Mohon tunggu...
Fathiyah Sabila
Fathiyah Sabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Indonesia

Terbuka untuk diskusi atau berbagi wawasan terkait isu-isu terkini

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dibalik Hubungan Bisnis Australia dengan Narasi Genosida Palestina

13 Desember 2024   10:36 Diperbarui: 13 Desember 2024   10:36 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Genosida Palestina oleh zionis Israel menjadi perhatian dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah menggolongkan tindakan Israel ke dalam kategori genosida karena mereka konsisten melakukan serangan ke masyarakat sipil yang tak bersenjata, perempuan, lansia, dan anak-anak. Seluruh mata dunia tertuju pada kasus genosida ini, tak terkecuali Australia. 

Australia kini menjadi negara heterogen dengan berbagai ras, suku, etnis bergabung dalam satu negara. Jika dijabarkan lebih lanjut, Australia pertama adalah Australia dengan penduduk asli Aborigin sementara Australia kedua adalah kedatangan bangsa Eropa sehingga mayoritas penduduknya berkulit putih. Tetapi, kini Australia sedang menghadapi perubahan menuju Australia generasi ketiga. Australia generasi ketiga ditandai dengan meningkatnya heterogenitas di masyarakat karena banyak kedatangan imigran untuk mencari suaka atau penghidupan baru di Australia. Kini, masyarakat Australia lebih inklusif terhadap keragaman ras, etnis, suku, dan agama. Seharusnya hal ini diiringi dengan kesadaran kemanusiaan terhadap isu genosida Palestina. Tetapi, industri media Australia seperti memberikan narasi yang berbeda terhadap kasus genosida ini. Sejak 7 Oktober 2023, antisemitisme di Australia meningkat 738% dan islamophobia justru meningkat 1300% (Carland, 2024).

Tidak dapat dipungkiri, terdapat permainan industri media atas kasus genosida Palestina. Media di Australia bergantung pada media arus utama yakni News Corp atau Fairfax Media. Media besar Australia juga bergantung pada media internasional seperti Reuters dan AP. Konglomerat media terlalu bergantung pada pemberitaan internasional sehingga pada kenyataannya mereka tidak memahami bagaimana dinamika kasus genosida Palestina. Noor Haydar selaku senior produser di Guardian Australia pada kesempatan kuliah umumnya di University of Melbourne pada 2 Desember 2024 lalu menyebut bahwa jurnalis media nasional Australia hanya menulis "silver side" dari genosida Palestina (University of Melbourne, 2024). Sebagai seorang keturunan Lebanon, Noor merasakan sendiri apa yang Israel lakukan pada keluarga besarnya. Neneknya menjadi salah satu yang terbunuh oleh tentara IDF yang menyerang keluarga besarnya tanpa alasan. Menurutnya, sudut pandang media pada genosida Palestina mirip seperti cara mereka menarasikan peristiwa 9/11 pada 2001 silam; tidak melihat di dua sisi (Universit of Melbourne, 2024). Pemberitaan media australia umumnya menggambarkan genosida Palestina tanpa menggali penyebab penyerangan dan tidak menyorot terkait pelanggaran hak asasi manusia. Liputan juga jarang mempublikasikan kejahatan Israel dan terus menerus memberitakan terkait penyerangan Hamas pada Israel (Tanuki, 2024). Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan karena masyarakat seharusnya menerima sudut pandang dari seorang Palestina.

Salah satu contoh kasus media Australia membingkai pemberitaan genosida Palestina adalah ketidakseimbangan pemilihan diksi pada tiap pemberitaan. Ketika penyerangan tanpa henti dimulai pada 7 Oktober 2023 lalu, banyak media Australia contohnya seperti The Australian menggunakan diksi "teror", "pembantaian", dan "mengerikan" pada serangan yang dilakukan oleh Hamas sementara pada serangan yang dilakukan Israel justru menggunakan diksi "bom jatuh" tanpa menyebut pelaku. Media Australia juga membingkai serangan 7 Oktober 2023 bahwa serangan Hamas adalah pembantaian pada IDF. Ketika ICJ juga mengeluarkan keputusan bahwa Israel harus melindungi warga Palestina, tidak ada media Australia yang memberitakan hal tersebut. Bahkan, media arus utama justru mengurangi jumlah demonstran aksi solidaritas Palestina di Australia atau lebih parahnya lagi menangkal bahwa aksi tersebut tidak pernah ada. 

Selain karena ketergantungan media lokal Australia pada media internasional, narasi pemberitaan terkait genosida palestina juga dipengaruhi oleh kelompok zionis Israel. Australian-Israeli & Jewish Affairs Council (AIJAC) menjadi kelompok yang diduga membantu framing media lokal Australia. AIJAC sendiri didirikan sebagai komunitas yahudi Australia yang pro-Israel, mereka berusaha untuk memerangi bias anti zionis Israel di publik. Pengaruhnya dilakukan dalam berbagai hal, yakni pro-Israel bias atau kontrol narasi. AIJAC diduga mempengaruhi media lokal Australia demi membentuk opini publik (Jones, 2024). AIJAC menggunakan lobi dan jaringan politiknya untuk mempengaruhi pemberitaan pada kasus genosida Palestina yang menunjukkan bahwa Israel adalah pihak defensif atau korban. Intervensi AIJAC pada pebisnis media mengurangi kemungkinan diskusi di masyarakat terkait pelanggaran HAM yang dilakukan Israel kepada Palestina. Hal ini menunjukkan bahwa pemberitaan media ternyata hanyalah berupa hubungan bisnis demi kepentingan politis.

Oleh karena itu, media independen menjadi alternatif bagi masyarakat Australia dalam memahami isu genosida Palestina. Berbeda dengan media arus utama, media independen justru lebih komprehensif dalam meliput isu genosida Palestina. Contohnya seperti Green Left Weekly, portal berita berbasis komunitas tersebut menyediakan sudut pandang rakyat Palestina dan berusaha untuk memperjuangkan mereka. Media ini memberikan ruang bagi laporan investigatif, opini dari aktivis hak asasi manusia, dan konteks historis yang sering kali diabaikan oleh media arus utama. Selain itu, media independen juga memanfaatkan platform digital dan media sosial untuk memperluas jangkauan informasi mereka, menghadirkan suara-suara dari korban konflik secara langsung, serta memaparkan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di wilayah Palestina.

Sebagai kesimpulan, kepentingan ekonomi dan politik memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk narasi yang dominan di media arus utama. Media di Australia, yang sering kali dimiliki atau dikendalikan oleh kelompok dengan hubungan erat terhadap kepentingan pro-Israel, cenderung mempublikasikan pemberitaan yang bias. Sebagai kritik, media independen kemudian muncul sebagai alternatif, menawarkan pandangan yang lebih berimbang dan kritis terhadap isu genosida Palestina. Persepsi publik dapat terpengaruh dengan kehadiran dua media ini dan dapat mengembangakn diskusi kritis serta gerakan solidaritas pada Palestina. 

Referensi

Carland, S. (2024, February 1). Australian media's Instagram posts on Gaza war have an anti-Palestine bias. That has real-world consequences. The Conversation. Retrieved December 13, 2024, from https://theconversation.com/australian-medias-instagram-posts-on-gaza-war-have-an-anti-palestine-bias-that-has-real-world-consequences-221609

Jones, E. (2024, Mei 20). The AIJAC Propaganda Machine. John Menadue. https://johnmenadue.com/the-aijac-propaganda-machine/

Tanuki, T. (2024, Februari 24). Australian Media's Greatest Crime Agains Gaza is Ignoring it. Independent Australia. https://independentaustralia.net/business/business-display/australian-medias-greatest-crime-against-gaza-is-ignoring-it,18360

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun