Nenek moyangku seorang pelaut
Gemar mengarungi luas samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa
Suara lantang anak-anak bernyanyi sambil berlarian di pantai. Mereka memunguti botol-botol plastik yang dihempas ombak berderai. Samudera jernih membiru, apakah di dalam laut juga bersih indah mengurai? Terumbu karang yang terbingkai telah rusak terberai.Â
Penyamun laut mencari jalan mudah menangkap ikan. Meledakkan bom ikan. Tak hanya ikan yang mati, telur dan larva ikan juga ikut dalam kematian. Jangan lagi engkau bertanya, di mana ikan-ikan? Terumbu karang rusak, ekosistem laut tak lagi dalam keseimbangan.
Limbah kimia meracuni, laut menjadi tempat pembuangan.  Segala limbah mengalir deras, penghuni laut bergelimpangan. Sampah-sampah plastik disumbat ke lautan. Laut kini berwarna, berwarna warni karena  pencemaran.
Tujuh puluh lima persen wilayah Indonesia bernama laut, akan jadi apa jika tak dicegah pencemaran dan perusakan. Pelaut akan kehilangan tangkapan. Hilang mata pencaharian. Laut luas terhempas dalam ketidakberdayaan.
Pelaut, tidak takut menerjang ombak tapi ombak nelayan asing deras menerjang. Illegal fishing, mencuri hasil laut kita. Pelaut, menempuh badai biasa namun di laut milik sendiri terpenjara.
Mari melaut, pelaut tangguh pergi melaut. Berharap tangkapan di laut yang mulai lenggang. Bercermin di luas samudera, biru di permukaan kelam di kedalaman.
FS, 22 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H