Mataku terpaku pada sebuah pintu tua. Meraba parut luka. Maafkanlah aku, bisikku menghiba. Dirimu terbanting, terhempas, ditendang olehnya. Tanpa engkau tahu salahmu apa.
Bagaimana jadinya jika rumah tak berpintu? Semua orang akan bebas lalu lalang, keluar masuk tanpa rambu. Selama ini, aku sungguh dalam nyaman bersamamu. Aku kembali mengusap, ragamu tak sempurna seperti dulu. Telah terlepas dari tancapan paku.
Seperti pagi ini, engkau mendengar teriakku padanya. Jangan lagi hempaskan pintu jika kau tak ingin kembali, aku tiba-tiba murka. Murka yang berujung lara. Aku hanya ingin kita berdua menua. Saling menjaga. Aku mengunci pintu kuat-kuat, seperti hati yang tertutup rapat.
FS, 12 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H