Suryo seperti tahu ini akan jadi pembicaraan yang tidak pendek. “Di sini tidak, dulu iya Pak,” jawab Suryo dan kemudian melanjutkan penjelasannya sebelum Jamal dapat bereaksi, “Panjang lah Pak, dari kecil sama temen di pasar kayaknya kena mulu saya. SD lebih lagi di mana aja sekolahnya ada saja. Contohnya Sartinah” Suryo diam memberi waktu untuk Jamal menjawab, “Duh, beginilah jadinya punya teman malah nyusahin. Punya teman yang bener teman kan kamu. Baik ada teman dekat yang bisa diajak berbicara bisa juga saling tolong kalian itu kalau diusilin yang tidak-tidak.”
Pak Amin tiba-tiba datang, “Weh, Mas Jamal. Masih di kelas, jangan lupa nanti mau rapat sama orang Balaikota, sebentar lagi.” Saut Pak Amin mengingatkan Jamal yang kemudian dibalas tanda mengerti. “Tetep aja tidak pengaruh Pak, kalau mau ngomong kepikiran selalu,” tanggap Suryo sebelum Jamal kembali fokus ke pembicaraan karena melihat catatan agendanya. “Teman ada si Pak, tapi yang di sini udah pindah sekitar 3 bulanan lalu,” lanjut Suryo. Jamal mengetahui anak yang pindah itu, bukan pindah tepatnya. Orang tuanya tidak kuat biaya dan buruknya lagi tertangkap tangan ikut mendukung usaha gerakan sabotase telegraf pemerintah oleh pejuang setempat.
“Sayang sekali, yasudah Bapak agak lega kamu bukan gugup total,” Suryo sempat tersenyum kecil ikut bahagia mendengar perkataan Jamal, “Ingat tapi, coba terus berani. Penting untuk bisa berkomunikasi dengan khalayak umum.” Melihat sampul buku yang dibaca Suryo tadi, Jamal mencoba mengkaitkan nasehatnya dengan apa yang ia ingat ketika membaca ‘Emas di Kebun’. “Apalagi kalau kamu itu membawa pesan atau sesuatu yang penting untuk diumumkan. Seperti yang ada di buku itu, ‘kebenaran bukan untuk disimpan, jangan nodai mulut kita yang telah diciptakanNya.’ Kurang lebih itu,” Jamal belum menutup bicaranya tetapi sudah dibalas, “Bukannya ‘dusta tiada disebar’ ya Pak?” Jamal bingung dan langsung saja menjawab “Ya tadi Bapak kata kurang lebih, Suryo. Maklum udah jarang baca itu. Satu lagi, kalau udah berani jangan suka potong pembicaraan yang lain ya.” Suryo kemudian menunjukkan gestur maaf dengan sedikit senyum setelah menyadari jawabannya tadi yang menyelak gurunya itu. “Hehe, iya Pak,” Suryo menanggapinya. Jamal yang sedari tadi bersiap untuk pergi untuk rapat akhirnya pamit meninggalkan kelas dan meninggalkan Suryo yang lanjut menikmati buku dari sekolah itu.
Selang setahun Jamal mengajar di Karangraya. Tidak banyak berubah, kecuali pengalamannya yang bertambah. Perubahan terjadi setelah tepat setahun dua hari waktu pengabdiannya di sekolah tersebut. Ia kabarkan akan berstatus pegawai tetap kolonial, melangkahi guru-guru lain di sana. Mungkin akan pindah ke sekolah bangsawan setelah diangkat. Tahun ajaran baru akan dimulai, tetap akan dimulai meski kondisi memanas setelah adanya gerakan terang-terangan kaum nasionalis di alun-alun kota dan secara umum di seluruh pulau yang menyita perhatian petinggi setempat. Aparat mengencangkan sabuk dan pistol, siaga menekan pergerakan mereka.
Kembali di kelas yang sama setelah mengurus dokumen dan administrasi untuk tahun ajaran baru di hari sebelumnya. Kemarin belum ada kegiatan belajar, hanya ada upacara memulai kelas baru dengan tamu asisten residen setempat yang menyampaikan pesan mengecam aksi-aksi yang terjadi di depan anak-anak muda kota itu. Jamal mengulangi apa yang ia lakukan seperti ketika pertama kali ia datang. Suryo sendiri sedang diajar Pak Amin di kelas yang lebih tinggi. Basa-basi perkenalan belum selesai tapi Kepala Sekolah datang membuka pintu kelas dari kayu seadanya itu. Kepala Sekolah, dan dua polisi. Ya dua polisi, ada sweeping ke instansi-instansi pemerintah, termasuk sekolah. Dirumorkan banyak pegawai bumiputera yang turut mendukung gerakan nasionalis dan ikut aksi secara diam-diam. “Pak Jamal, anak-anak, maaf menyita waktu belajar kalian.” Ucap Kepala Sekolah ke kelas kemudian melangkah mendekati Jamal. “Pak, maaf tapi ada urusan sebentar di kantor.” Bisik Kepala Sekolah dengan melirikan matanya ke kiri, bermaksud menunjuk ke dua polisi tadi. Jamal mengerti dan mengiyakan. Sebelum pergi ke kantor Jamal menyempatkan diri untuk memberi tugas ke murid-muridnya.
Di ruang guru, sudah terkumpul semua guru dan tenaga kependidikan sekolah itu beserta tambahan dua polisi lainnya. Sebenarnya tujuan mereka ini satu, ternyata Jamal itu sendiri. “Bapak Jamal benar? Maaf mengganggu pembelajaran tetapi kami memiliki laporan Anda memiliki kontak dengan tokoh pergerakan setempat,” Brigadir polisi itu berbicara kepada Jamal dan didengarkan Kepala Sekolah. Rekan-rekan guru mereka dipindahkan ke ruangan sebelah. Sedang ditanyakan polisi juga dengan alasan berjaga-jaga jika ada simpatisan lain. “Maaf Brigadir, apa ada bukti yang jelas? Saya yakin saya tidak pernah kontak atau bertemu sekalipun dengan tokoh itu.” Jawab Jamal membela. “Bukti? Bapak sendiri lupa atau sengaja menaruh surat-surat berisi ajakan untuk mengadakan protes dan media-media provokatif lain, Iya? Ada tanda-tangan Bapak di suratnya, lho,” Brigadir tersebut membalas pembelaan Jamal merujuk ke bukti yang ditemukan di lemari dan meja kerja milik Jamal. Kini Jamal tidak tahu apalagi, jelas dan yakin ia tidak pernah macam-macam. Kepala Sekolah pun tidak bisa bersaksi khawatir ketika polisi-polisi yang sedang panas itu malah menudunya mendukung gerakan itu juga.
Setelah interogasi tersebut mereka kemudian dibawa ke ruang sebelah, bertemu kembali dengan rekan-rekan lainnya. Brigadir itu kemudian memberitahu Kepala Sekolah akan membawa Jamal untuk diamankan. Jamal yang sudah ditahan tangannya itu, digiring keluar menuju Balaikota yang berjarak tidak jauh. Baru saja keluar dari ruang guru, Jamal menemukan Suryo sedang berdiri saja di samping jendela kantor. Jamal memberikan sapaan melalui ekspresi wajahnya. Namun, Suryo justru bukan membalas balik. “Pak Brigadir, tunggu dulu Pak!” Jamal kini terkejut, sungguh terkejut. Juga Kepala Sekolah, Pak Amin, guru lain, terlebih lagi si Brigadir yang merasa ditantang. Belum sempat Brigadir membalas Suryo untuk membentak, Suryo sudah lanjut berbicara, “bukti-bukti itu benar Pak! Tapi bukan milik Bapak ini.” Kemudian Brigadir yang baru diberi kesempatan berbicara langsung berkata “Heh, tidak usah ikut-ikutan. Tahu apa kamu...” Brigadir yang baru sadar kenapa Suryo dapat mengetahui soal ini bertanya “...kamu kok tahu!?!?” Kepala Sekolah di belakang hanya tersenyum kecil, polisi itu lantang menuduhnya dan memang lantang ketika menginterogasi Jamal di kantor tadi. Kantor tersebut kecil dan jendela yang ada hanya bingkai tanpa kaca. Wajar jika terdengar Suryo yang baru dari kamar kecil. Sungguh beruntung Jamal dalam situasi ini, jika tidak ia mungkin sudah berjarak 100m dari Balaikota sekarang.
Suryo yang belum selesai membela gurunya kembali bersaksi, “Saya kemarin lihat ada orang yang sengaja menaruh kertas-kertas di kolong mejanya Pak Jamal.” Brigadir lalu menjawab “Kami ini bukti sudah jelas, kamu juga kalau bersaksi kurang kuat itu buktinya.” Suryo sudah memperkirakan jawaban ini, oleh karena itu ia membawa bantuan “Sartinah, kamu lihat kan?” Tanya Suryo ke Sartinah, orang yang dari tahun lalu tidak mulus pertemanannya dengan Suryo. Namun, demi guru mereka, Suryo sempat kembali ke kamar kecil di mana baru juga ia bertemu Sartinah di kebun dekat toilet itu setelah menguping Brigadir yang teriak-teriak di kantor. “Benar Pak ituu. Pak Karto itu yang naruh. Saya kemarin juga abis dari ruang guruu, balikin buku ya. Ngeliat Pak Karto membongkar-bongkar lemari sama meja Pak Jamalll.” Brigadir yang tadinya ingin membentak lagi sekarang terdiam berpikir. Ia mendengarkan kesaksian dua bocah ini. Hitung-hitung jika tangkapan orangnya bisa bertambah akan lumayan terutama di hadapan bos polisi, pikirnya.
“Pak Karto pelakunya, ia memfitnah! Saya juga melihat.” Kini semua mata dan telinga terarah ke Pak Amin yang menyaut dan ikut bersaksi. Rekan guru itu juga melihat Pak Karto yang kemarin membawa bukan dokumen sekolah tetapi yang lain. “Dokumen” itu kemudian disodorkan ke Jamal yang sedang duduk baru saja tiba setelah berdesakkan di trem. Tanpa pikir panjang, menganggap kertas-kertas itu dokumen tahun baru yang harus Jamal sahkan ia langsung menandatanganinya. Pak Karto bahkan telah menyiapkan bolpoinnya. Setelah kesaksian Pak Amin didengar, Brigadir langsung saja memanggil orang yang bernama Pak Karto. “Bapak Brigadir yakin? Bisa jadi mereka bersekongkol. Anak muda sekarang banyak yang diajak. Ingat kata asisten residen kemarin.” Bela Pak Karto, sebelum Brigadir sempat menyebut namanya. “Kamu?” tanya Brigadir. Kemudian dijawab Pak Karto “Astaga pasti bukan, untuk apa saya melapor rekan saya jika mereka bersih.” Brigadir yang ingin menanyakan lebih banyak ke Pak Karto diselak oleh Pak Wono, lagi-lagi terselak. “Iya tuh Pak bener kata anak itu, bapak ini juga benar.” Pak Wono bergabung ke pembicaraan dengan membela Pak Amin dan dua murid itu. “Sudah?? Tidak ada yang berbicara lagi? Saya tunggu ini.” Akhirnya Brigadir menanggapi dengan kesal setelah diselak berkali-kali.
“Baik, karena ini baru, saya membawa Pak Karto juga. Untuk diselidiki terlebih dahulu. Keputusan tunggu atasan saya.” Jamal yang dari tadi mendengar akhirnya juga ikut menanggapi dengan rasa lega. “Saya dilepas jadinya Pak?” Tanyanya ke Brigadir. “Hush, berdua kalian dibawa. Meskipun begitu, kami tidak kasih kendor. Harus menunggu keputusan atasan saya juga.” Brigadir membalas sambil menarik sedikit tangan Jamal yang ditahan karena bersikap seperti tadi. Seluruh rekannya lega, ada harapan untuk Jamal agar bebas dan Pak Karto yang akan diadili karena perbuatannya.
Beberapa minggu setelah insiden tersebut. Penyelidikan dari polisi telah usai. Terdengar kabar setelah sekian lama. Pak Karto akan merasakan akibat tindakannya. Ia tetap ditahan dan akan diadili atas laporan palsu dan pemfitnahannya. Polisi yang menerima bukti itu juga dianggap lalai memeriksa, bahkan dikabarkan mendapat uang jalan. Beruntungnya Pak Karto tidak juga terbukti berafiliasi dengan tokoh pergerakan itu. Jamal kini sudah bebas, dan telah direhabilitasi nama baiknya. Namun, dengan alasan agar tidak benar-benar bergabung ke dalam pergerakan, Ia dimutasi ke residen lain. Di sana tetap menjadi guru, tetapi kini di sekolah dasar di desa pinggiran kota. Pak Karto mengakui kesalahannya, ia mencari cara mengambil tawaran status pegawai tetap yang akan diterima Jamal dengan menjadi “Pahlawan Koloni”. Pak Karto sendiri terdesak finansialnya, keluarganya butuh makan dan menjadi pegawai tetap adalah jalan keluarnya. Suryo menjadi pembicaraan di sekolah, ia diberikan apresiasi Kepala Sekolah. Sartinah yang sering usil terhadapnya pun mulai damai dengannya. Suryo sendiri pun berterima kasih terlebih dulu ke Sartinah, Pak Amin, dan Pak Wono yang telah membantu. Sayang, Jamal tidak dapat bertemu langsung atau menitipkan pesan ke Suryo.