Dahulu kala, ya ampun kayak hidup pada zaman purbakala ya. Maksud saya, pada zaman ketika saya jadi ciwi-ciwi imut menggemaskan dan tomboy.Â
Di kantor dulu, ada kakak-kakak ganteng yang saya kuntit kemanapun mereka pergi. Pergi makan ikut, jalan-jalan juga ikut. Saya ibarat boneka lucu yang harus dibawa kemanapun mereka pergi. Dan senangnya, hanya saya ciwi imut yang dengan rela hati mereka ajak kemana pergi.Â
Pada suatu hari, saat kami lewat di pasar, seorang penjual baju berteriak-teriak (promosi maksudnya) kalau baju yang dijual produk luar negeri. Kakak-kakak ganteng kelihatan sangat excited, wah merek bagus ini. Saya hanya melongo, karna yang dijual ini baju bekas. Lagian saya adalah anak dusun, ngga ngerti merek.
Mereka memborong celana lapangan, kemeja dan jaket. Karena saya sangat mungil, pakaian bekas ini pada ngga pas. Tapi untunglah, ada sebuah baju sweater plus celana lapangan yang pas untuk saya. Sstt, mungkin baju bekas anak bule.
Sejak saat itu, saya rajin cuci mata di pasar baju bekas yang sering disebut pasar BJ. Pernah juga ketemu sepatu lapangan yang bikin naksir berat, sayang nomernya kebesaran.Â
Sebelum pandemi, saya sempat beli jaket bagus hanya seharga Rp. 60.000. Umumnya jaket-jaket saya adalah "produk BJ" alias pakaian bekas. Boleh dikatakan saya penggemar pakaian bekas bermerek nan produksi luar negeri, sombong ya, sayang pakaian bekas.
Pakaian bekas yang dibeli biasanya saya rendam dengan air panas, baru di rendam dengan detergen. Entah benar cara ini entah engga, saya juga kurang tahu. Sugesti saja mungkin. Beberapa kali pakaian bekas pernah dilarang untuk masuk dan dijual di pasar, namun kemudian muncul lagi. Saat ini malah semakin menjamur kios-kios penjual baju bekas.Â