Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Tua dan Sebutir Nasi

7 April 2021   11:13 Diperbarui: 7 April 2021   11:32 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi https://steemit.com/life/@husnoelaini/sebutir-nasi-482b94ede1d35

Perempuan tua sedang duduk di jendela. Demikianlah hari ke hari, menunggui rumah tuanya. Enam anak mengiriminya belanja tiap bulan. Dirinya hanya ditemani Aini, seorang kerabat dekat yang mengurusinya.

Dalam usia 85 tahun, masih sehat dengan mata terang, telinga terang dan tak pikun. Hal yang sangat disyukuri. Mungkin karena di zaman hidup susah, jarang makan enak, hanya mengkonsumsi sayur mayur dan itu menyehatkan.

Pada meja kayu, Aini sudah menyediakan makan siang. "Kerjaku hanya makan dan tidur," ujarnya sambil.mengelap meja kayu. Perempuan tua itu usai makan siang. Sebutir nasi tertinggal di meja. "Oh Tuhan, aku sudah membuang sebutir nasi," ujarnya bersalah.

Digenggamnya sebutir nasi, ingatannya kembali ke masa silam. Masa kanak-kanak, dimana dia sudah tak berayah. Sang Ibu berjualan sayur dan baru pulang setelah siang. Membawa sedikit beras dan lauk sekadarnya. Kadang malah tak membawa apa-apa, mesti meminjam beras tetangga.

Alangkah mahalnya beras, kadang dia mesti ikut menggarap sawah bersama sang ibu. Dia menyaksikan bagaimana dari benih tumbuh batang padi akhirnya menjadi beras lalu ditanak menjadi nasi. Beras, harta yang paling berharga menurutnya. Yang membuat dia dan ibu harus pontang panting tiap hari.

Menikah dengan seorang petani, hari-hari adalah membenamkan kaki pada sepetak sawah. Nasibnya menyerupai sang ibu, ditinggal pergi sang suami dengan enam anak. Hari-harinya adalah menebar benih padi, mencangkuli, menanam padi, menyianginya dan memanen. Berpuluh tahun, begitulah perputaran hidup.

Perempuan tua menggenggam sebutir nasi, seperti menggenggam emas. "Ah, aku sudah tua hingga tak melihat nasi ini terjatuh," sesalnya. Padahal perempuan tua itu selalu berpesan kepada anak-anak, jangan membuang sebutir nasi. Perjuangan ibu mencari butir demi butir nasi sangat sulit. Menghargai sebutir nasi sama halnya menghargai hidup. Dari sebutir nasi, jatuh berjuta keringat.

Perempuan tua lalu menyimpan sebutir nasi, menunggu kering dan memasaknya kembali. Walau hidup berkecukupan, mampu membeli berkarung beras. Namun perempuan tua menghargai sebutir nasi, ya hanya sebutir nasi. Menghargai bahwa dia pernah bertarung hidup demi sebutir nasi.

FS, 07 April 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun