Mohon tunggu...
Fath WS Siti Fatonah
Fath WS Siti Fatonah Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Menulis merupakan hobi dan kebiasaan sejak kecil, Membaca puisi merupakan bagian hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jodoh di Akherat

19 Juni 2012   04:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:48 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JODOH DI AKHERAT

Oleh : Fath WS

Aku heran, perasaanku ada seseorang yang memperhatikanku sejak antre bersalaman dengan pinang pengantin. Aku tak mau ke-geer-an, kutepiskan rasa itu dengan ngobrol.

“Ros, kamu ini ngomong apa, ngomong kok salah-salah, grogi lagi, kayak mau ditembak saja,” Ely nerocos mengingatkanku yang saat itu sangat grogi.

Kucubit dia, dan sedikit mengaduh. Kami terus berjalan menuju meja perjamuan, melewati beberapa orang yang bergerombol.

“Aku terakhir ketemu Rosi di angkot, tepatnya 12 Juni 1997 tepatnya jam 14.54 menit.”

Aku kaget mendengar penuturan itu, aku sangat mengenal suara itu, suara Bima, membuatku grogi, aku berhenti. Aneh ingat benar Bima akan pertemuan itu hingga menitnya. Jujur akupun tak bisa melupakan begitu saja pertemuan itu yang tidak disengaja. Walaupun dalam perjalanan waktu aku sangat berharap bisa bertemu Bima, namun saat bertemu di angkot itu sekuat tenaga aku mencoba menghindar, aku masih trauma saat tragedi perpisahan harus kujalani, namun sebenarnya aku sangat mengharapkan bisa bertemu lagi dengannya.

“Hai Bima, apa kabar,” sapaku sambil mengulurkan tangan untuk berjabat.

Bima tersenyum sambil menjabatku dengan erat, senyum Bima tidak berubah, selalu ceria. Tidak sepertiku yang senyum dan tawaku tergadai dengan saratnya beban yang harus kupikul. Kembali aku terkesiap ketika Bima semakin kencang menjabatku, sedikit menarik tanganku, hangat, ada getaran aneh mulai menjalar seluruh tubuhku, membuatku ingat masa-masa kami masih berjalan bersama sekian tahun yang lalu.

“Melamun, cepat tua. Mana senyum dan tawamu, Rosi.”

Lalu Bima pamit diri pada kawan-kawannya dan mengajaku meninggalkan mereka, menuju tempat duduk yang lebih leluasa. Ely meninggalkan kami dan bergabung dengan teman sekantornya.

“Rosi, aku datang di perjamuan ini sudah lebih dari satu jam, kawan-kawanku sudah mendahului pulang, aku sengaja menunggumu, aku ingin bicara denganmu.”

“Apa tidak salah Bima, kau menungguku, orang yang pernah kau tinggalkan begitu saja sekian tahun yang lalu?” tanyaku tak mampu menahan perasaan.

Pertanyaan itu seakan tidak ingin didengarnya dan Bima beranjak mendekati Ely, tak tahu apa yang dibicarakan, yang jelas mereka tertawa dan Ely melambaikan tangan. Aku tidak mengerti apa yang terjadi di sana.

“Aku sudah minta ijin Ely, kamu kuajak keluar duluan.“

Bima langsung menggandengku tanpa memberi kesempatan aku untuk mengelak. Sesampainya di mobil, Bima langsung menstater dengan senyum terus merias wajahnya, perlahan mobil meninggalkan area. Aku diam, tak seberapa lama sampailah di bondcaffe.

“Kau diam saja Rosi, duduk di sini, aku masih ingat kesukaanmu, fiber juice dan roti bakar strawberry kan?”

Aku hanya tersenyum dan mengangguk, gila masih ingat juga kesukaanku. Tidak terlalu lama pesanan datang, satu porsi roti bakar, pisang bakar, dan dua gelas fiber juice, aku kaget lagi dengan dua gelas fiber juice, seingatku Bima paling tidak suka fiber juice.

“Jangan heran ya permaisuriku, semenjak kita berjauhan aku selalu mencoba menghadirkanmu dengan memilih apapun yang kamu suka, mulai menyantap makanan yang kamu suka, memiliki apapun yang kamu suka dan membaca buku-buku yang kamu suka. Ternyata begitu jauh darimu, aku baru merasakan jika aku benar-benar mencintaimu.”

Mendengar itu semua hatiku mengawang, namun aku tetap berusaha menutupi agar tidak terlahir.

“Bima, kenapa kamu begitu mengingat pertemuan yang tidak sengaja di angkot itu, bukannya pertemuan itu juga tidak kau harapkan?” kataku tak mampu membendung penasaran.

“Salah Rosi, setahun sejak kita berpisah dulu, aku selalu berharap bisa bertemu kamu kembali, dan kalau kamu mau tahu, catatan pertemuan kita diangkot itu masih ada, kusimpan, dan sehabis kamu turun angkot akupun tak lama kemudian turun, mengutitmu sampai ujung gang.”

Bima dengan semangat menjelaskan sambil menyodorkan catatan itu, kertas rokok, warnanya pudar tulisannya pun aus, namun masih bisa terbaca. Dalam hati aku bersyukur, aku merasa tersanjung.

“ Rosi bolehkan aku tahu, apakah di hatimu sudah ada yang menggantikanku?”

Aku diam, rasamu dimana sih Bima, aku benar-benar tak bisa mendapatkan penggantimu.

Rosi, jawablah,” pintanya memelas.

“Aku tak pernah mencari pengganti. Maaf Bima, terlalu dalam luka yang tertoreh, aku tak mau tersakiti untuk yang kedua kali.”

“Maafkan aku Rosi, bukan mauku meninggalkanmu, namun aku tak mampu mengelak kehendak orang tua. Aku tahu, saat itu kau benar-benar marah dan kau melampiaskannya dengan meninggalkan orang yang mencoba mendekatimu dan salah satunya sepupuku.”

Tanpa merasa bersalah akupun menepis anggapan itu,”Silahkan dianggap begitu, aku tak pernah menarik perhatian dan mengundang mereka,” aku diam sejenak menekan gejolak emosi.

Setelah cukup aman, kulanjutkan lagi,” mereka datang atas kemauan sendiri dan aku tidak bisa menerima kehadiran mereka,” tuturku melemah. Sebuah gelembung sesal seakan mengempis, terantuk pertemuan itu.

“Beri aku kesempatan Rosi, untuk menyembuhkan luka hatimu. Kali ini aku hadir tidak untuk menoreh luka, walau aku pembuat luka hatimu, ijinkan aku pula yang menyembuhkan. ” Bima menggenggam jemariku, menatapku yang tampak rapuh, ”Sekali lagi maafkan aku Rosi, tak pernah aku bermaksud membuatmu terluka seperti itu.”

Setelah berfikir cukup lama sambil menyantap roti bakar dan fiber juice aku mengambil keputusan,”Bima, terimakasih kau masih mengingatku, tak tahulah apa yang akan terjadi, kita serahkan semua kepada Allah SWT, kita hanya bisa berupaya menyambung silaturahmi ini sambil lebih saling mengenali, barangkali banyak hal atas kita yang sudah bergeser.”

Selesai bertutur, aku menelan ludah, kalimat itu sangat berat kuluncurkan, namun aku pun tak ingin lemah.

Bima sangat mengerti dan mengiyakan, kamipun bersepakat menjalin silaturahmi secara intens. Walaupun kami tetap harus berjarak tempat karena Bima bekerja di Surabaya, namun sedang melaksanakan tugas belajar di Yogyakarta.

*****

Dunia telah berubah, jika dulu saat aku dan Bima menjalin kasih tak ada alat komunikasi kecuali surat, maka saat ini alat komunikasi canggih bernama handphone telah sudah mulai merambah di masyarakat, walapun masih kalangan tertentu, sehingga komunikasi antara aku dan Bima bisa cukup lancar.

“Rosi, maafkan aku, aku tak pernah bermaksud menyakitimu, menoreh luka di hatimu, semua itu hanyalah kekerdilan kedewasaanku, aku tidak berani menentukan sikap, ijinkan aku sebagai pembuat luka, hadir kembali sebagai penyembuh lukamu,” demikian sederetan kalimat yang kuterima dari sms Bima. Sms itu tetap tersimpan dan berulang kali kembali kubuka ketika keraguanku mulai mengalir.

Waktu terus berjalan, Bima sibuk dengan kuliah dan tugas-tugasnya dan aku sibuk menjalankan tugas pekerjaanku, namun demikian komunikasi tetap berjalan dengan baik. Kami saling mengingatkan dan menyemangati agar tugas-tugas kami dapat terselesaikan tepat waktu. Di akhir pekan Bima selalu berusaha pulang ke Magelang, walau terkadang dia harus kembali ke Surabaya, tempat tugasnya.

“Rosi, berkat dukunganmu alhamdulillah lusa aku ujian tesis,” suara Bima lewat telepon bernada riang, hatiku berbinar mendengar kabar itu, yang berarti tidak terlalu lama lagi kami bisa bersama, melanjutkan rencana kami untuk segera melangsungkan pernikahan.

“Bima, aku mensupport doa, semoga kau berhasil, Allah SWT pasti memberimu kesempatan dan menolongmu Bima,” tukasku berapi-api menyemangati.

“Rosi, habis ujian, aku akan pulang, kita bisa bertemu dan mempersiapkan rencana pernikahan kita.”

Hatiku berbunga mendengar pernyataan Bima dan bersyukur karena Allah Swt telah mendengarkan doa-doa kami.

*******

Hari ujian tesis pun tiba, secara khusus aku hadir di kampus Bima bersama ayah dan ibu Bima. Sebelum Bima masuk ruang ujian, dia minta restu Bapak/ibu lalu mendekatiku.

“Rosi, ujian ini adalah ujian kita, doakan ya,” suara Bima setengah berbisik sambil mengenggam tanganku erat sekali, lalu mendekapku erat.

Aneh kurasakan seluruh tubuhku merinding dan jantungku pun berdetak semakin keras, mungkin karena hati kami benar-benar menyatu, batinku.

Selama ujian berlangsung, kami terus bermunajad, berharap Allah SWT memberi kemudahan pada Bima, namun di sela-sela munajad, sesekali terlintas dalam pikiranku keanehan yang baru saja saya alami. Mengingat itu aku semakin khusyuk bermunajad untuk menepis kegalauanku.

Sekitar satu jam Bima melaksanakan ujian tesis, keluar dengan wajah ceria, senyumnya lebar, dan berucap syukur sambil memeluk bapak dan ibu, akupun bahagia melihat keadaan itu, pertanda baik, bisikku. Bima pun, mendekat dan memelukku.

”Rosi, kemenangan kita semakin dekat.”

“Insyaallah Bima, insyaallah Allah mengabulkan doa dan harapan kita.”

Bima merenggangkan pelukannya, setelah kubisikkan bahwa rasa bahagia tidak perlu kita luapkan berlebihan, karena Allah SWT selalu punya rahasia yang tak pernah kita ketahui.

Tiga jam kemudian, hasil ujian diumumkan, semua peserta ujian dipanggil masuk ruang, kami menunggu dengan penuh keyakinan bahwa Bima akan bisa berhasil dengan baik. Kami sangat yakin, karena Bima sungguh cemerlang, sejak SD menurut bapakdan ibu, Bima selalu menjadi juara, kalau aku tahunya sejak SMP, Bima selalu berada di posisi lima besar.

Bima keluar ruangan setengah berlari, menuju bapak/ibu, memeluk bergantian, dan senantiasa mengucapkan syukur karena telah diberi kemudahan dan pertolongan menyelesaikan tugas belajar dengan baik, bahkan terbaik diantara kawan-kawan seangkatannya. Aku sangat bersyukur atas anugerah yang tak terhingga ini.

Sebelum kami kembali ke Magelang, kami sempatkan beristirahat untuk berjamaah maghrib.

“Bim, kamu imamnya, bapak makmum kamu saja. “

Kami berjamaah, Bima sebagai imam.

******

Seperti keberangkatan tadi, perjalanan pulang Bima memegang kemudi, bapak dan ibu mempersilahkan aku duduk di depan di samping Bima, sedangkan bapak/ibu di tengah. Hari belum terlalu malam, belum isyak, namun langit cukup gelap, sesekali kilat menghiasi angkasa.

“Bim, hati-hati tidak usah ngebut, berjalan malam begini sanggat beresiko, terkadang ada kendaraan tidak berlampu,” ibu menasehati Bima.

“Iya ibu, Bima jalan 65 saja bu,” dengan santun Bima menenangkan ibu.

Perjalanan cukup lancar dan benar apa yang dikatakan ibu, ternyata tidak semua orang patuh lalu lintas, dalam perjalanan itu kuhitung sudah empat kali kami menjumpai motor tidak menggunakan lampu, bahkan di perempatan tadi kami melihat ada mobil box sarat muatan dengan lampu belakangnya mati.

Manusia hanya bisa merencanakan, namun Allah swt yang memiliki ketentuan. Di jalan raya, kita sudah sangat berhati-hati, namun tak semua pengendara patuh. Bima yang saat itu berjalan dengan kecepatan 60 ternyata harus harus menerima kenyataan pahit.

“Bima….hati-hati, mengalah Bim…,” bapak setengah berteriak.

Bima pun segera menyesuaikan agak menepi, namun diluar dugaan klakson memekakkan dan saling bergantian sungguh memekakkan telinga, aku hanya bisa beristighfar dan tabrakan pun tak terhindarkan.

*****

Kepalaku terasa berat dan pedih, ketika mataku pelan-pelan terbuka dan yang kulihat pertama adalah langit-langit berwarna putih. Kuedarkan pandangan mataku ke seluruh penjuru semua serba putih, aku mencoba mengingat apa yang terjadi, namun sia-sia.

Kumencoba meraba kepalaku yang terasa berat, dikepalaku ada ikatan verban dan sejurus dengan itu ada tangan yang sangat lembut memegang tangan kananku dan mengembalikan ke dada.

“Ros, bersabarlah..,” suara yang sangat kukenal, ibuku.

“Di mana aku ibu?” tanyaku dengan kesadaran yang belum pulih.

“Tenanglah kamu Ros, yang penting kamu sembuh. Tadi mobil yang kamu tumpangi mengalami kecelakaan di Pabelan,” ibu menjelaskan.

Aku mencoba mengingat peristiwa tadi, namun aku hanya mampu mengingat sampai saat klakson yang berbunyi memekakkan, setelah itu aku tak ingat persis apa yang terjadi.

“Ibu, bapak tidak ke sini menjengukku?”

“Bapak tadi ke sini Rosi, sekarang sedang menjenguk kawannya,” tutur ibu dengan lembut.

“Kok malah tidak menjenguk mas Bima dan bapak ibunya to..?” tanyaku menghiba

Ibu tidak menjawab sepatah katapun, yang kurasakan ibu justru membelaiku dengan lembut, seakan aku balita yang perlu dibelai dan dimanja. Sikap ibu justru membuatku curiga.

“Ibu, bagaimana keadaan Bima, bapak dan ibu Bima?” tanyaku cemas.

Ibu terdiam, dengan jelas aku melihat ibu menarik nafas dalam lalu menghembuskannya dengan lembut, terasa menyentuh wajahku.

“Tidak usah berfikir terlalu banyak Rosi, nanti kalau sudah diijinkan, ibu akan ajak kamu menengok Bima, ayah dan ibunya.”

Aku hanya bisa mengangguk dan menurut.

Menurut penuturan ibu, lukaku tidak terlalu parah, hanya kepala bagian kiri dijahit enam, lengan kiri dijahit dua tempat yang tidak terlalu panjang, kaki kiri ada beberapa luka mengelupas, dan tubuh bagian kanan nyaris tidak apa-apa, hanya lebam-lebam saja.

***********

Hari kedua di rumah sakit, peningku sudah hilang, hanya rasa pedih dan sakit akibat lebam yang masih begitu terasa. Menurut dokter yang memeriksa, setelah tiga hari rasa sakit akan sedikit demi sedikit berkurang. Aku diijinkan berjalan-jalan.

Jam besoek telah usai, aku belum mendapat kabar yang jelas tentang keberadaan Bima, sedangkan ayah dan ibunya satu bangsal denganku. Aku merajuk pada ibu agar bisa mengantarku menemui Bima, ayah dan ibunya. Seijin perawat, aku bersama ibu menuju ruang perawatan bapak dan ibu Bima.

Luka-luka bapak dan ibu Bima lebih serius dibandingkan aku. Lengan bawah tangan kiri ibu retak, beberapa luka tanpa jahitan cukup banyak dan bapak mengalami pergeseran sendi siku lengan kanan, tiga luka jahitan di kaki dan punggung serta beberapa luka tanpa jahitan. Menurut informasi, Bima sebenarnya ada di bangsal yang sama, namun karena semalam harus menjalani operasi, maka untuk pemantauan intensif saat ini berada di ICU. Ibu menghubungi perawat agar jam besoek sore nanti kami bisa menemui Bima.

Tepat jam 4 sore, kami membesoek Bima, bangsal memfasilitasi kursi roda untuk bapak dan ibu Bima dan mereka didampingi perawat. Beberapa kerabat berkumpul sejak siang tadi, mereka tampak ikut prihatin dan duka atas kejadian yang menimpa kami.

Sore itu gerimis menyapa Lembah Tidar, hawa terasa dingin, kabut tipis pun turun, menambah dingin semakin menggigit. Kondisi Bima belum ada perkembangan yang cukup berarti, masih sangat lemah, kabel-kabel terpasang di sana-sini. Kulafalkan tahlil, tahmid dan takbir serta talqin di telingga Bima, walaupun secara fisik tidak ada respon sama sekali. Sesekali pandanganku kuarahkan pada indikator jantung yang terpasang dilayar. Hatiku berdebar-debar, berharap dan menanti keajaiban dari Allah swt. Kulihat para kerabat di balik kaca menekuk wajah, sesekali mereka komat-kamit ikut melafalkan doa.

*****

Hampir maghrib, respon Bima kembali nampak. Di luar gedung langit memerah, gumpalan awan tipis berarak mengikuti angin, terkadang bentuknya menyerupai hewan, kadang bagai pepohonan, indah, lalu anganku mengawang andai kuterbang mengikuti kemanapun awan bergerak,…tiba-tiba aku terhentak seperti mendengar panggilan Bima. Aku tersigap, mendekat dan memperhatikan Bima dengan seksama, perhatianku dalam sekejap beralih pada layar perekam detak jantung yang terpasang di sebelah pembaringan Bima. Dadaku berdegub kencang, aliran darah memanas, mukaku terasa panas, mataku kian buram, bibirku semakin kencang melafalkan doa.

“Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar…” aku melafalkan takbir di telinga Bima yang kian memucat. Raut wajahnya yang semula merespon bisikanku, semakin lama respon itu semakin melemah. Aku gugup, dari kaca terlihat ayah dan ibu panik, demikian juga ayah dan ibu Bima sudah mulai tak mampu menahan isak tangis.

Aku berlari meminta pertolongan dokter dan segera mendekat. Atas permintaan dokter ayah dan ibu Bima ku ajak masuk, mendekat Bima. Sambil terus memberikan bentuan pada Bima, dokter berkali-kali meminta kami terus mendoakan.

Sayup-sayup dari masjid terdengar Iqomah, pertanda jamaah sholat maghrib segera dilaksanakan. Bersamaan dengan itu aku lihat dokter semakin mengurangi intensitasnya memberi pertolongan Bima dan berucap, “Silahkan dituntun agar perjalanannya lancar.”

Ibu Bima mentalqin Bima, aku membaca doa sebisaku dan ayah Bima memegang tangan Bima dan mengusapkepalanya. Tak seberapa lama, ibu berhenti menalqin dan berucap takbir dan innalillahiwainnailaihi rojiun mengiringi kepergian Bima. Aku sangat terpukul, pandanganku semakin pudar dan tak tahu apa yang terjadi berikutnya.

Aku membuka mata, kulihat sekeliling, disebelahku ada ibu dan bapak, aku berada di ruang yang sangat asing dengan cahaya kebiruan. Samar kulihat foto Bima di dinding, secara refleks aku memanggil Bima, lalu tangisku pun tak bisa dibendung.

“Sudahlah Rosi, ikhlaskan kepergian Bima, Allah tidak mengijinkan kalian berjodoh di dunia ini nak, mudah-mudahan kalian bertemu di akherat.”

Terlalu berat menjalani semua ini, namun aku tak ingin mempersulit kepergian Bima, aku harus mampu mengikhlaskan, walaupun tidak mungkin melupakannya.

***********end*************

Lembah Tidar, awal Juni 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun