Mohon tunggu...
Fathoni .
Fathoni . Mohon Tunggu... lainnya -

Terus melangkah dan terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Pendidik untuk Pak Menteri

22 April 2016   08:31 Diperbarui: 22 April 2016   08:39 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pak menteri yaang terhormat, saya guru yang hari ini dag dig dug mendengar berita akan diberlakukannya  syarat  tambahan untuk  pencairan tunjangan profesi . Dan dikawatirkan akan mengurangi jumlah guru yang mendapatkan sertifikasi, di mana saya termasuk di dalamnya. Syarat Rasio jumlah siswa dengan guru 1:15 untuk yang di naungan kemenag dan 1:20 untuk yang kemendiknas akan menjadikan banyak guru gugur sarat sebagai penerima Tunjangan sertifikasi. Sebelumnya linearnya pendidikan , sertifikat pendidik dengan  mata pelajaran yang diampu sudah sangat menyulitkan guru pengais tunjangan sertifikasi. Demi  jumlah jam tatap muka perminggu 24 jam membuat guru terpontang panting mencari tambahan jam di sekolah lain, bahkan ada yang  lebih dari 3 sekolah. Semua itu menjadikan guru sangat di diskriminasikan.

Pernahkan kita tanyakan, apakah pemimpin kita itu profesional kalau di tilik dari pendidikannya dengan bidang bidang yang di pimpinnya, dari level kecamatan sampai di level presiden, dari staf sampai ke level pejabat, apakah mereka semua linear dengan pendidikannya. Kalau ada yang berkilah itu aturannya, guru adalah profesi bukan pekerjaan maka adilkah aturan itu, di bidang lain banyak yang bebas latar belakang pendidikannya, dan banyak jabatan pula tidak perlu sertifikat yang macam. Dengan hanya 10 hari PLPG sudah menyulap guru menjadi profesional, tanpa memperhitungkan yang lain.

Kalau menilik pendidikanya, pak menteri  juga level pendidikannya apa, lalu bidang bekerja pada bidang apa?  membawahi sekian ratus profesor yang  secara p level lebih tinggi dari seorang doktor, padahal pak menteri  juga  yang mengurusi juga pendidikan. Kalo masalah managemen tentunya profesor bidang managemen lebih menguasai dan profesional, kalau melihat  S2 pak anis  di bidang ekonomi, harusnya kalau mencari linearnya  menjadi Menteri Ekonomi. Terlepas dari Hak mengangkat Menteri itu adalah prerogratif Presiden. Cobalah melihat Bank Mandiri yang di Pimpin oleh seorang Insinyur, perkembangannya juga luar biasa, dan banyak manusia Indonesia yang mereka berprestasi diluar bidang pendidikannya. Sebenarnya pada bidang pendidikan  tidaklah beda, banyak guru guru yang profesional yang mereka tidak linear dengan pendidikannya,  guru guru tersebut lebih layak mendapat tunjangan profesi dibanding dengan guru yang linear antara pendidikan, sertifikat dan mapel yang di ampunya.

Pendidikan yang bagus memang tidak cuma di pengaruhi oleh satu faktor, masalah linear ini juga berimbas ke masalah kinerja yang menurun karena guru lebih sibuk untuk memenuhi perlengkapan administrasi saja. Mengajar di beberapa tempat untuk memperoleh 24 jam tatap muka. Namun buntutnya adalah administrasi sangat sulit, satu guru harus mengikuti aturan beberapa kepala sekolah, harus ini itu sehingga guru harus pontang panting mencari Jam tambahan disekolah lain. Belum lagi guru guru yang secara geografis dan demografi tidak menguntungkan, sekolah yang di daerah pengunungan atau di pulau pulau kecil yang secara kebijakan tidak termasuk daerah perbatasan atau daerah terisolir namun secara wilayah sangat sangat luas namun sekolahnya jumlah siswanya sangat kecil, guru gurunya harus rela gigit jari karena mereka tidak mungkin mencari jam tambahan sehingga harus cukup dengan gaji tanpa Tunjangan profesi.

Padahal seberapapun jumlah siswa dalam kelas, seorang guru mengajarnya juga tetap sama. Ilmu yang di sampaikan juga sama, tidak berarti ketika jumlah siswa sedikit guru menyampaikan ilmunya juga sedikit, suaranya juga di kurangi porsinya. Sangat tidak rasional ketika jumlah siswa dalam kelas di jadikan acuan untuk cair atau tidaknya tunjangan. Bersambung......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun