[caption id="attachment_127174" align="aligncenter" width="500" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption] Terik matahari yang menyengat tak menyurutkan minat saya menikmati pertunjukan kuda lumping di pelataran Museum Fatahilah. Tak hanya sekilas bahkan hingga beberapa kali pertunjukkan. Walaupun ceritanya sama, orang-orangnya sama hanya penontonnya saja yang mungkin berbeda. Waktu sudah beranjak dari tengah hari ketika sekelompok seniman tradisional jalanan menempati sisi Barat halaman museum Fatahilah. Seorang diantara mereka melangkah ketengah dengan membawa cemeti panjang. Pria dengan cambang berkaos lurik merah putih dengan baju luar warna hitam memainkan cemeti. Ia mengibas-kibaskan cemetinya hingga terdengar suara keras ketika terbentur ke lantai. Perlahan orang-orang yang berada di sekitar museum mulai mendekat. Mereka berkerumun tertarik pertunjukan tersebut.
[caption id="attachment_127187" align="alignleft" width="300" caption="Doc.Fathoni"][/caption] Setelah itu muncul beberapa anggota kelompok yang lain. Mereka melakukan aksi akrobatik. Diantara mereka ada yang berperan sebagai “korban” untuk memancing tawa penonton. Entah apa yang lucu namun yang jelas penonton banyak yang tertawa. Mereka tak hanya dari kalangan dewasa saja. Beberapa pemain nampak berusia belasan tahun bahkan ada yang masih dibawah sepuluh tahun. Kemungkinan bocah-bocah tersebut anak-anak dari pemain yang senior.
Pertunjukan berikutnya seorang dengan cambang lebat dan berwajah cukup sangar. Dengan cambuk dan keris berada di tengah-tengah. Di dekat sebuah ember plastik warna hitam ia merunduk dan perlahan memasukan mukanya. Sesaat kemudian perlahan mukanya dia angkat seperti tengah membaca mantra-mantra. Di sekelilingnya sudah ada beberapa pemain lain yang membawa kuda lumping.
Setelah berkomat-kamit ia menyemburkan air. Kemudian memutarkan cemetinya hingga keluar suara keras. Suara cemeti yang membentur disusuldengan pemain kuda lumping yang mulai kemasukan. Dengan kuda lumping menari-nari mulutnya menganga ketika seseorang membawa pecahan kaca. Perlahan ia mengunyahnya.
[caption id="attachment_127670" align="alignright" width="300" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]
Dalam kondisi kerasukan seseorang menuntun pemain kuda lumping itu berkeliling. Mengitari penonton sambil mengulurkan tempat menaruh receh dan lembaran-lembaran uang dari penonton. Hingga pemain kuda lumping itu kembali disadarkan dan pertunjukkan itu selesai. Pertunjukkan yang mereka lakukan tak hanya sekali dalam sehari bisa hingga 5 kali bahkan lebih.
Ada banyak anggota kelompok ini. Semua memerankan perannya masing-masing. Mulai dari menjadi korban lucu-lucuan, sebagai pemain akrobat, pemain musik, hingga yang bertugas berkeliling meminta saweran dari para penonton. Mereka semua dengan keterbatasan. Tetap terlihat senyum di wajah mereka.
[caption id="attachment_127177" align="aligncenter" width="300" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]
Beberapa tahun ini jumlah pengunjung kota tua ini makin bertambah. Saya teringat sekira pertengahan tahun 2008 ketika pertama kali berkunjung. Meskipun waktu itu cukup ramai namun tak sebanyak akhir-akhir ini.
Mengunjungi kota tua tak mesti identik dengan keluar masuk museum, menyewa sepeda untuk berkeliling kawasan. Ada begitu banyak obyek lain yang bisa dinikmati. Jajanan di sekitar, penjual berbagai macam barang, berbagai macam jasa hinggakelompok kesenian kuda lumping. Kelompok kesenian yangmencoba bertahan mengais rejeki diantara modernisasi kota.
Kota tua Jakarta, 17 April 2010
Fathoni Arief
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H