Di era high tech saat ini, masyarakat sudah tidak canggung lagi untuk bersentuhan langsung dengan teknologi terkini, mulai dari smartphone, digital camera, music player, hingga server pribadi yang memungkinkan untuk bekerja tanpa harus bertatap muka. Kondisi ini pun coba diadopsi oleh birokrasi kita dengan electronic government (e-gov) sebagai bagian dari upaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat luas. Akan tetapi sungguh sangat disayangkan, lagi-lagi hanya tampilan luar dan casing belaka yang berhasil diadopsi oleh sebagian besar pemerintahan kita saat ini. Data dari Kemendagri menunjukkan hingga September 2013, sebanyak 304 kepala daerah sejak 2005 tersangkut kasus korupsi. Sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan, di saat kecanggihan teknologi hadir untuk membangun trust kepada masyarakat, namun yang terjadi adalah, pesan-pesan rahasia beserta kode yang tertulis jelas di layar blackberry messenger telah menjadi sarana untuk memuluskan transaksi korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, inikah gambaran birokrasi kita saat ini? Birokrasi dengan tampilan manusia modern yang super canggih, namun ternyata minim akhlaq, dengan attitude yang sungguh jauh dari kata terpuji.
“the time for action is now. It’s never too late to do something”. Nampaknya hal inilah yang perlu dilakukan sekarang, ungkapan bijak yang disampaikan oleh Antoine de Saint-Exupery, untuk memotivasi dalam melakukan perubahan dan perbaikan. Setidaknya ada dua hal yang patut menjadi perhatian untuk mewujudkan birokrasi yang lebih baik, yaitu di saat ada perubahan mind set sekaligus perubahan culture set dari para birokrat.
Pasca 1998, kata ampuh yang sering diucapkan adalah reformasi. Sebuah kata ajaib yang telah menyihir masyarakat Indonesia akan sebuah niat dan itikad baik untuk menciptakan kondisi bangsa Indonesia yang lebih baik di masa depan. Hingga kini, reformasi nampaknya masih jauh dari harapan. Reformasi belum mampu menjawab permasalahan sekaligus tantangan dari problematika bangsa yang sudah terlalu kompleks. Reformasi seolah berjalan dalam fase yang sangat lambat, cenderung terengah-engah, dan di saat yang sama terus ditambah dengan semakin banyaknya perilaku korupsi yang makin menjadi-jadi. Sebut saja perilaku AM, seorang penjaga benteng konstitusi terakhir bangsa ini yang sekarang harus mendekam di balik rutan KPK. Sungguh, reformasi sudah saatnya bertransformasi menjadi revolusi. Revolusi dalam artian positif, revolusi mind set dari birokrasi Indonesia. Pola pikir birokrat bangsa Indonesia ini harus direset pada defaultnya, yakni birokrat yang jujur, melayani, dan mengabdi untuk masyarakat, bangsa, dan negara. Perlu disadari, bahwa menjadi birokrat yang berintegritas akan mampu bernilai ibadah jika dilandasi dengan niat yang tulus untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Sudah waktunya untuk mengubah paradigma lama birokrasi yang cenderung mempersulit daripada mempermudah. Masyarakat sudah sepatutnya mendapatkan pelayanan paripurna, tentunya dengan dibarengi pula oleh rasa saling menghormati dan menghargai di antara sesama. Nilai-nilai kesopanan dan etika dalam pergaulan pun harus tetap dijaga, demi mewujudkan hubungan antar manusia yang lebih beradab dan sesuai dengan adat ketimuran yang kita junjung bersama. Revolusi mind set ini tidak bisa menunggu lama, revolusi ini harus dilaksanakan sekarang juga, seperti halnya Bung Karno dan Bung Hatta, yang memproklamirkan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia harus dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Hal inilah yang perlu dilakukan dalam revolusi mind set, bahwa lebih cepat lebih baik, demi mewujudkan bangsa Indonesia gemilang.
Tidak cukup hanya dengan revolusi mind set, birokrasi pun harus segera melakukan revolusi culture set. Sebuah langkah terobosan untuk menghilangkan sekat dan batasan antara para penguasa dan rakyatnya. Tidak ada lagi perbedaan kasta antara birokrat dan masyarakat yang dilayaninya. Sudah saatnya mengubah budaya hidup dan budaya kerja yang tidak lagi sesuai dengan tujuan didirikannya bangsa ini, yang salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa ini adalah bangsa yang cerdas, bangsa yang beradab, bangsa yang paham bahwa sejatinya semua manusia adalah sama, yang membedakan hanyalah tugas dan fungsinya di atas muka bumi ini, yakni bagaimana setiap diri kita mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia yang lain. Saat ini adalah momentum yang tepat untuk membuang jauh-jauh segala perilaku menyimpang yang dialami bangsa ini; perilaku korup, kesewenang-wenangan, Asal Bapak Senang (ABS), dan perilaku-perilaku lain yang sesungguhnya telah mencoreng nama bangsa ini, tidak hanya di dalam negeri, namun juga di kancah pergaulan internasional. Bahkan berdasarkan data tahun 2012, Indonesia bertengger di posisi 56 negara terkorup versi Transparansi Internasional. Oleh karena itu, sudah saatnya bangsa ini terbangun dari mimpi dan tidurnya yang panjang, untuk kemudian direalisasikan menjadi sebuah kenyataan atas pencapaian kesuksesan, keadilan, dan kesejahteraan yang sangat didambakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Akhirnya, melalui revolusi mind set dan culture set yang dilakukan secara kolektif, birokrasi Indonesia akan mampu lahir menjadi birokrasi futuristis sebagaimana yang diungkapkan oleh Cass R Sunstein dalam bukunya yang berjudul “Simpler, The Future of Government”, sebuah karya teranyar tahun 2013 dari seorang staf ahli di Pemerintahan Obama. Dia memaparkan secara gamblang, bahwa pemerintahan saat ini harus menjadi lebih baik, caranya adalah dengan memberikan kemudahan bagi setiap warga masyarakat untuk mendapatkan pelayanan, dan membuang jauh segala kerumitan dan kesulitan yang kerap masih terjadi. Inilah paradigma pemerintahan saat ini: “... it is about how governments can be much better, and do much better, if they make people’s live easier and get rid of unnecessary complexity.”
Revolusi Birokrasi, semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H