Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku dan Tante Risa

20 November 2020   04:01 Diperbarui: 20 November 2020   04:11 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi infoglobalkita.com

Perempuan setengah baya, baru pulang dari Ibukota Jakarta. Dia mulai sibuk membersihkan rumah kayu peninggalan orang tuanya. Saat itu, kami masih kanak-kanak. Mengintip dari jauh. Dia melambaikan tangan dan memberi biskuit.

"Panggil saja tante Risa ya," ujarnya. Baru kali ini kami melihat perempuan cantik. Bibirnya yang merah merona, muka putih dan terkejut melihatnya hanya memakai baju kaos tanpa lengan dan celana pendek.

Di dusun kami, perempuan memakai baju kurung dan kain. Tidak bersolek, sangat alami. Aku mengadu kepada Ibu, bahwa kami dipanggil tante Risa dan diberi biskuit. Ibu melarang kembali bermain di sekitar rumah tante Risa.

"Kenapa tidak boleh?" protesku. Bukannya dia baik hati dan cantik.
"Pokoknya tidak boleh," larang Ibu.
Aku mendengar para ibu-ibu kasak kusuk membicarakannya.
Coba lihat, dia tidak laku lagi.
Sudah tua, mana ada yang mau.
Awasi suami-suami kita, jangan sampai keluar malam-malam.
Ada apa dengan tante Risa?

Sore yang indah, aku adalah bocah perempuan yang sedikit bandel. Diam-diam aku menyelinap keluar rumah dan tiba-tiba telah duduk manis di anak tangga rumah tante Risa. Sebenarnya aku mengingini biskuit yang enak.Tante Risa dengan senang hati membukakan pintu, memberi biskuit.

"Apa tante punya anak?" tanyaku polos. Tante Risa tertunduk sedih. Ternyata anak dan suaminya telah meninggal dunia. Bekerja menyambung hidup di Jakarta sendiri ternyata menjadi aib. Tante Risa mulai terisak menangis. Ketika kita susah, tak ada orang mau menolong. Mereka menertawai nasib seorang janda.

Aku terdiam, mencoba mencerna. Tapi tetap tak mengerti. Aku pamit setelah menghabiskan setoples biskuit dan meninggalkan tante Risa yang masih menyeka air mata. Hari berikutnya tante Risa masih bercerita banyak kesedihannya. Dan aku menjadi pendengar terbaiknya.

Aku, bocah perempuan itu baru mengerti setelah tiga puluh tahun kemudian. Saat nasib yang sama menimpa, takdir menjadi seorang janda. Entah kenapa janda diperbincangkan. Perbincangan yang sangat gurih, sedap dikunyah dan menjadi sajian pagi, siang maupun malam. Dari segi pakaian, teman, bahkan makanan. Kenapa bajunya begitu begini? Siapa temannya ? Siapa yang membelikannya makanan?

Menjadi janda seperti duri dalam daging. Aku tiba-tiba memahami arti kesedihan, arti rasa lelah yang pernah dirasakan tante Risa. Apa kami bukan manusia, hantu bernyawa? Yang akan gentayangan menggoda? Apa juga kami harus mengurung diri dirumah? Siapa yang akan memberi nafkah? Janda juga manusia, perlu makan, pun perlu sentuhan yang manusiawi.

Dan aku tak ingin menjadi tante Risa, yang terduduk oleh cemoohan, mati perlahan. Aku ingin berdiri tegak, berusaha dengan kaki sendiri lebih membanggakan. Aku beranjak, menyusun langkah mencapai tujuan hidup. Tanpa ketakutan-ketakutan yang membayangi. Aku adalah single fighter dan juga ingin memenangi hidupku sendiri.

FS, 20 November 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun