Saya ingat kritikan dari seorang mentor puisi ketika saya nekat merilis buku kumpulan puisi pertama saya yang berjudul "Renjana Sedang Sendiri" tahun 2019. Saat itu, setiap hari saya sangat rajin menayangkan puisi di Kompasiana dan membukukannya secara mandiri menjadi kumpulan puisi.Â
Saya menghargai beliau sebagai mentor puisi walau beliau frontal melempar kritik.Â
Menurut beliau, puisi-puisi saya tidak berkualitas, apa saya tidak malu suatu saat ketika saya menjadi penulis ternama atau penyair besar lalu membaca kembali puisi-puisi hasil karya (lama) saya tersebut. Makanya, kualitas harus diperhatikan. Begitu kira-kira.
Tapi saya menjawab dan agak garang waktu itu. Maaf, saya tidak bermimpi jadi penyair besar, saya sedang menikmati proses belajar menulis dan berkarya. Saya tidak pernah malu dengan karya yang saya buat. Siapa yang menentukan kualitas dari sebuah seni? Walaupun ada yang menilai puisi saya buruk dan tanpa kualitas, tidak apa. Walau hanya sebaris puisi, itu adalah sebuah karya. Bukan seperti matematika dapat nilai 100, 50, atau 10.
Saya menanamkan mindset pada diri, berpuisi ataupun menulis bukan perlombaan. Saya tidak peduli apakah puisi-puisi saya yang sangat sederhana dihargai atau tidak. Bagi saya, berpuisi atau pun menulis adalah cara saya mengekplorasi diri. Menjelajah diri, mengeluarkan potensi pada diri.Â
Dari awal bergabung di Kompasiana pada Agustus 2019 sampai detik ini adalah pendewasaan diri dalam menulis. Sampai pada kata akhir, bahwa menulis bagi saya adalah cara mencintai diri saya. Jika kita cinta diri kita tentu kita merawat rasa cinta itu. Saya akhir-akhir ini mulai santai dalam menulis, tidak ada ambisi dan tidak ada yang harus dikejar. Jangan sampai menulis menjadi beban bagi diri, mengalir seperti air saja.Â
Dear Sahabat Kompasianer,
Menjadi nomine pada kategori Best in Fiction, saya berterima kasih pada Kompasiana dan juga Sahabat Kompasianer yang telah memberi apresiasi dan dukungan pada saya. Bagi saya, memiliki Sahabat Kompasianer adalah "award" bagi saya. Dukungan selama ini sangat memberi energi untuk terus berkarya.
Menjadi nomine Best in Fiction saja saya sudah sangat bersyukur dan tidak berharap menjadi pemenang karena ada yang lebih layak dari saya. Bagi saya, semua Sahabat Kompasianer adalah pemenang dalam Kompasiana Award. Karena menulis, aku ada. Karena ada Sahabat Kompasianer maka Kompasiana ada dan tetap eksis sampai hari ini.
Terakhir, permintaan maaf dari saya, bunga yang sering layu akhir-akhir ini, Â bahwa kondisi pekerjaan saya sampai akhir tahun sangat menyita waktu dan energi sehingga saya jarang menulis dan berkunjung ke akun Sahabat Kompasianer. Saya mohon maaf namun segenap cinta selalu ada buat Sahabat Kompasianer yang selalu memberi semangat.
Salam Cinta