Mohon tunggu...
fathmatajaulia januar
fathmatajaulia januar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum, Agama, Psikologi, Hiburan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Sistem Pemerintahan Daerah di Daerah yang Memiliki Kedudukan Istimewa

20 Desember 2023   03:00 Diperbarui: 20 Desember 2023   03:26 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makna Daerah yang Bersifat Istimewa

Pada awalnya, saat UUD 1945 pertama kali disusun, terdapat ketiadaan penjelasan resmi yang menyertainya. Namun, kemudian, Soepomo memainkan peran kunci dalam mengembangkan sebuah penjelasan menyeluruh yang mencakup seluruh pasal-pasal di dalamnya. Ia melakukan ini dengan merumuskan sebuah uraian umum serta menjelaskan secara terperinci setiap pasal UUD 1945. Langkah ini diambil setelah berbagai diskusi dan perdebatan yang digelar dalam rapat-rapat BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 15 Juli 1945. Melalui upaya ini, UUD tersebut diberikan kerangka penjelasan yang memperjelas serta merumuskan kembali maksud dan tujuan dari setiap pasal yang menjadi landasan konstitusi bagi Indonesia.

Dalam telaah mengenai Pasal 18, ternyata makna pasal tersebut tidak dijelaskan secara tepat dalam penjelasan resmi yang diumumkan dalam Berita Republik Indonesia. Penjelasan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

"Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi, dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom (street dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka..."

Adanya perintah kepada pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang tentang desentralisasi teritorial harus "memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara", menurut ketentuan Pasal 18 UUD 1945 adalah bahwa dasar permusyawaratan juga diadakan pada tingkat daerah.

Maka dalam hal ini memiliki maksud ketika diperintahkan kepada pembuat undang-undang untuk menyusun undang-undang mengenai desentralisasi teritorial, mereka harus mempertimbangkan prinsip dasar musyawarah dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 UUD 1945. Ini mengindikasikan bahwa prinsip musyawarah juga harus diterapkan pada tingkat daerah.

Jika kita merujuk pada sejarah pembentukan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa Muh. Yamin adalah salah satu dari mereka yang pertama kali membicarakan isu pemerintahan daerah pada Sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945. Di antara komentarnya, Muh. Yamin menyampaikan hal berikut:

"Negeri, Desa, dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan sebagai bagian bawah Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Pemerintahan Urusan Dalam, Pangeran Praja".

Pada saat tersebut, Muh. Yamin juga menyertakan sebuah rancangan awal untuk pembentukan Undang-Undang Dasar yang mencakup aspek pemerintahan daerah dengan teks sebagai berikut:

"Pembagian daerah Indonesia atas daerah yang besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa."

Ini mengisyaratkan bahwa Muh. Yamin tidak hanya membahas masalah pemerintahan daerah tetapi juga menyampaikan sebuah rancangan awal mengenai Undang-Undang Dasar yang menyoroti isu-isu terkait pemerintahan daerah.


A. Perundingan Membangun Dasar Negara: Pembicaraan dalam Rapat-rapat BPUPKI

Dalam diskusi yang berlangsung di rapat-rapat BPUPKI, tidak ada penjelasan yang menguraikan secara tegas arti dari "hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa". Dalam berbagai dokumen seperti IS atau RR, tidak ada penggunaan istilah "istimewa" atau "khusus" yang merujuk pada karakteristik tertentu dari suatu wilayah pemerintahan. Begitu juga dalam beberapa buku yang membahas struktur pemerintahan Hindia Belanda, tidak ada penggunaan istilah serupa seperti "istimewa". Sebagai contoh, Klentjes, dalam menjelaskan berbagai jenis pemerintahan tingkat daerah (legere, territoriale rechtsgemeenschappen), hanya menyebutkan province, autonomie regentschappen, standsgemeenten, plaatselijke resorten, inlandsche gemeenten, yang memiliki hak hukum, waterschappen, dan landschappen.

Penjelasan pada Pasal 18 UUD 1945 mengklarifikasi bahwa "hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa" mengacu pada wilayah-wilayah yang memiliki struktur asli, yakni zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen. Kedua bentuk pemerintahan ini, meskipun tunduk pada berbagai tingkat pemerintahan Hindia Belanda, sejatinya adalah bentuk pemerintahan asli Indonesia. Penting untuk dicatat bahwa landschap dan volksgemeenschap bukanlah hasil dari pembentukan atau peraturan perundang-undangan pemerintahan Hindia Belanda; sebaliknya, keduanya adalah pemerintahan yang dihasilkan dan dijalankan oleh "bumi putera" atau masyarakat pribumi Indonesia sendiri.

Dalam perencanaan awal "Peraturan tentang Pemerintahan Sementara dari Indonesia" yang disusun oleh Soepomo-Soebardjo-Maramis, istilah yang digunakan pertama kali adalah "daerah-daerah yang istimewa yang memiliki otonomi sendiri di Indonesia." Di sini, yang dimaksudkan adalah zelfbesturende landschappen. Namun, dalam rancangan UUD yang diajukan oleh Yamin dan Panitia Kecil Soepomo, muncul istilah "daerah-daerah yang bersifat istimewa". Istilah ini mengacu pada kerajaan-kerajaan, kooti-kooti, sultanat-sultanat, dan juga zelfbesturende landschappen dalam perbincangan yang terjadi.

Namun, setelah rancangan UUD tersebut disahkan oleh PPKI dan dijelaskan secara resmi dalam Berita Republik Indonesia, terdapat perubahan makna dalam Penjelasan Pasal 18. Penjelasan ini menyatakan bahwa volksgemeenschappen seperti desa, negeri, dusun, atau marga juga dapat dianggap sebagai daerah dengan karakter istimewa. The Liang Gie menunjukkan bahwa penjelasan tersebut mengembangkan ruang lingkup Pasal 18 UUD 1945. Namun demikian, meski penjelasan resmi menyatakan hal tersebut, dalam praktik sejarah, desentralisasi pemerintahan di Republik Indonesia tidak pernah menganggap desa-desa dan volsgemeenschappen kecil sebagai daerah dengan status istimewa. Pengertian daerah istimewa lebih condong terhadap zelfbesturende landschappen.


B. Hak dan Wewenang Daerah Istimewa.

Dalam penjelasannya di alinea terakhir pada Pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa negara menghormati posisi daerah-daerah istimewa dan semua aturan yang berlaku terkait daerah tersebut harus memperhatikan hak-hak asal-usul daerah tersebut. Ini mengindikasikan bahwa 'memandang dan mengingati' sebenarnya bermakna 'menghormati', artinya aturan atau perundang-undangan yang berkaitan dengan daerah istimewa harus mempertimbangkan hak-hak asal-usul daerah tersebut dan tidak mengabaikannya.

UUD 1945 mengakui kenyataan historis bahwa daerah-daerah istimewa telah memiliki hak dan kewenangan dalam urusan pemerintahan. Hak-hak ini berasal dari pemberian pemerintah serta hak yang sudah ada sejak sebelum daerah tersebut masuk ke dalam Negara Republik Indonesia. Ini menunjukkan variasi dalam bentuk dan hak asal-usul daerah.

Secara garis besar maka perwujudan dan hak asal-usul daerah istimewa dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yakni:

  • hak asal-usul yang menyangkut struktur kelembagaan yang tersirat dari kata-kata "susunan asli";
  • hak asal-usul yang menyangkut ketentuan dan prosedur tentang pengangkatan dan pemberhentian pemimpin.
  • hak asal-usul yang menyangkut penyelenggaraan urusan- urusan pemerintahan terutama yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan pembebanan terhadap masyarakat.

Menurut The Liang Gie, apabila riwayat terjadinya Pasal 18 UUD 1954 diteliti, ternyata bahwa makna pasal itu tidak diuraikan dengan tepat dalam penjelasan resmi sebagaimana diumumkan dalam Berita Republik Indonesia Penjelasan resmi itu memberikan keterangan keterangan tambahan yang tidak cocok, yaitu dalam tiga hal. Ketiga hal tersebut, yaitu:

  • bahwa Indonesia akan dibagi dalam provinsi;
  • bahwa daerah-daerah itu adalah daerah otonomi atau daerah administrasi (administratief ressort);
  • bahwa volksgemeenschappen seperti desa, negeri, marga dan sebagainya adalah daerah-daerah yang bersifat istimewa.

C. Konsep Pemerintah Daerah

Galeri-Fathma Taj
Galeri-Fathma Taj

Pada Sidang BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 29 Mei 1945, Muh. Yamin mengutarakan ide-idenya yang mencangkup konsep-konsep yang terkait tata kelola pemerintahan daerah dan menggambarkan gagasan-gagasan yang membicarakan secara rinci, berikut konsepnya.

"Negeri, Desa, dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan susunan negara sebagai bagian bawah.”

"Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai pemerintahan daerah untuk menjalankan Pemerintahan Urusan dalam, Pangreh Praja."

Kemudian Soepomo memberikan keterangannya pada sidang BPUPKI tanggal 15 juli 1945, keterangan ang disampaikan sebagai berikut.

“Kecuali dari itu panitia mengingatkan kepada daerah daerah kecil yang mempunyai susunan asli, yaitu Volksgemeinshaften barang kali perkataan ini salah tetapi yang dimaksud ialah daerah kecil-kecil yang mempunyai susunan rakyat seperti misalnya di Jawa Desa, di Minangkabau Nagari, di Tapanuli Huta di Aceh Kampong, semua daerah kecil mempunyai susunan rakyat, daerah istimewa tadi, jadinya daerah kerajaan (zelfbesturende landschappen), hendaknya dihormati dan diperhatikan susunannya yang asli".

Dari informasi tersebut, bisa disimpulkan bahwa menurut Soepomo, daerah kecil merujuk pada desa (sesuai dengan pendapat Yamin) dan bentuk-bentuk pemerintahan setara dengan desa seperti zelfbesturende landschappen, yang dianggap sebagai daerah-daerah istimewa. Meski begitu, baik Yamin maupun Soepomo menyadari bahwa pemerintahan daerah tidak hanya terbatas pada desa dan zelfbesturende landschappen. Selain itu, ada model pemerintahan Barat seperti provinsi dan gemeente yang terstruktur dalam tiga tingkatan: tingkat atas (provinsi), tengah (gemeente, regentschap), dan bawah (desa dan bentuk pemerintahan serupa desa).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun