Mohon tunggu...
Fathiya Tsabita Azima
Fathiya Tsabita Azima Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Indonesia

Halo! Nama saya Fathiya Tsabita Azima, mahasiswa tahun ketiga dari Universitas Indonesia. Menulis salah satu kegemaran yang masih saya tekuni dari Sekolah Menengah Pertama hingga saat ini. Saya menyukai pembahasan tentang topik-topik yang ringan, seperti film, musik, dan kuliner. Selain itu, saya juga senang membaca artikel-artikel terkait sejarah dan karya fiksi. Terima kasih telah berkunjung!

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Mengapa Popularitas J-Drama Tidak Sebesar Dahulu?

9 Juni 2024   22:05 Diperbarui: 10 Juni 2024   12:08 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah kalian pernah menonton serial Korea “Boys Over Flower”? Atau K-Drama berjudul “Playful Kiss” yang pernah tayang di saluran TV lokal? Ternyata keduanya merupakan adaptasi dari drama Jepang yang berjudul “Hana Yori Dango” dan “Itazurana Kiss”, lho

Beberapa tahun terakhir, drama Jepang perlahan mulai meraih popularitasnya kembali. Drama Jepang mulai dikenal secara global sejak tahun 1980-an hingga awal tahun 2000-an, bahkan beberapa dramanya kerap diadaptasi oleh berbagai negara seperti Korea Selatan, Taiwan, sampai Indonesia. 

Pada tahun 1980-an, drama Jepang “Oshin” menyita perhatian para penikmat drama di lebih dari 40 negara, termasuk Indonesia yang saat itu menayangkannya di saluran Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada tahun 80-an. Tidak hanya itu, saking populernya drama dengan tema keluarga ini memberi obsesi global di berbagai negara hingga dampaknya disebut sebagai  “Oshindrome” atau Sindrom Oshin. 

Beralih ke tahun 2000-an, Jepang masih setia menjadi kiblat serial televisi di Asia dengan drama-drama romansa populernya, salah satunya adalah film bertajuk “Hana Yori Dango” yang tayang pada tahun 1995 dan diadaptasi oleh Jepang sendiri pada tahun 2005. “Hana Yori Dango” diadaptasi dari manga dengan judul sama pada tahun 1996, manga ini merupakan pelopor serial booming Taiwan “Meteor Garden” yang tayang di tahun 2001. 

Saking hits-nya serial televisi tersebut, “Meteor Garden” juga menimbulkan obsesi global yang disebut “F4 Fever” atau Demam F4. Adaptasinya telah dilakukan sebanyak sepuluh kali dengan lima empat negara selain Jepang, adaptasi Korea Selatan berjudul “Boys Over Flower” dan dari Indonesia dengan judul “Siapa Takut Jatuh Cinta”. 

Bisa dikatakan bahwa Jepang sudah lama menjadi kiblat serial televisi di Asia dengan karya-karya populernya yang menjadi pemantik drama-drama fenomenal lainnya. Sayangnya, saat ini drama Jepang tidak meraih popularitas yang sama dengan drama-dramanya dulu karena terdampak oleh digitalisasi.

Sulitnya akses untuk menikmati drama-drama Jepang menjadi penyebabnya, baik drama populernya maupun drama terbarunya seringkali jarang tersedia di platform streaming global atau jika tersedia, biasanya tidak dilengkapi dengan subtitle yang memadai. Jadi, popularitas drama Jepang hanya mencakup audiens dalam negeri saja. 

Drama Jepang mengalami stagnansi karena Jepang masih sedikit mengoptimalkan bantuan media digital dalam menyiarkan dramanya. Hal terbut karena adanya batas-batas yang menghambat Jepang untuk bekerja sama dengan platform digital. Kebijakan politik dunia hiburan Jepang berbeda dengan Barat, produksi penyiaran di Jepang cenderung ditangani oleh pihak yang sama. Jadi, jalinan kerja sama antar rumah produksi dan stasiun TV jarang terjadi. Selain itu, untuk mendapatkan drama yang menjual, agensi memilih aktris hanya berdasarkan tampilan luar dan popularitas aktris tersebut. Belum lagi di dalam drama yang sama, pemilihan aktor dan aktris kebanyakan dari agensi yang sama. 

Selain itu, preferensi penonton juga mengalami perubahan setelah memasuki era digitalisasi. Pada masa ini, digitalisasi telah membuka gerbang kesadaran sosial untuk menyuarakan isu-isu kemanusiaan, termasuk kesetaraan gender. Oleh karena itu, isu-isu mengenai kesetaraan gender mulai disadari oleh para perempuan, yang merupakan pemegang kunci kesuksesan drama karena kebanyakan drama dinikmati oleh perempuan. Di sisi lain, Jepang merupakan negara dengan masyarakat yang patriarki, hal itu tercermin dalam penggambaran karakter perempuan di dramanya yang selalu digambarkan lebih rendah daripada laki-laki. Sebagai contoh, dalam drama “Itazurana Kiss” karakter utama wanita, Kotoko, digambarkan sebagai gadis yang bodoh, ceroboh, dan miskin. Sementara, tokoh utama laki-laki, Irie, digambarkan sebagai sosok yan pintar, kaya, dan tampan. Akibatnya, banyak penonton meninggalkan drama Jepang karena mereka lebih memilih drama yang menggambarkan sosok laki-laki yang mencintai karakter utama perempuan tanpa syarat. Perempuan cenderung mencari drama yang menawarkan pelarian dari realitas dan menemukan penghiburan dalam karakter laki-laki yang ideal. Jika dulu sosok laki-laki tsundere menjadi idaman, pada masa ini sosok laki-laki yang bucin lebih disukai penonton. 

Terakhir, alasan utama mengapa J-Drama tidak sepopuler dulu adalah karena persaingan ketat dari negara tetangga, yaitu Korea Selatan. Produksi berkualitas tinggi, alur cerita yang menarik, dan promosi agresif telah membuat K-Drama menarik perhatian penonton internasional. Platform streaming seperti Netflix dan Viu juga menampilkan lebih banyak K-Drama daripada J-Drama, membuatnya lebih mudah diakses oleh penonton di seluruh dunia. Selain itu, Korea Selatan mampu beradaptasi dengan preferensi penonton dengan menghadirkan sosok pemeran utama laki-laki yang tampan, baik hati, dan perhatian. The Washington Post pada tahun 2006 memuji fenomena Hallyu sebagai hasil dari pemasaran yang cerdas, didukung oleh pria muda yang tampan dan berotot, serta alur cerita solid tentang cinta tanpa syarat.

Memasuki era digitalisasi mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia dan membuat manusia harus selalu cepat beradaptasi dengan hal-hal baru. Industri hiburan salah satu yang terdampak dengan terjadinya digitalisasi. Dengan adanya platform streaming memang mempermudah akses global, tetapi justru membuat drama Jepang mengalami penurunan popularitas. Hal tersebut bukan karena kualitas dramanya yang buruk, melainkan Jepang yang belum bisa menyesuaikan diri dengan perubahan dan memanfaatkan peluang media digital dalam merebut kembali popularitas J-Drama di kancah internasional. Untuk itu, sebaiknya Jepang mulai membuka diri untuk perubahan dengan memanfaatkan peluang media digital dalam memproduksi drama-dramanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun