Mohon tunggu...
Fathiyah Nur Shofa Rohmah
Fathiyah Nur Shofa Rohmah Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa di Universitas Islam Negeri Imam Bonjol padang Prodi psikologi islam

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Peran Keluarga sebagai Faktor Utama dalam Kesehatan Mental Seorang Anak

13 Juni 2023   18:45 Diperbarui: 13 Juni 2023   18:54 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10 -- 17 tahun di Indonesia, menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.

Diseminasi hasil penelitian ini dilakukan Kamis (20/10) di Hotel Grand Melia Jakarta Selatan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7%, diikuti oleh gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%

Kesehatan mental anak merupakan hal yang paling penting untuk lebih diperhatikan dalam pembentukan masa depan mereka. Banyak faktor yang dapat memengaruhi kesehatan mental anak, dan salah satu faktor yang paling signifikan adalah keluarga. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan mengapa keluarga menjadi bagian terbesar bagi kesehatan mental seorang anak, serta menggambarkan peran penting yang dimainkan oleh keluarga dalam pembentukan dan pemeliharaan kesehatan mental anak.

Ada seorang psikolog yang bernama Ismiyati Yuliatun, S. Psi, Psi mendapatkan satu cerita dari seorang pasiennya yang bercerita  "Saya benci dengan ibu saya Bu.. saya tidak suka dengan keluarga saya....semuanya pembohong, tidak bisa dipercaya.  Sampai sekarang mereka hanya bisa menekan saya. Saya jadi berpikir, buat apa saya hidup". Anak itu mengungkapkan isi hati yang dia rasakan, Ia mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari keluarganya sejak ia kecil. Ternyata masih banyak anak yang di luar sana yang tidak beruntung dalam masa kembang mereka.

Dari yang kita baca di atas bisa disimpulkan bahwasanya seorang anak itu sangat membutuhkan yang namanya peran dari seorang keluarga, Di mana anak itu bisa membentuk Identitas. Identitas adalah cara anak melihat dan memahami dirinya sendiri sebagai individu. Keluarga menyediakan lingkungan yang penuh dengan pengaruh nilai yang dapat membantu anak untuk mengembangkan persepsi positif tentang dirinya. Ketika ia merasa dirinya diterima dan dicintai oleh keluarga, ia cenderung memiliki keyakinan yang kuat dalam kemampuan dan nilai-nilai dirinya sendiri.

Begitu pun sebaliknya di mana anak kurang mendapatkan dukungan dalam keluarga yang dapat menyebabkan anak merasa tidak dihargai atau diragukan kemampuannya, karena hal ini yang membuat dampak negatif pada kesehatan mental anak, seperti rendahnya harga diri, kecemasan, atau bahkan depresi.

Anak mempunyai evaluasi diri pada masa awal biasanya positif tapi tidak realistis dan menyajikan sifat-sifat pribadi yang sangat tinggi. Seorang anak mungkin akan berkata paham padahal mereka gapaham, atau mungkin anak berkata tidak pernah takut padahal sebenarnya mereka sangat takut.

Banyaknya contoh yang terjadi pada zaman sekarang di mana anak tidak bisa mengungkapkan apa yang dia rasakan dan lebih memilih untuk memendamnya sendiri. Ada beberapa alasan mengapa seorang anak mungkin lebih memilih untuk menyimpan apa yang dirasakannya daripada menceritakannya kepada orang tuanya:

1. Ketakutan akan reaksi negatif: Anak mungkin takut bahwa orang tua mereka akan merespons dengan kemarahan, kekecewaan, atau kritik jika mereka mengungkapkan apa yang dirasakannya. Mereka mungkin merasa bahwa akan lebih aman untuk menyimpan perasaan tersebut daripada menghadapi konsekuensi negatif.

2. Kurangnya pemahaman dan empati: Anak mungkin merasa bahwa orang tua mereka tidak akan benar-benar memahami atau empati dengan apa yang mereka rasakan. Jika sebelumnya mereka telah mengalami ke tidak pahaman atau ke tidak pedulian dari orang tua, mereka mungkin memilih untuk tidak berbagi lagi.

3. Kurangnya waktu dan perhatian: Jika orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaan, tuntutan sehari-hari, atau urusan pribadi mereka sendiri, anak mungkin merasa bahwa mereka tidak akan mendapatkan perhatian yang cukup jika mereka mengungkapkan apa yang dirasakan. Ini dapat membuat mereka lebih memilih untuk menyimpan perasaan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun