia.
Jarum panjang jam dinding sudah menunjuk angka enam dan yang lebih pendek berada di antara angka dua belas dan satu. Tengah malam menjelang pagi suasana yang lengang di hampir setiap sudut kota. Kalaupun ada yang masih ramai dengan aktivitasnya adalah mereka yang menghabiskan malam di warung-warung angkringan yang tersebar di pojok-pojok kota budaya ini. Kota ini; Yogyakarta; kota pelajar yang makin dipadati oleh para pendatang, memang lebih indah jika dilihat pada saat malam hari. Saat suasana sunyi senyap telah menyelimuti sisi kota.
Malam hari duduk sendiri termenung di teras rumah pondokan. Dengan ditemani siaran radio yang terisi obrolan-obrolan tengah malam. Mata yang sedari tadi ingin tertutup tapi nampaknya ada sesuatu ganjalan yang membuatnya tak bisa untuk tertutup. Aku masih terjaga dalam suasana sendiri. Menikmati suasana malam kota Yogyakarta.
Malam seperti inilah di suatu saat yang lampau diriku kehilangan dia. Aku juga masih belum seratus persen yakin dengan keberadaannya. Ia masih misteri belum tersingkap rahasia yang mengiringinya. Dia terkadang teriak, tertawa marah, merasa sakit dan sering juga meronta-ronta minta pertolongan. Satu pertanyaan yang hingga kini ada: apakah dia benar-benar nyata? Apakah ini hanya angan-anganku? Apakah aku yang mengalami sedikit masalah dengan jiwaku? Atau mungkin aku sudah mati? Kematian yang tak disadari.
****
Aku masih terbengong di depan kaca yang terpampang di pojok kamar mandi kotorku. Cermin yang tak lagi utuh dan retak disana-sini. Tak tahu sudah berapa bekas pukulan dan lemparan benda-benda yang tertuju padanya. Semuanya aku yang melakukannya. Sudut cermin bagian kanan retak dan sudah cuwil setelah aku di khianati oleh sahabat sendiri, bagian tengah kena jotosan tangan kiri setelah kuterima surat undangan pernikahan anak pak lurah yang sangat kugandrungi, dan ada lagi yang paling parah hingga bekas darah masih tersisa di sana. Bagian itu terkena pukulan tangan kiriku setelah kekasihku yang terakhir berkhianat tanpa sepengetahuanku digondol sahabat dekat yang begitu kupercaya.
Wastafel yang krannya sudah aus; aku belum sempat mengantinya dengan yang baru, itu sempat menyemburkan air ketika secara tak sengaja kusenggol. Aku hanya ingin mencuci muka. "Sedemikian hinakah aku? ", kubertanya pada diriku sendiri sambil menyapukan air keseluruh bagian muka. Memang rasanya lebih segar dan mampu memadamkan hati yang sempat terbakar. Tetes demi tetes membuat semuanya membaik. Kembali kutatap cermin dan kini aku dikejutkan oleh sesuatu.
"Siapa kamu?" sesosok bayangan keluar dari cermin retak tersebut.
Benarkah yang sedang kulihat?
Apakah aku sudah tak waras sekali lagi kuambil segenggam air dan kusapukan ke seluruh mukaku dan kembali menatap cermin retak itu.
"Siapa kamu?" sekali lagi ia bertanya padaku. Aneh tak masuk akal bukankah seharusnya aku yang bertanya dia sosok aneh: bayangan dalam cermin retak.
Sekali lagi ia bertanya dan langsung saja kujawab namaku, dimana aku lahir, siapa orang tuaku, mirip dengan yang tertulis pada kartu keluarga; yang sudah tertumpuk dalam lemari usang di pojok rumah. "Kenapa aku yang jadi aneh ?", apakah aku sudah gila kata hati yang terus bertanya-tanya.
"Kau bohong! Yang kau sebut tadi bukanlah kau! Itu adalah diriku. Kau bohong!", bayangan dalam cermin retak itu menunjuk-nunjuk diriku. Tangannya keluar dari cermin retak dan berusaha meraih batang leher untuk mencekikku.
"Aku benar tak mungkin bohong. Kau yang bohong", jawabku
Nyaris aku tak mampu melihat bayangan itu dia benar-benar telah mencekikku. Nyaris aku tak bisa bernafas hingga akhirnya akupun meloncat dan membebaskan diri dari cekikan bayangan aneh tersebut.
Aku mundur dan sedikit demi sedikit menjauh dari bayangan itu. Kini tak hanya satu tangan yang keluar tapi juga tangan lain, badan, kaki hingga dalam wujud yang utuh ia benar-benar keluar dari cermin retak itu.
"Lihat diriku!" bentaknya,
"Aaa…….", aku berusaha teriak tetapi hanya mulutku saja yang terbuka dan tak sepatah katapun yang muncul dari mulutku. Aku tak berani memandangnya tetapi rasanya ada sebuah magnet yang sangat kuat memaksa, dengan terpaksa mukaku tertarik mataku tertuju pada bayangan itu.
Bayangan itu manusia ia tak menyeramkan. Tapi kenapa ia marah padaku.
"Ya Tuhan" Aku sangat terkejut saat memperhatikannya melihat sosok itu benar-benar aku. Dia adalah diriku bayangan itu adalah aku.
Bayangan itu mendekatiku dan aku mundur selangkah demi selangkah hingga akhirnya berada diluar rumah di lapangan rumput yang masih basah oleh hujan tadi sore.Sosok itu kemudian berlari begitu cepatnya kemudian meloncat dan secepat kilat melesat dengan cepat hingga akhirnya hilang diantara banyaknya bintang-bintang yang bertebaran di langitan luas. Sebuah cahaya terang terpancar saat sosok itu menghilang di langit sana.
Mataku masih tertuju pada langit-langit luas dimana bayangan itu menghilang. Rasa takut yang berangsur-angsur menghilang semuanya karena mengamati keindahan yang terpancar di atas sana. Gemerlap bintang di saat suasana cerah hujan telah membuang awan gelap yang menyelimuti langit luas.
"Kenapa ia melesat keatas? Bukankah asalnya dari cermin yang retak itu? Apakah ini sebuah isyarat atau petunjuk yang harus segera kupecahkan?", tanda tanya besar dalam hatiku.
Di kursi panjang dari bambu yang terletak di teras rumah kurebahkan badanku.
"Mungkin saja aku terlalu capek dan semua adalah halusinasiku",
Bintang, rembulan, dan langit yang luas sebuah pemandangan yang jarang sekali kuamati. Takjub, satu kata bagi kekuasaan sang pencipta alam semesta.
Kini aku kembali pada cermin retak itu. Bayangan itu telah menghilang tak ada yang perlu kutakutkan lagi. Aku kembali memandangi bayangan pada cermin itu. Sungguh aneh cermin itu kosong tak ada lagi yang tergambar dalam kumpulan kaca retak itu.
"Apakah aku sudah benar-benar gila?", aku semakin kuatir dengan apa yang sedang terjadi.
Kuraih air dengan kedua telapak tangan dan kusiramkan tak hanya sekali tapi berkali kali, tak lupa mataku juga kuguyur dengan air yang cukup dingin itu. Semua sama saja aku tetap tak bisa melihat bayanganku. Aku hidup tanpa ada bayangan.
"Apakah aku sudah mati?", tanyaku pada diri sendiri. Satu pertanyaan yang semakin membuatku ketakutan.
Aku terlalu lelah, capeh, letih dengan segala kegiatan mungkin ini yang membuatku kacau balau. Tanganku meraih gelas dan teko air minum sebutir obat penenang pun segera masuk seiring dengan mengalirnya air ke tenggorokanku. Dengan merebahkan badan sekedar menutup mata dan istirahat mungkin saja akan membuat kondisiku sedikit membaik.
Mataku terpejam, tapi layar cerita yang ada dalam fikiranku tak mau ditutup. Semakin kemana-mana saja yang ada dalam fikiranku. Ia membawaku dari satu kejadian ke kejadian yang lain. Disini kulihat diriku sendiri persis seperti bayangan dalam cermin yang telah hilang di antara bintang-bintang di angkasa. Semakin lama sosok di dalam alam bawah sadarku semakin tak kukenali tapi ia menyatakan dirinya adalah aku.
"Kenapa wajahku menjadi mengerikan seperti itu? " Aku jadi ketakutan akan diriku sendiri dan setengah terkejut aku kembali terbangun dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhku.
"Aku mimpi buruk", kataku
Kulangkahkan kakiku menuju wastafel dan kembali pada cermin yang retak tadi. Kupandangi cermin retak itu lagi dan aku masih tak mendapatkan wajahku disana, bayanganku hilang.
"Aku sudah mati!", teriakku hanya orang mati yang tak punya bayangan.
****
Apakah benar yang kualami ini ?
Aku sudah mati ?
Akupun berdiri, memandang jauh ke angkasa melihat satu demi satu bintang di sana. Kucoba mencari apakah bayanganku ada di sana?
Aku akan tetap menunggu bayanganku kembali. Di tiap sudut rumahku sudah terpasang banyak cermin-cermin baru. Setiap saat jika bayanganku kembali aku akan mengetahuinya. Setidaknya jika tak kembali berlalunya waktu akan bisa membuatku menerima kenyataan bahwa aku telah mati rasa.
Yogyakarta, Maret 2006
Fathoni Arief
Kumpulan Artikel Lain
2. Pojok Jakarta : Pantang Pulang Sebelum Mendapat Uang
3. Sang Pemburu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H