Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari tentang masyarakat, mulai dari perilaku sosial, interaksi sosial, dan hubungan sosial dalam masyarakat. Menjadi seorang santri sekaligus mahasiswa sosiologi tentu memaksa saya tanpa sadar untuk memahami masyarakat dan perilaku sosial manusia dari berbagai sudut pandang. Kali ini saya akan membahas bagaimana aspek-aspek mikro dan makro serta integrasi keduanya dalam lingkup pondok pesantren, salah satunya di pondok pesantren Krapyak ini. Di pondok pesantren, integrasi mikro dan makro ini sangat relevan untuk memahami dinamika kehidupan sehari-hari santri dan bagaimana mekanisme struktur pesantren membentuk perilaku sosial para santrinya.
Aspek-Aspek Mikro
Menurut Ritzer (Alimandan: 1992), perspektif mikro dalam sosiologi adalah pendekatan yang berfokus pada pemahaman bagaimana individu membentuk dan memelihara makna sosial melalui interaksi mereka dalam kelompok yang relatif kecil. Perspektif ini mencakup beberapa aspek seperti interaksi sosial, agen sosial, struktur mikro (norma, peran, dan status sosial yang berpengaruh), dan proses sosial. Interaksi sosial di pesantren adalah inti dari kehidupan sehari-hari santri. Para santri terbiasa melakukan hampir seluruh rutinitasnya bersama-sama. Hal ini sudah menjadi tradisi dan adat di lingkungan pesantren, mulai dari makan, pergi mengaji, bersekolah, mencuci, sholat berjamaah, muthala'ah, dan tidur. Adanya pola 'serba bersama' ini terbentuk disebabkan mereka hidup hanya didampingi oleh ustadz dan teman-teman, bukan dengan orang tua sehingga tumbuhlah pemahaman terhadap nilai-nilai gotong royong, kebersamaan dan solidaritas.
Kebiasaan melakukan aktivitas serba bersama ini memperkuat rasa kebersamaan dan menjadi lebih saling mengenal satu sama lain. Selain itu fasilitas yang disediakan oleh pesantren memang dirancang untuk segala aktivitas yang sifatnya kolektif sehingga makin memperkuat rasa kebersamaan satu sama lain. Penanaman nilai dan norma seperti yang telah disebutkan tentu membutuhkan pengawasan dan bimbingan langsung dari ustadz atau guru-guru mereka. Maka dari itu, terbentuklah struktur mikro (munadzomah) seperti adanya musyrif (pembimbing asrama), mudabbiroh (pengurus keamanan dan ketertiban asrama), pengurus harian, dan lain-lain. Para asatidz merupakan agen sosial dari struktur tersebut. Mereka berperan penting sebagai mentor dan figur sentral dalam proses sosialisasi dan pembentukan identitas santri.
Aspek-Aspek Makro
Pendekatan makro dalam sosiologi adalah cara untuk memahami karakterirtik umum masyarakat melalui beberapa aspek yaitu struktur sosial, sistem dan proses sosial, budaya dan ideologi, aktor sosial, dimensi ekonomi dan politik, serta konflik dan integrasi. Pesantren sebagai institusi pasti memiliki struktur sosial serta hierarki kekuasaan untuk mewariskan nilai-nilai serta norma-norma dari generasi ke generasi seperti ketaatan, disiplin, dan solidaritas. Biasanya alur hierarkinya seperti ini: Kyai (pemimpin yayasan) - putra/putri Kyai - lalu para asatidz. Disinilah terjadinya distribusi kekuasaan. Apabila pemimpin yayasan wafat atau sudah sepuh dan kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan untuk mengurus yayasan, biasanya semua hal yang berkaitan dengan yayasan akan dialihkan kepada keturunannya atau kerabat pemimpin tersebut untuk melanjutkan kiprah pemimpin tersebut. Kemudian untuk posisi para asatidz ini hanyalah sebagai badal atau pengganti apabila Kyai atau anak Kyai berhalangan mengajar pengajian saja, bukan untuk mengambil alih pondok. Yang jelas, mereka semua bertanggung jawab dalam mendidik dan membentuk perilaku dan moral santri-santri berbasis keagamaan.
 Adapun budaya dan ideologi khas pesantren selain kebersamaan adalah zuhud. Sebenarnya, zuhud adalah nilai pokok ajaran Islam, namun pesantren menjadikan sikap ini menjadi prinsip yang khas. Zuhud adalah sikap mengendalikan diri dari godaan duniawi dan metrialisme yang dapat mengalihkan perhatian dari tujuan spiritual. Santri didorong untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan, seperti mengenakan pakaian yang sederhana, mengonsumsi makanan yang cukup, dan tidak mengejar kemewahan. Selain itu konsep zuhud disini juga diimplementasikan dalam bentuk ibadah yang khusyuk, memperbanyak zikir, dan puasa sebagai tameng agar tidak menjadi hubbuddunya (cinta dunia). Saya atau mungkin kalian yang pernah berada di lingkungan pondok, sering melihat santri yang ketika habis dijenguk, pasti mereka langsung membagi-bagikan makanan yang dibawakan oleh orang tua mereka. Sikap filantropi ini telah menjadi budaya mereka dan ini juga termasuk sikap zuhud dalam mengelola harta.