Pemilihan Umum (Pemilu) seolah menjadi gula-gula bagi semut industri survei dan pengamat politik yang kian menjamur. Rakyat sebagai inti demokrasi kebingungan sebab peranan lembaga-lembaga tersebut, meskipun tidak semua, telah melampaui otoritasnya dengan menjelma menjadi "biro jodoh" Capres dan Cawapres, sedangkan pengamatnya menjadi "juru nikah" dengan menyodorkan "nama" cawapres tertentu.
Lembaga survei dan pengamat yang dikritik, pada pemilu 2014 ini, utamanya mereka yang ngeblok pada calon wakil presiden (Cawapres) pengusaha, mempunyai dana besar sebab disokong dan dikerumumi konglomerat kakap. Letupan kalimat seperti melacurkan integritas, menyumbat obyektifitas ilmiyah, merekayasa nilai-nilai empiris metode survei dan menggadaikan gelar Master, Phd dalam dan luar negeri  demi politik dan uang, membrondong juru ramal elektabilitas politik dan kekuasaan tersebut. Ekspresi dongkol bermunculan darai para petinggi partai utamanya yang berbasis massa Islam, setelah dipendam sekian bulan sebab mereka dianggap mati suri menemui ajalnya pada Pemilu 2014 ditelan elektabilitas Jokowi.
Kritik yang betul-betul menyayat nurani pelaku bisnis survei datang dari Drajat Wibowo (PAN), Romahurmuziy (PPP), beberapa petinggi PKS dan partai lainnya termasuk para intellektual, sebab realitas politik berbicara lain. Angka-angka ajaib pra-Pileg kontras dengan fakta politik, menambah intensitas gunjingan atas embaga-lembaga tersebut di ruang publik. Mereka yang dituding survei bayaran menjadi musuh bersama sebab dianggap mengumbar angka-angka magic yang muncul entah dari mana rimbanya.
Celah Partai Pesaing Dan Ngadatnya Mesin PDIP
Tentunya pandangan berbagai survei tersebut juga dibumbui kondisi mutakhir partai-partai yang ada. Ahmad Fathanah, Lutfi Hasan dan mereka yang libat kasus import daging faktanya gagal mengganjal PKS untuk menembus ambang batas 35%. Isu HAM yang melanda Prabowo seolah mental ditangkis kepak sayap burung garuda bersama gagasan kebangkitan petani, buruh, ketahanan pangan, kelautan dan lain sebagainya. Sedangkan Iklan PDIP yang diwakili Mega dan Puan Maharani pra-Pileg seolah menjastifikasi apa yang disuarakan Prabowo jauh sebelum pecah kongsi dengan Mega (Batu Tulis).
Aburizal Bakrie (ARB) dengan kisah lumpur Maladewa beserta boneka teddy bearnya juga tidak membuat Golkar tenjun bebas anjlok signifikan. Sengketa PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dengan keluarga Gusdur dan beberapa kelompok Nahdiyin yang diterka akan menjadi awal kehancuran PKB malah merangkak kenaik ke 100% dari sebelumnya hanya 4,9% menjadi 9,13% pada Pileg 9 April lalu. PKB berada diurutan ke 5 hasil hitung cepat di bawah partai Demokrat (versi Litbang Kompas). Hal yang sama terlihat pada Partai Amanat Nasional (PAN) naik dari 6,01% menjadi 7,49%.
Kantor DPP Partai Persatuan Pembangunan yang sempat runtuh dibombardir cibiran publik sebab proses rekrutmen yang diduga asa-asalan, pada kasus Agle Elga, dan disorotnya Suryadharma Ali di berbagai media diobo-obok ICW via isu korupsi dana haji, juga tidak membuatnya merosot. Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) naik dari 5,32% menjadi 6,7%.
Sisi gelap Prabowo (isu pelanggaran HAM). ARB (Lumpur Lapindo dan Lumpur Maladewa), PKS (daging impor), Muhaimin (mengalami persoalan dengan Gusdur), Surya Darma (Depag dan rekrutmen partai), gagal dimamfaatkan oleh Megawati dan para petinggi partainya sebab larut dalam suasnan Overconfidence dan bangga akan hasil survei yang menyebabkan mesin partai PDIP malas bekerja, menempuh cara instan dengan hanya menebar spanduk , banner dan baliho bergambar senyum para caleg PDIP dengan bumbu Jokowi.
Ruang kosong partai-partai tersebut pada mulanya diyakini bisa dimasuki Jokowi meskipun kenyataanya tidak signifikan. Hasilnya, ucapan terima kasih Ketua Umum PDIP Megawati didampingi putrinya Puan Maharani pada konferensi pers pada tanggal 9 petang di beberapa stasiun televisi berlangsung tegang dan sedikit pucat diiringi batuk kecil Mega sinyal kecewa dan resah. Sebab Jokowi dalam kitab survei sebelumnya melambung di udara. Hasil yang dipetik PDIP justru menuai ketegangan internal partai tersebut, termasuk konflik Puan Vs Jokowi yang diendus berbagai media.
Mesin PDIP terlalu yakin atas buaian para komentator politik bahwa dipasangkan dengan siapapun Jokowi tetap menang. Jika anda click Google mengenai hasil survei elektabilitas Jokowi pra Pileg kemaren, maka akan muncul angka-angka bombastis luar biasa. Misalnya, Jokowi unggul mutlak di 34 propinsi, Jokowi 54,3 persen unggul telak, sementara Prabowo 28,3 persen, Â Jokowi raup 40,32%, termasuk Gubernur DKI sukses mengantongi 51,3% suara, alias menang satu putaran.
Begitu juga judul-judul mengkilat berbagai media ditelan mentah-mentah PDIP, seperti  Jokowi tak tertandingi di survei, Jokowi unggul, Jokwi unggul di media sosial, Jokowi menang telak atas Prabowo, Jokowi menang satu putaran, Jokowi menang, peluang kabinet koalisi tipis, Jokowi unggul di integritas dan kemampuan menjalankan pemerintahan, yang justru nyaris menjadi bencana bagi PDIP.