[caption caption="Presiden Jokowi sedang berdiskusi bersama para petani di Brebes. Foto: Facebook.com/jokowi"][/caption]Dengan gaya khasnya yang selalu melekat, bersahaja, apa adanya, dan tak pernah kering senyum kepada setiap orang yang dijumpainya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) tak peduli dengan cuaca panas dan terik yang menghunjam Brebes Senin (11/4/2016) siang. Kaki langkahnya cepat menuju ruang pertemuan dengan membelah cuaca panas tersebut. Ia tidak meminta pengawalnya untuk membentangkan payung. Baginya, para petani di Brebes lebih kenyang dengan teriknya panas sehingga tak ada alasan bagi para pemimpin untuk merasakan perjuangan rakyatnya setiap hari demi memakmurkan negeri dengan hasil buminya.
Sebelum menuju balai pertemuan yang telah disediakan di Kecataman Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah untuk meluncurkan Program Sinergi Aksi untuk Ekonomi Rakyat, Jokowi seperti biasa menyempatkan diri untuk berdiskusi langsung dengan para petani di pinggir sawah. Seketika itu pula, para ibu-ibu dan bapak-bapak petani berkumpul mengerumuni Sang Presiden dengan pakaian ‘safari’ taninya. Melihat momen ini, saya seketika langsung teringat dengan ibu dan bapak saya yang memang sedang bertani padi di kampung, tepatnya di Kecamatan Losari, Brebes. Terakhir dengar kabar, padi yang digarapnya sedang diserang hama.
[caption caption="Jokowi meluncurkan 'Program Sinergi Aksi untuk Ekonomi Rakyat'. Foto: Facebook.com/jokowi"]
Dari keluh kesah petani yang hanya menyampaikan persoalan hama ulat, di sinilah penulis merasa sangat miris dan prihatin. Karena persoalan besar pertanian di Brebes, bahkan mungkin di daerah-daerah lain, ada pada permainan harga yang dialukan oleh para pedagang perantara (baca: tengkulak). Persoalan yang disampaikan para petani terkait hama ke Presiden Jokowi sebetulnya merupakan respon apa adanya ketika musim tanam masih berlangsung. Di titik inilah para petani dengan wajah-wajah ikhlas tersebut tidak menyadari bahwa mereka sendiri tidak berdaya dengan permainan harga yang dilakukan oleh para tengkulak. Karena yang terjadi selama ini, hasil panen para petani hanya bisa untuk menutupi utang pupuk yang jumlahnya puluhan juta.
Bahkan kerap kali petani masih menanggung utang pupuk. Jika melihat hal ini, secara kalkulasi, praktis tidak ada yang dihasilkan oleh para petani yang peras keringat banting tulang, dan waktu yang dihabiskan dari pagi hingga sore hari di tengah sawah. Memang, terkadang jika harga bawang sedang tinggi, para petani mendapat berkah cucuran keringat dan banting tulangnya itu. Tetapi momen tersebut bisa dihitung dengan jari tiap musim panen tiba.
Perlu ditegaskan, sebagian besar petani di pedesaan hutang pupuk dengan harga yang terus meningkat, mereka seolah bertaruh dengan usahanya memeras keringat setiap hari. Karena mereka tidak berdaya dengan permainan harga panen hasil taninya sehingga kerap mengalami kerugian besar karena hasil panennya dihargai murah. Bahkan ada yang menggunakan hasil taninya untuk bibit saja dalam rangka menghadapi musim tani berikutnya. Hal ini terjadi di sebagian besar petani bawang merah di daerah Brebes dan kemungkinan besar terjadi juga daerah-daerah lain di Indonesia.
[caption caption="Presiden melihat tempat penyimpanan hasil panen bawang. Foto: Facebook.com/jokowi"]
Dari persoalan ini, kita bisa mengambil pelajaran dari Jepang. Sebagai salah satu negara maju secara teknologi dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, pemerintah Jepang sangat perhatian dengan yang namanya profesi petani. Produk-produk petani lokal diproteksi (dilindungi dari permainan harga tengkulak). Harga terkendali sehingga petani di sana sejahtera. Pemerintah sekuat tenaga memberdayakan hasil tani lokal dengan tidak mengimpor hasil tani dari luar yang hanya akan membuat produk lokal tergencet dengan harga murah barang impor itu.
Bahkan tak jarang dengan suntikan modal secara moral dari pemerintah, petani di Jepang terus melakukan inovasi, sehingga produk pertanian mempunyai kualitas tinggi. Bahkan tak jarang petani di sana bergelar Doktor (PhD). Lalu dengan ilmunya itu, dia mengembangkan pola dan produk pertanian yang berguna bagi masyarakat luas. Bukan seperti di Doktor pertanian di Indonesia yang senangnya duduk empuk di kursi kantor yang tidak ada korelasi dengan bidang akademisnya sehingga muncul plesetan Doktor, orang yang ‘mondok di kantor” bukan berlumuran tanah mengadvokasi petani di desa untuk mengembangkan kualitas hasil tani. Ironis lagi, banyak sarjana pertanian yang kontraproduktif dengan bekerja sebagai pegawai di Bank. Ini fakta yang terjadi pada para sarjana pertanian kita.
Dari persoalan krusial di atas, saya ingin menyampaikan bahwa hal inilah yang seharusnya menjadi obrolan antara petani dan Presiden Jokowi dibawah pohon rindang di pinggir sawah. Jika melihat sungguh polosnya para petani itu, semestinya ada ahli, baik dari pihak pengambil kebijakan (Bupati ataupun pejabat terkait) maupun para ahli yang mendampingi (mengadvokasi) para petani untuk menyampaikan berbagai permasalahan yang terjadi selama ini terkait dengan harga jual yang murah saat panen tiba dan persoalan-persoalan lain. Karena hanya pemerintahlah yang bisa mengendalikan sekaligus memproteksi para petani dari lilitan tangan-tangan gurita para tengkulak. Persoalan inti yang dihadapi para petani pasca panen tidak muncul, karena yang mereka tahu hanya menggarap sawah, memberi pupuk, memanen, selanjutnya menjual.
Dari momen obrolan langsung Presiden Jokowi dengan para petani tanpa advokasi ahli dan para pengambil kebijakan itu, sesungguhnya memperlihatkan bahwa para petani polos dengan wajah penuh dengan keikhlasan itu ke depan masih harus berjuang sendirian untuk menghadapi permainan harga para tengkulak. Mirisnya, hal ini tidak mereka sadari, para pengambil kebijakan seolah tidak mau mengerti atau pura-pura tidak mengerti. Lalu sampai kapan?