Mohon tunggu...
Fathi Almirhea
Fathi Almirhea Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Program Studi Pembangunan Wilayah Fakultas Geograafi Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Relokasi", Dilema Pengembalian Fungsi Ruang Kota

28 September 2016   12:20 Diperbarui: 28 September 2016   12:40 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini proses penertiban dengan penggusuran mulai digencarkan lagi. Dengan dalih merelokasi, warga yang tinggal di lingkungan kumuh atau di wilayah-wilayah yang tidak sesuai peruntukannya dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka. Jakarta menjadi kota yang akhir-akhir ini banyak melakukan tindakan “relokasi”.

Pemerintah DKI Jakarta beranggapan jika rumah-rumah warga yang direlokasi, secara tata ruang tidak sesuai dengan peruntukan. Penataan kawasan, penataaan ruang, normalisasi kawasan, dan istilah lain selalu dipakai oleh para penggusur untuk melegalkan cara mereka. Pemerintah memang sudah menyediakan ganti rugi bagi korban penggusuran, namun istilah ganti rugi memang mencerminkan bagaimana warga benar-benar merugi akibat dampak penggusuran tersebut.

Kebanyakan ganti rugi penggusuran hanya berupa uang pengganti, atau akhir-akhir ini, seperti yang pemerintah DKI Jakarta lakukan, yakni menampung warga terdampak dalam rumah susun sewa. Rumah susun sewa yang disediakan pun terkadang jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah warga yang tergusur. Lebih dari itu, warga tergusur bahkan kehilangan pekerjaan dan kehilangan kelompok sosial yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun.

Relokasi atau penggusuran selalu memberikan dilema besar. Disisi lain, penataan ruang perlu dilakukan agar kondisi sebuah kota tetap nyaman. Banyak kawasan kumuh berdiri di tempat-tempat yang membahayakan serta mengganggu keseimbangan lingkungan kota. Akan tetapi, masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut tidak pernah mendapatkan teguran keras. Mereka seakan dibiarkan menempati kawasan-kawasan tersebut sesuka mereka. Sampai akhirnya terjadi bencana atau malapetaka, akhirnya pemerintah berinisiatif untuk menata kawasan tersebut dengan cara menggusur warga yang ada.

Penggusuran yang sering terjadi juga dianggap terlalu memihak. Kawasan-kawasan superblock atau permukiman elit yang melanggar tata ruang selalu aman dari penggusuran. Penggusuran terjadi ketika pemerintah berhadapan dengan masyarakat kecil. Tentu hal ini tidak boleh terjadi, pemerintah tidak boleh memilih dan memilah kawasan mana yang akan digusur dan mana yang tidak. Segala bangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang yang ada seharusnya pantas digusur.

Masyarakat kota tidak hanya terdiri dari masyarakat berduit. Sebuah kota seharusnya bisa menjadi kota yang ramah bagi seluruh elemen masyarakat kota, baik masyarakat berpenghasilan tinggi, maupun yang berpenghasilan rendah, baik masyarakat kaya maupun masyarakat miskin. Tiap masyarakat memiliki hak yang sama atas ruang perkotaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun