Beberapa tahun yang lalu, saya menemani sahabat baik bernama Annelieke Ritjema, seorang antropolog dari Belanda jalan-jalan ke kebun teh Kayu Aro Kerinci.Â
Lieke, sangat takjub melihat hamparan kebun teh dan rumah-rumah kayu khas perkebunan hasil warisan negerinya, Belanda. Bahkan Lieke sangat ingin memiliki sebuah rumah di tengah perkebunan teh, tentu saja hal ini tidak bisa diwujudkankan karena status rumah merupakan hak milik perkebunan teh. Orang Belanda saja takjub, apalagi kita.
Kebun teh Kayu Aro yang merupakan warisan dari Belanda ini berada di dataran tinggi lereng Gunung Kerinci dan terhampar dengan luas 3.020 Ha di daerah Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.Â
Kebun teh Kayu Aro dibuka pada tahun 1920 oleh perusahaan Belanda bernama NV. HVA (Namlosde Venotchaaf Handle Vereniging Amsterdam). Penanaman teh mulai dilakukan pada tahun 1923 serta pendirian pabrik teh dilakukan pada tahun 1925.Â
Kebun teh Kayu Aro menjadi kebun teh tertua di Indonesia serta menjadi kebun teh tertinggi kedua di dunia dengan ketinggian 1.600 mdpl setelah kebun teh Darjeling di Himalaya, India dengan ketinggian 4.000 mdpl.Â
Pemerintah Hindia Belanda menduduki Kerinci sekitar tahun 1906 dengan cara yang tidak mudah, harus menghadapi perlawanan dari para pejuang Kerinci yang dipimpin Depati Parbo.Â
Setelah Kerinci takluk, Kolonial Belanda mulai membuka akses jalan di antaranya Kerinci-Tapan (Sumatra Barat) yang dimulai dari tahun 1914 s/d 1922 dengan sistem kerja rodi.
Kemudian akses jalan Kerinci-Muara Labuh (Sumatra Barat) juga dibangun karena adanya kebun teh Kayu Aro. Dengan pembangunan jalan ini, mobilitas keluar masuk Kerinci menjadi lancar.Â