Sangat umum untuk melihat jihadisme sebagai perpanjangan tangan dari Salafisme. Tidak semua Salafi adalah jihadis, tetapi semua jihadis seharusnya adalah Salafi, sehingga Salafisme adalah pintu gerbang menuju jihadisme.Â
Singkatnya, radikalisme agama dianggap sebagai tahap pertama dari radikalisasi politik. Jelas, bagaimanapun, para pemuda radikal ini adalah orang-orang yang beriman dengan tulus: Mereka benar-benar percaya bahwa mereka akan pergi ke surga, dan sistem referensi mereka sangat Islami.
 Mereka bergabung dengan organisasi yang ingin mendirikan sistem Islam, atau bahkan, berkaitan dengan ISIS, untuk mengembalikan kekhalifahan. Tapi bentuk Islam apa yang sedang dibicarakan?Â
Kesalahan di sini adalah memusatkan perhatian pada teologi dan oleh karena itu pada teks, mencari kumpulan doktrin yang koheren untuk menjawab pertanyaan sederhana: Apakah ada "Islam moderat" sebagai lawan dari "Islam radikal"?
Terlepas dari segmen Islamphobia yang percaya bahwa tidak ada yang namanya Islam moderat, jawaban dari otoritas Muslim tradisional dan intelektual Muslim liberal serta otoritas politik sekuler dan lembaga negara adalah mencoba menarik garis pemisah antara yang baik.
Islam yang menolak pemaknaan jihad sebagai alternatif terorisme pada akhirnya memberikan definisi spiritual tentang makna jihad. Tapi seperti yang telah kita lihat, para jihadis tidak turun ke dalam kekerasan setelah mempelajari teks-teks suci. Mereka tidak memiliki budaya keagamaan yang di perlukan---dan, di atas segalanya, tidak terlalu peduli untuk memilikinya.
Mereka tidak menjadi radikal karena salah membaca teks atau karena telah dimanilpulasi. Mereka radikal karena mereka memilihnya, tidak peduli database apa yang diambil sebagai referensi, kurangnya pengetahuan agama di kalangan jihadis adalah paten.Â
Teologi pada dasarnya melibatkan penafsiran kitab suci dalam sistem diskursif yang komprehensif yang mengisolasi dogma dari: emosi, imajinasi, estetika, dan sebagainya.Â
Tetapi yang bekerja disini justru religiusitas--dengan kata lain, cara orang beriman dalam menjalani agama dan menggunakan elemen-elemen teologi, praktik, imajiner, dan ritus, untuk membangun transendensi bagi dirinya sendiri--bukan untuk agama.
Dalam kasus jihadi, kontruksi ini menempatkannya dalam penghinaan terhadap kehidupan: diri sendiri dan orang lain. Perbedaan harus dibuat antara Islam versi ISIS, yang jauh lebih didasarkan pada metodologis penafsiran hadist Nabi (ISIS seolah-olah menggunakan tulisan-tulisan "ulama" yang fasil dalam ilmu-ilmu tradisional) dan versi jihadis.Â