Lily kecil baru bisa ciluk ba dan bertepuk tangan. Saat itu usianya delapan bulan. Dia melihat senyum manis bunda, derai tawa ayah. Ingatan selalu merekah.
Keluarga kecil yang bahagia. Liburan keluarga yang penuh tawa. Mereka melintasi jalan berkelok dengan jurang di kanan jalan. Di sisi kiri dinding tanah dengan warna coklat kemerahan.
Hati-hati Ayah, suara bunda kuatir. Ayah hanya tertawa, tawa terakhir. Lily kecil mendengar teriakan. Pelukan bunda erat dalam hempasan.
Lily hanya merasa tubuhnya jatuh melayang bersama bunda. Ayah? Entah di mana. Lily, air matanya tumpah. Kenapa bunda diam dan tubuhnya dibanjiri warna merah.
Sendiri merangkak. Bunda tak lagi menyanyikan lagu nina bobo, membisu tak bergerak. Lily ikut tertidur panjang. Kala bangun, seorang perempuan berbaju putih tersenyum memandanginya terbaring di ranjang.Â
Sehelai foto, di belakangnya bertuliskan "Ayah, Bunda dan Lily" telah buluk. Menemani hari-hari tanpa peluk. Lily, putih beraroma manis. Telinga menyimpan kenang terngiang. Ayah dan Bunda, pensil hitam ini telah rapuh menggambar rindu meraba bayang.
SungePnoh, 19 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H