Seiring bertambahnya jumlah penduduk dan laju urbanisasi yang semakin cepat, penduduk Kabupaten Purbalingga memiliki kebutuhan akan tempat tinggal yang meningkat. Pertumbuhan penduduk ini juga akan mempengaruhi daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang mendukung sistem kehidupan perkotaan.
Sayangnya, sebagian warga yang membuka lahan tidak memahami prinsip ekologi dan tata ruang, sehingga pembangunan dapat merusak ekosistem alam. Ekosistem alam yang semakin terganggu menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang tidak dapat lagi mendukung penyediaan perumahan yang layak.
Kelangkaan lahan dengan kualitas lingkungan yang baik menyebabkan harga belinya naik. Penduduk dengan daya beli rendah atau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan masyarakat pendatang berjuang untuk mendapatkan perumahan yang layak dan terjangkau di pusat kota. Akibatnya, mereka mulai membangun tempat perlindungan secara ilegal di perbatasan antara sungai Griffin dan Gemulu.
Selain itu, eutrofikasi disebabkan oleh menurunnya kualitas air sungai akibat unsur hara yang masuk ke badan sungai. Hal ini menyebabkan terjadinya pengendapan partikel yang dapat menghambat aliran air sungai. Karena batas tidak bisa menyerap air, penggunaan semen untuk menormalkan sungai di beberapa tempat mempercepat aliran air sungai. Selain itu, sumber daya alam hayati tidak dapat hidup di ekosistem sungai yang rusak. Seiring waktu, hewan dan tumbuhan endemik punah.
Penghuni liar yang tidak sesuai dengan aturan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Luas Bangunan (KLB) dalam pedoman pengendalian ruang menjadi alasan utama mengapa kita perlu merespon dan mengkaji lebih lanjut. Ketidakpatuhan jangka panjang terhadap aturan KDB dan KLB menyebabkan jarak antar rumah perkotaan menjadi artifisial, Tertutupnya lalu lintas dan penerangan sekitar, serta banyaknya jalan sempit/jalur gelap di permukiman kumuh (slums) di permukiman informal, dapat menyebabkan tingginya angka kriminalitas.Â
Pengajuan ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan permukiman kumuh di Kabupaten Pubalinga dari perspektif kebijakan dan hukum lingkungan. Kami berharap dapat menemukan alasan dan solusi kebijakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan perumahan informal dan kumuh melalui artikel ini.
Basis data kawasan kumuh Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu dari seluruh wilayah baseline Rencana Pembangunan Nasional (Visium Cipta Karya 2030), yang bertujuan untuk mencapai target universal 100-0-100 jiwa (akses 100% air minum, 0 hektar kawasan kumuh dan sanitasi 100%).Â
Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia menginstruksikan kepada pemerintah daerah untuk menyusun RPIJM permukiman melalui pendampingan pemerintah provinsi yang mengintegrasikan kebijakan nasional, provinsi, dan kebijakan daerah/kota, ruang dan sektor. Dengan mempertimbangkan lingkungan, kelembagaan, dan kemampuan keuangan daerah, sektor permukiman Indonesia dapat merencanakan ruang secara rasional, inklusif, komprehensif dan berkelanjutan.
Menurut Rencana Penanaman Modal Jangka Menengah (RPIJM) Kabupaten Purbalingga Tahun 2018-2022, Kabupaten Purbalingga memiliki 5 kecamatan yang terbagi menjadi kawasan pemukiman dan permukiman kumuh sesuai SK Bupati Purbalingga No. 643/351 Tahun 2014. Lima lokasi kelurahan berada di Kabupaten Purbalingga.
RPIJM tersebut kemudian menjadi pedoman teknis pelaksanaan rencana peningkatan kualitas perumahan dan lingkungan hidup di Kabupaten Purbalingga. Implementasi rencana RPIJM yang salah satunya untuk penanganan kawasan kumuh perkotaan perlu dipadukan dengan perangkat pengendalian tata ruang yang digagas oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga.
Penalba dan Elazegui (2011) percaya bahwa ketika menilai kemampuan beradaptasi suatu daerah, tiga pemangku kepentingan (stakeholder) dapat dilihat, yaitu, pemerintah daerah, organisasi lokal atau masyarakat dan rumah tangga (konsumen penduduk). Pemerintah Kabupaten Purbalingga memiliki peran strategis yang mutlak diperlukan dalam upaya penyelesaian permasalahan permukiman kumuh perkotaan.