Di bukit Menoreh memangnya ada waduk? Jangan dulu pergi dan bilang tidak percaya. Setidaknya baca dulu cerita di bawah ini.
Waktu hampir mendekati tengah malam. Suasana kos yang beberapa saat lalu masih terdengar suara televisi, langkah kaki, perbincangan orang kini menjadi senyap. Begitu juga dengan di luar rumah. Di samping kamarku yang berbatasan dengan halaman milik tetangga juga tak terdengar hirup pikuk anak-anak kampung yang bermain bola, suara musik dangdut yang distel dengan volume yang suaranya bisa didengar satu kampung.Dikelilingi senyap mataku ternyata masih enggan diajak berkolaborasi terpejam dan menelusuri alam mimpi. Masih saja ingin mengetuk-ketuk keyboard netbook tergelitik dengan komentar-komentar di facebook dan ingin berbagi cerita segar. Sambil sesekali bersenda gurau dengan sahabat-sahabat sewaktu kos di Jogjakarta dulu. Setelah mengingat-ingat ada hal apa yang bisa dibagi akhirnya dapat juga. Kali ini saya tak bercerita tentang sesuatu yang sedih-sedih justru hal lucu dan bisa juga disebut konyol. Terutama bagi saya yang mengalaminya. Hal ini terkait dengan sikap sok tahu, merasa tahu, sudah mengerti dan enggan untuk bertanya secara detail atau mungkin malu jika bertanya. Ini pengalaman lucu (setidaknya dalam pandangan saya sendiri..hehe) yang saya dan seorang teman saya (Yoga Octo Putomi). Peristiwanya sendiri terjadi sekira jelang pertengahan tahun 2007. Waktu itu ceritanya saya ada tugas membuat liputan mengenai kegiatan kelompok belajar di daerah Purworejo. Tepatnya di Desa Cacaban Kidul, perbukitan Menoreh. Kebetulan saya sebelumnya sudah membuat janji terlebih dahulu dengan seorang tokoh masyarakat yang merupakan ketua dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Kami berdua datang kesana agak pagi mengingat belum tahu lokasinya secara pasti. Bayangan kami daerahnya cukup lumayan berbukit-bukit apalagi disebut nama bukit Menoreh. Ternyata lokasinya memang cukup lumayan. Jalan yang naik turun dan ada beberapa ruas yang belum diaspal. Karena kami datang tiba lebih awal dari prediksi semula kami berkeliling wilayah tersebut. Apalagi dari janji yang kami buat ternyata masih sekitar dua jam lagi. Sambil bertanya dimana lokasi alamat yang kami tuju. Lewat info dari seorang kakek-kakek kami mendapatkan informasi yang jelas. Kami menindaklanjuti informasinya dan kami dapatkanlah alamat yang dicari. Ternyata si pemilik rumah belum ada di tempat. Sambil menunggu waktu yang masih sekian jam lagi kami memutuskan menuju lokasi yang terkait dengan kata-kata bapak tua yang kami tanya sebelumnya. Entah kenapa saat membaca sebuah plang di desa tersebut kami terngiang nama sebuah waduk dan kami beranggapan di sekitar tempat ini ada waduk. Apalagi ketika bertanya pada si bapak tua yang menyebut satu kata yang kami yakini berarti waduk. Maka berkelilinglah kami mencari waduk tersebut. Di pinggir jalan yang kami lalui nampak warga yang tengah kerja bakti membuat saluran. Melihat mereka semakin yakin bahwa di sekitar tempat ini memang ada waduk. Kami menelusuri dan terus naik dan waduk yang kami cari-cari tidak ketemu. Kami mencari jalan lain dan masih penasaran mencari-cari. Akhirnya kami turun tanpa membuahkan hasil. Di perjalanan kami membahas nama sebuah waduk dan kami baru ingat waduk itu bukan disini lokasinya. Sayapun mengingat-ingat kembali kata-kata pak tua. Dia menyebut "wadas" yang kami yakini berarti waduk. Ketika kami kembali lagi menuju alamat yang kami tuju ada sebuah batu besar di kiri yang membuat kami tertawa-tawa. Entah dari mana hingga kami berkeyakinan ada waduk di sekitar sini dan ketika seorang bapak tua menyebut "wadas" kami yang sok tahu mengenai apa arti kata wadas membuat kesimpulan di dekat sini memang ada waduk. Padahal wadas berarti batu. Seringkali sok tahu bisa merugikan. Apalagi sok tahu tersebut diawali dengan keragu-raguan akan sesuatu.
Salam
Fathoni Arief
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H