Pasca Perang Dunia Pertama dan Kedua Konflik Palestina kontemporer dimulai sejak akhir masa perang dunia pertama. Kekalahan Khilafah Utsmani dalam Perang Dunia Pertama mengakibatkan wilayah Islam dibagi-bagi menjadi banyak negara. Hasil dari perjanjian di bawah Liga Bangsa-Bangsa (LBB) adalah menyepakati pembagian wilayah Turki menjadi Dunia Arab (yang kemudian menjadi cikal bakal negara-negara Arab) dan Republik Turki yang sekarang. Perancis diberi jatah Suriah dan Lebanon, sedangkan Inggris mendapatkan wilayah Mesopotamia serta Palestina. Palestina sendiri kemudian dibagi lagi menjadi Palestina (yang sekarang merupakan gabungan wilayah Palestina dan Israel) dengan Transjordan (yang perbatasannya juga sedikit berbeda dengan Yordania sekarang. Aktivitas lobi yang dilakukan oleh Yahudi (lebih khusus lagi gerakan Zionis) sudah dilakukan sejak lama. Momentum yang tercatat di antaranya adalah Deklarasi Balfour pada 1917 yang menyatakan bahwa Inggris akan menyediakan Palestina sebagai rumah kaum Yahudi. Kemudian Palestine Mandate 1922 yang disetujui oleh LBB yang pada pembukaannya secara jelas mengulangi apa yang sudah dideklarasikan oleh Balfour. Kemudian peritiwa holocaust pada perang dunia kedua semakin memantapkan rencana tersebut. Puncaknya adalah pada 14 Mei 1948 yang menyatakan merdeka dari Inggris dan berdiri sendiri sebagai sebuah negara. Oleh umat Islam 15 Mei (satu hari deklarasi) setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Nakbah, atau hari malapetaka. Pendirian Negara Israel Sejak tanggal 14 Mei 1948 inilah umat Muslim di wilayah Palestina semakin menderita. Eksodus kaum Yahudi dari seluruh dunia terjadi secara besar-besaran. Kalau hanya sekedar eksodus dan kemudian menempati tanah Palestina, barangkali tidak akan menimbulkan masalah besar. Tetapi gerakan Zionis bukan sekedar mengumpulkan Yahudi dari seluruh dunia, tetapi juga termasuk mengusir semua orang selain Yahudi dari tanah Palestina. Terjadilah pengusiran di mana-mana. Hingga tahun 2008 tercatat pengungsi sebanyak 4,62 juta jiwa yang tersebar di berbagai kamp pengungsian di Jalur Gaza, Tepi Barat, Yordania, Lebanon, dan Suriah.
Gambar di atas menunjukkan proses pengusiran dan pendudukan yang terjadi sejak tahun 1946 hingga 2000. Hanya sekitar 10% saja dari wilayah Palestina yang masih tersisa. Wilayah lainnya sudah diokupasi sedemikan rupa dengan berbagai cara oleh Israel. Ada yang diusir paksa, ada yang dihabisi semua penduduknya, dan sebagainya. Proses penjajahan ini berjalan sedemikian rupa tanpa perlawanan yang berarti dari rakyat Palestina. Sebelum meletus Intifadhah pertama, pada umumnya perlawanan yang terjadi adalah sokongan dari negara-negara Arab. Misalnya perang 6 hari 1967 (yang melibatkan Mesir, Suriah dan Yordania) dan perang Ramadhan atau perang Yomkippur 1973 (yang melibatkan 11 negara Arab plus Kuba dan Korea Utara).
Intifadhah Pertama dan Kedua
Pada tahun 1987 meletuslah intifadhah yang pertama. Pada episode ini Israel dikejutkan dengan fakta bahwa rakyat Palestina yang selama ini mereka injak-injak telah mampu mengorganisasikan dirinya dan membuat gerakan perlawanan yang terstruktur. Inilah peristiwa yang merupakan titik balik dari penjajahan Israel sejak tahun 1948. Ada dua aliansi besar dalam tubuh perlawanan. Pertama PLO (Palestina Liberation Organization) yang terdiri dari Fatah, Front Popular, Front Demokratik, serta Partai Komunis Palestina. Kedua adalah organisasi keislaman yang terdiri dari Hamas dan Jihad Islami. Meski keduanya bertolak belakang secara ideologis, tapi dalam intifadhah pertama mereka berhasil menyatukan langkah dengan membentuk aliansi UNLU (Unified National Leadership of Uprising).
Intifadhah sebetulnya tidak serupa dengan gerakan-gerakan kemerdekaan yang lazim terjadi. Apalagi jika kita bandingkan dengan pemberontakan yang menuntut pemisahan (separatis). Intifadhah adalah gerakan rakyat, grass root dan pada awalnya memang tidak ditujukan untuk mencapai kemerdekaan. Dia lahir dari rakyat yang tertindas, yang selalu dinjak-injak, yang kemudian bangkit melawan. Pada saat itu tiba-tiba anak kecil berani menantang tentara Israel yang ditemui di pasar-pasar. Para pemuda, pelajar, dan mahasiswa mengorganisasikan serangan menggunakan batu dan ketapel. Ini membuka mata seluruh rakyat Palestina, bahwa mereka bisa dan mungkin untuk bangkit dan melawan. Tidak hanya berharap dari saudara tuanya saja, negara-negara Arab di sekitar mereka.
Intifadhah kedua yang bermula pada tahun 2000 semakin menunjukkan kepanikan Israel. Protes dan demonstrasi terjadi di mana-mana. Banyak di antaranya yang dijawab dengan letusan senjata. Korbannya mulai dari orang tua, wanita, hingga anak-anak. Intifadhah yang kedua ini tidak jelas kapan berakhirnya. Secara umum berakhir pada 2005, tetapi tidak ada event penting yang dapat menjadi ukuran. Ekskalasi konflik Israel berikutnya bergeser ke tempat lain.
Konflik Dengan Hizbullah 2006 dan Perang Gaza
Hizbullah memang sudah sejak lama mengambil sikap keras terhadap Israel. Tetapi konflik yang berwujud perang terbuka dalam periode yang relatif lama baru terjadi pada 2006. Penyebabnya adalah Israel menerobos perbatasan dengan Lebanon dan kemudian dihadang oleh Hizbullah yang menguasai Lebanon bagian Selatan. 10 tentara berhasil dibunuh dan 2 mayat di antaranya ditahan. Setelah itu pengeboman oleh Israel dilaksanakan dengan sangat masif. Setelah pengeboman menggunakan roket berpemandu dan menggunakan pesawat tempur, dilanjutkan dengan serangan pasukan infantri dan tank. Alasan penyerangan Israel terhadap Hizbullah adalah untuk memaksa Hizbullah mengembalikan kedua mayat tentaranya yang ditahan tadi. Tetapi fakta menunjukkan bahwa gelaran pasukan setelah insiden perbatasan tadi sangat cepat, yang menunjukkan bahwa penyerangan ini memang sudah direncanakan. Tinggal menunggu momentum saja untuk dilaksanakan.
Sejak keberhasilan Hamas dalam pemilu tahun 2006, dunia mengambil sikap yang berkebalikan terhadap Palestina. Sebelumnya dunia (baca: AS, Israel, dan sekutunya) menyangka dengan demokratisasi akan menempatkan kelompok yang relatif "kooperatif" terhadap Israel sebagai penguasa Palestina. Ternyata fakta berbicara lain. Pemilu yang sangat transparan karena diawasi oleh seluruh dunia ini ternyata dimenangkan oleh Hamas. Tiba-tiba seluruh dukungan dicabut. Bantuan dan kesepakatan yang sudah dibuat sebelumnya dibekukan. Ini mengakibatkan riot di dalam negeri Palestina. Kemudian terjadi perpecahan antara PLO dengan Hamas, yang diikuti oleh pengambilalihan administrasi Gaza oleh Hamas.